10 Tahun Terendam Lumpur Lapindo, Kondisi Warga Sidoarjo Masih Terpuruk
keren989
- 0
Ini adalah ringkasan yang dibuat oleh AI, yang mungkin memiliki kesalahan. Untuk konteksnya, selalu rujuk artikel selengkapnya.
Meski banyak korban yang mendapat uang ganti rugi, namun mereka tidak mampu menggantikan penghidupan warga yang hilang akibat semburan lumpur Lapindo.
SIDOARJO, Indonesia- Meski semburan lumpur Lapindo sudah berlalu selama 10 tahun, namun sebagian warga yang menjadi korban masih belum bisa pulih dari keterpurukannya. Achmad Haris adalah salah satu contohnya.
Haris yang kini menjadi tukang ojek di kawasan semburan lumpur Lapindo mengatakan, kehidupannya belum kembali normal seperti sebelum semburan lumpur terjadi.
Sebelum lumpur terjadi, Haris tinggal di rumahnya di Jatirejo RT 10 Porong Sidoarjo. Kehidupannya saat itu bisa dikatakan berkecukupan karena selain bekerja sebagai buruh pabrik, ia juga mempunyai usaha sampingan yaitu membuka toko di rumahnya. Toko tersebut dijalankan oleh istrinya.
“Bisnis warung ini bisa dikatakan sangat membantu karena rumah saya di Jatirejo dekat dengan pesantren. Makanya wajar kalau ramai, katanya, Minggu, 29 Mei di tepian lumpur Lapindo.
Namun, begitu bencana lumpur datang, kehidupannya mulai berubah. Pabrik tempatnya bekerja ditutup karena terendam lumpur. Nasib serupa juga menimpa rumahnya.
Rumahnya tenggelam, usaha warungnya juga ikut hilang, ujarnya.
Sekitar tahun 2007 atau 2008, Haris menerima santunan rumahnya. Nilainya sekitar Rp 280 juta.
Uang ganti rugi tersebut ia gunakan untuk membeli rumah di Desa Kosambi, Sidoarjo. Letaknya sekitar tujuh kilometer dari rumah lamanya. Sisa uangnya digunakan untuk kelangsungan hidup sehari-hari.
“Uang ganti rugi hanya bisa digunakan untuk membeli rumah baru. “Tidak ada lagi modal untuk membuka toko lain,” ujarnya.
Haris kemudian mengikuti jejak korban banjir lainnya yang memilih menjadi tukang ojek di sekitar tembok lumpur Lapindo. Saat itu, ia menilai hasilnya cukup bagus.
Namun memasuki tahun keenam setelah semburan lumpur, ia merasa penghasilannya mulai menurun.
“Apalagi saat ini belum ada wisatawan yang ingin melihat semburan lumpur. Dulu, Idul Fitri bahkan bisa dikatakan sebagai panen raya ‘tukang ojek lumpur’. “Tapi sekarang sudah sepi,” kata Haris.
Dian Karina pun merasakan kondisi terparah. Saat lumpur meluap 10 tahun lalu, dia masih duduk di bangku kelas satu sekolah dasar. Ia teringat saat lumpur mulai membanjiri desanya di Siring, Dian dipulangkan lebih awal dari sekolah.
Bersama keluarga dan warga desa lainnya, Dian kemudian tinggal di tempat penampungan sementara di Pasar Baru Porong.
Dua tahun setelah semburan lumpur, bencana kembali terjadi. Ayah Dian yang menjadi penopang ekonomi keluarga meninggal dunia. Sejak saat itu, Harwanti, ibunda Dian, mengambil alih tanggung jawab sebagai tulang punggung keluarga. Harwanti akhirnya bekerja sebagai tukang ojek di sekitar tanggul yang dipenuhi lumpur.
“Tidak ada lagi pengeboran di Sidoarjo. Lihat apa yang terjadi pada keluarga kami dan keluarga lain yang menjadi korban Lapindo, kata Dian.
Warga sekitar kawasan semburan lumpur Lapindo melakukan kegiatan khusus untuk mengenang tragedi 1 dekade lalu. Salah satu pesan yang ingin disampaikan para korban semburan lumpur kepada pemerintah adalah situasi belum sepenuhnya kembali normal.
“Meski sebagian besar warga sudah menerima santunan, namun masih ada saudara kita yang belum mendapat santunan,” kata Al Buchori, koordinator peringatan 10 tahun semburan lumpur Lapindo.
Bahkan bagi korban yang diserbu yang sudah mendapat uang santunan, kata dia, belum tentu kehidupannya akan kembali normal seperti sedia kala. Karena masih banyak yang libur.
“Banyak laki-laki kehilangan pekerjaan karena semburan lumpur. Mereka menjadi tidak berdaya. Di sisi lain, banyak perempuan korban longsor yang terpaksa mengambil alih kendali rumah tangga karena suaminya meninggal karena stres memikirkan luapan Lapindo, ujarnya. – Rappler.com
BACA JUGA: