• November 23, 2024

Menunggu Gunung Agung berhenti meletus

JAKARTA, Indonesia – Gunung Agung kembali “batuk”. Gunung setinggi 3.031 meter itu mengeluarkan abu vulkanik dan menghantam beberapa kota.

Namun kali ini, cahaya merah terlihat muncul dari dalam kawah. Hal ini menandakan magma Gunung Agung berada di dekat tepi kawah.

Melihat kejadian tersebut, Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVBMG) kembali menaikkan status Gunung Agung dari awas menjadi awas pada Senin 27 November pukul 06.00 WITA. Status ini menunjukkan status tertinggi dalam bencana vulkanik.

“Laju letusan Gunung Agung kini semakin meningkat dari fase freatik ke fase magmatik. Hal ini terpantau sejak munculnya cahaya api pada puncak malam tanggal 25 November pukul 21.00 WITA, kata Sutopo dalam keterangan tertulis, Senin, 27 November. (BACA: Status Gunung Agung kembali dinaikkan menjadi peringatan)

Situasi saat itu sangat kritis karena terdengar pula suara gemuruh samar yang terdengar hingga 12 kilometer dari puncak.

Asap kawah bertekanan sedang teramati berwarna abu-abu dengan intensitas tebal dan tinggi yakni 2.500 – 3.000 meter di atas puncak kawah. “Letusannya terpantau di ketinggian 3.000 meter dan asapnya berwarna abu-abu serta ada cahaya api,” ujarnya lagi.

Tak mau ambil risiko, pemerintah setempat langsung mengimbau warga yang berada dalam radius 8-10 kilometer dari puncak kawah untuk segera mengungsi ke berbagai posko pengungsian. Sementara itu, otoritas bandara menutup sementara Bandara Internasional I Gusti Ngurah Rai dan Bandara Internasional Lombok. Pulau di sebelah timur Bali juga terkena dampaknya karena angin juga membawa abu vulkanik ke sana.

Tempat yang dijadikan pusat pengungsian adalah GOR Swecapura di Klungkung. Kawasan yang awalnya dijadikan pusat kegiatan olah raga ini dihuni oleh kurang lebih 1.000 pengungsi.

Salah satunya adalah keluarga Kadek Dhana dan istrinya Ketut Mariyani. Mereka pun membawa putra semata wayangnya, Putu Eka Mardihakayasa, yang baru berusia 6 tahun.

“Total kami mengevakuasi 8 orang. Lima orang sisanya bertetangga di Desa Selat, kata Dhana saat ditemui Rappler, Kamis, 30 November.

Tak ada raut semangat di wajahnya karena kebosanan menderanya selama berada di pengungsian. Ia dan istrinya pun sempat mengungsi di GOR Swecapura saat pemerintah setempat menaikkan status Gunung Agung beberapa bulan lalu.

“Tidak ada apa-apa. Jadi, makan dan tidur saja. “BNPB atau pemerintah daerah tidak memberikan kegiatan apapun,” kata pria berusia 35 tahun itu.

Ia mengaku belum mengetahui sampai kapan harus berada di pengungsian karena belum terjadi letusan besar Gunung Agung. Namun Dhana yakin gunung tersebut akan meletus. Sebab, tanda-tanda yang mirip dengan letusan tahun 1963 terlihat.

Setelah terjadi hujan abu, lahar dingin mengalir ke sungai dan persawahan.

“Pada tahun 1963, pinggir rumah kami terkena lahar dingin. “Tapi, untung kami mengungsi,” ucapnya dengan tatapan sedih. (BACA: Letusan Gunung Agung 1963 dalam Kenangan Masyarakat Bali)

Mengetahui kejadian 57 tahun lalu, dia, istri, dan putra satu-satunya langsung bergegas mengungsi pada Senin dini hari. Saat itu suasana gelap dan tertutup abu vulkanik. Belum lagi bau belerang yang begitu menyengat membuat wanita tersebut mual hingga hampir muntah.

Hilangnya keberadaan

Menjadi pengungsi membuat Dhana nyaris menjadi pengangguran. Bahkan, ia biasa menganyam bambu untuk membuat bedengan setiap hari dan menjualnya ke warga lain.

“Iya, menenun di pengungsian sebenarnya bisa saja, tapi membawa peralatannya sulit dan berat,” ujarnya.

Ia pernah memiliki hewan ternak berupa empat ekor sapi. Namun, ia terpaksa menjual keempatnya dengan harga murah kepada teman sepupunya hanya dengan harga Rp 7 juta. Ia terpaksa menjual ternaknya karena tidak mempunyai sumber daya untuk membawanya ke kamp pengungsi.

“Sebenarnya saya beternak sapi dari kecil. “Kalau beternak, dibutuhkan dana kurang lebih Rp 7,5 juta,” ujarnya.

Hal ini jelas merugikan Dhana secara ekonomi. Namun, ia tak punya pilihan lain karena saat ia mengungsi, keluarganya membutuhkan uang.

Kini kondisi di pengungsian semakin parah karena terbatasnya akses terhadap air bersih. Material lahar dingin yang jatuh dari kawah gunung menghantam dan merusak pipa PAM. Akses terhadap air bersih juga terhambat.

“Sampai saat ini pipa PAM belum bisa diperbaiki karena lahar dingin masih mengalir,” ujarnya.

Terkadang Dhana pulang naik sepeda motor menuju Desa Selat yang hanya berjarak 10 kilometer dari kawah gunung. Ia memeriksa kondisi rumah dan mengambil pakaian untuk dipakai di kamp pengungsi.

Ingin segera pulang

Rasa bosan pun menimpa istri Dhana, Ketut Mariyani. Perempuan berusia 28 tahun ini sehari-hari bekerja sebagai ibu rumah tangga sambil mengasuh Mardihakayasa.

“Sebenarnya dia bisa bersekolah, tapi dia tidak mau. “Kalau disuruh sekolah, dia akan selalu menangis,” ujarnya kepada Rappler.

Untuk menghilangkan rasa bosan, Mariyani sesekali menatap layar televisi yang dibawanya dari rumah. Tapi tetap saja dia ingin pulang ke rumah secepatnya.

“Aku sudah lama bermalas-malasan di sini. “Memang benar makanan di sini banyak, tapi saya agak bosan (bosan),” ujarnya.

Ia mengaku tidak marah atau kesal melihat situasi tersebut. Tidak ada seorangpun yang menginginkan terjadinya bencana gunung berapi.

“Iya harapan saya sama dengan yang lain, saya ingin pulang secepatnya,” ujarnya. – Rappler.com