Ahok, pemimpin yang berpihak pada mayoritas
- keren989
- 0
Pernyataan Gubernur DKI Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama menyatakan siap Membunuh 2.000 warganya untuk menyelamatkan 10 juta lainnya pernah menghiasi media pada pertengahan tahun lalu.
Serangkaian kebijakan penggusuran di ibu kota baru-baru ini ia lakukan, seperti di Kampung Pulo, Jakarta Timur; serta Pasar Ikan Kalijodo, Luar Batang, dan Penjaringan, Jakarta Utara, yang ditujukan untuk penataan kota yang dinilai bermanfaat bagi sebagian besar warga Jakarta.
Kasus terbaru adalah proyek reklamasi 19 pulau buatan di Teluk Jakarta. Ahok menyatakan, proyek daur ulang yang dilakukan swasta adalah untuk kepentingan umum dengan dalih pertumbuhan ekonomi DKI. Dampak dari proyek daur ulang ini, menurut data Persatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI), adalah sekitar 17 ribu nelayan akan kehilangan mata pencaharian.
(BACA: Gugatan Nelayan Muara Angke)
Untuk mendukung argumentasi kemaslahatan, Ahok menyederhanakan persoalan dengan sangat baik.
Misalnya permasalahan banjir yang sangat kompleks disederhanakan menjadi “perilaku warga miskin yang tidak mengetahui bahwa dirinya menempati tanah negara yang merupakan daerah tangkapan air”. Padahal, persoalan banjir adalah soal penurunan tanah di ibu kota, pengelolaan air bersih, pengelolaan sampah, persoalan status lahan, hingga hubungan DKI dengan daerah tetangga.
Ketika warga menolak dipindahkan ke rumah susun (rusun) yang jauh dari pusat aktivitas subsistennya, label baru pun dilekatkan pada mereka sebagai “kelompok yang cuek dan tidak berterima kasih kepada pemerintah“.
Kenyataannya, apartemen dibuat tanpa memahami relung kehidupan secara mendalam (ada) orang miskin, bahwa orang miskin tercerabut dari kehidupan aslinya dan tidak ada sumber penghidupannya yang dapat menggantikannya.
Pindah ke apartemen merupakan momentum untuk memiskinkan masyarakat yang sudah miskin. Masyarakat kebanyakan menerima berbagai label terhadap masyarakat miskin untuk membenarkan pembelaan kepentingan kelompok mayoritas.
(BACA: Kehidupan di Marunda setelah Vismark pindah)
Dari label tersebut, Ahok memahami bahwa masyarakat miskin mengganggu kemajuan ibu kota. Dari kerangka tersebut mengalir berbagai kebijakan terhadap kelompok miskin, mulai dari kekerasan verbal hingga penggusuran yang tidak hanya melibatkan Satpol PP dan polisi, tetapi juga TNI.
Pengerahan dan penggunaan aparat militer dalam menangani masyarakat miskin di Jakarta merupakan bentuk pembelaan kelompok terbesar dengan mengorbankan kelompok minoritas. Posisi membela kelompok mayoritas ekonomi di Ibu Kota merupakan posisi utama, dan menjadi ruh dari seluruh kebijakan Pemprov DKI.
Ide utilitarianisme
Dasar pemikiran Ahok dalam mengambil kebijakan serupa dengan pola pikir filosofis utilitarianisme.
Ide ini adalah aspek kegunaan (menggunakan) dari sesuatu. Pertanyaan mendasar untuk pemikiran ini adalah: “Apa yang sedang digunakan?” Apa gunanya sesuatu?
Semakin tinggi aspek kegunaan suatu hal, semakin baik. Semakin banyak orang yang dapat menggunakan sesuatu, semakin baik.
Pepatah yang sangat terkenal dari pemikiran ini adalah “kebahagiaan terbesar dari orang-orang terhebat”. Pemikiran filosofis ini dipopulerkan oleh filsuf Inggris, John Stuart Mill, yang sangat mengagumi filsuf Jeremy Bentham, tokoh pertama yang merumuskan filsafat pemikiran ini.
Pertanyaan kunci yang mendasari konstruksi pemikiran para filosof tersebut adalah, “Apa yang sedang digunakan?” Apa gunanya benda itu?
Aspek kegunaan merupakan hal yang paling penting untuk menilai sesuatu baik atau tidak. Tak heran, gagasan ini dianggap mayoritas membenarkan praktik tirani.
Selain menekankan pada tingkat manfaat yang tinggi bagi kelompok mayoritas, pemikiran utilitarian juga menekankan bahwa hasil akhir (benefit) lebih penting dibandingkan proses pencapaian hasil tersebut (berarti tujuan yang adil).
Tidak penting bagaimana cara atau proses untuk mencapai tujuan yang bermanfaat itu dilakukan – misalnya dengan menggusur kelompok ekonomi minoritas atau warga miskin – yang penting tercapainya tujuan Jakarta Baru. Yang terpenting adalah manfaatnya bagi mayoritas.
Dengan pemikiran tersebut, maka praktik perbudakan abad ke-18 yang dilakukan oleh warga kulit putih terhadap warga kulit hitam di Amerika Serikat dapat dibenarkan karena adanya keuntungan yang diperoleh bagi perekonomian Amerika, yaitu warga kulit putih.
Upaya untuk menjamin manfaat maksimal bagi kelompok mayoritas adalah pentingnya aturan main yang jelas. Segala aturan permainan yang dapat mendatangkan keuntungan tingkat tinggi harus diterapkan. Terlepas dari aturan mainnya, Anda sedang menuju demokrasi formal, atau tidak. Yang terpenting, ada aturan main yang bisa membenarkan tindakan.
Tidak penting bagaimana mencapai tujuan tersebut – misalnya dengan menggusur masyarakat miskin – yang penting adalah mencapai tujuan Jakarta Baru.
Ada kecenderungan pola kepemimpinan para pemimpin di tingkat nasional dan daerah semakin mengarah ke pola utilitarian ini: Selama mayoritas warganya senang, maka suatu kebijakan sudah benar secara moral.
Apakah ini yang perlu terjadi? Apakah negara tidak hadir untuk mereka yang lemah? Bukankah konstitusi kita mengatur dan menjamin semua warga negara mempunyai kedudukan yang sama di mata negara?
Apakah Indonesia benar-benar putus asa mencari pemimpin yang baik sehingga siapa pun yang bisa memenuhi kepentingan kelompok mayoritas dibenarkan meminggirkan hak-hak kelompok minoritas? Apakah memang tidak ada model kepemimpinan lain selain model kepemimpinan yang praktis dan pragmatis ini?
Ada gagasan filosofis lain di luar utilitarianisme yang disebut non-utilitarian. Amartya Sen salah satunya. Ia memiliki alat pengukuran kebijakan yang disebut “pendekatan kemampuan“.
Baginya, cara kita membuat dan mengevaluasi kebijakan bukan sekedar melihat hasil akhirnya, namun melihat bagaimana kebijakan tersebut berdampak pada peningkatan kemampuan warga negara dalam melakukan sesuatu dan menjadi sesuatu, serta mengatasi hambatan yang mereka hadapi. agar masyarakat dapat menjalani kehidupannya.
Selain ukuran lain kemampuanadalah fungsional, berfungsiantara lain dalam bekerja, menjadi warga negara yang sehat, menjadi bagian dari masyarakat, dihormati hak-haknya, dan sebagainya.
Kebijakan publik bertujuan untuk meningkatkan kapasitas warga negara, bukan manfaat. Dari Sen kita belajar bahwa ada alternatif kerangka berpikir dalam pengelolaan kebijakan selain membela kelompok mayoritas dan mengorbankan kelompok minoritas.
Fungsi pemimpin negara dan masyarakat
Negara hadir untuk melindungi seluruh kelompok masyarakat, baik yang kuat maupun yang lemah. Negara harus memperlakukan semua kelompok warganya secara adil: kaya atau miskin, laki-laki atau perempuan, tua atau muda, besar atau kecil.
Dalam kasus pembangunan di Jakarta, kelompok mayoritas yang dilindungi kebijakan adalah kelas menengah. Negara memihak kelompok ini, kelompok mayoritas, untuk “kebahagiaan terbesar“. Ketika negara hadir untuk yang kuat, dan yang lemah meminta untuk tetap mengalah pada yang kuat, mengapa harus ada negara?
Jakarta dan Indonesia dapat belajar dari tradisi negara kesejahteraan (rezim kesejahteraan). Ini adalah model pemerintahan di mana negara memainkan peran kunci dalam melindungi dan mendorong penguatan kapasitas ekonomi dan sosial warganya.
Prinsip-prinsip utama dari model ini adalah kesetaraan kesempatan bagi warga negara, distribusi kekayaan yang adil dan kewajiban publik untuk melindungi warga negara lainnya dalam pemenuhan kebutuhan dasar untuk mencapai kehidupan yang baik.
Dalam gagasan ini, negara ada untuk kelompok lemah, kelompok minoritas. Negara peduli dan peduli terhadap warga negara ketika terjatuh, melalui berbagai skema kebijakan kesejahteraan, termasuk perpajakan progresif, semakin kaya seseorang maka semakin tinggi pajak yang dibayarkan, yang kemudian dikelola oleh negara dan digunakan untuk membantu kelompok masyarakat yang rentan secara ekonomi. masyarakat . Kelompok yang paling rentan diurus oleh negara. Ini adalah fungsi negara yang sebenarnya dan tertulis dalam konstitusi. —Rappler.com
Amalinda Savirani merupakan staf pengajar di Fisipol UGM.
BACA JUGA: