114 film diputar di Jogja NETPAC Asian Film Festival ke-12
- keren989
- 0
YOGYKARTA, Indonesia – Jogja NETPAC Asian Film Festival (Jaff) resmi dibuka pada Jumat, 1 Desember dengan pemutaran film Nyai. Film karya Garin Nugroho ini diproduksi dengan menggunakan teknik tersebut satu kesempatan hal tersebut juga menjadi simbol dari tema Jaff tahun 2017 yaitu ketidakstabilan.
Tema ini bermakna bahwa media film bersifat fleksibel dan dapat bersinergi dengan berbagai seni lainnya. Likuiditas juga menjadi benang merah dari 114 film dari 22 negara di Asia yang akan tayang selama festival hingga 8 Desember mendatang. Keberagaman karya film diharapkan menjadi wadah berbagi pengetahuan, hiburan dan informasi tentang Asia, khususnya Asia Tenggara yang beragam dan tidak tunggal.
Jaff 2017 dibuka dengan beberapa sambutan, antara lain oleh Direktur Jaff Festival Budi Irawanto, Endah Wahyu dari Bekraf, Choi Yoon dari Busan Film Festival, Tsukamoto dari Japan Foundation dan Garin Nugroho selaku sutradara film Nyai. Lalu, pertunjukannya pemetaan video menjadi tontonan pertama dan paling berkesan bagi pengunjung pada pembukaan Jaff Festival yang berlangsung di dalam gedung Perusahaan Taman Budaya Yogyakarta Jumat malam 1 Desember. Pertunjukan tersebut berupa seni kolaborasi antara penyanyi Paksi Raras Alit yang menyenandungkan lagu tersebut maskumabang, dengan musik latar oleh Dhanak Pembayun.
Pertunjukan terasa semarak dengan kehadiran penari Sekar Sari dan lighting art dari Banjar Triandaru dilengkapi dengan karya seni digital animasi karya Raphael Dony sebagai backdrop panggung, menciptakan sebuah pertunjukan seni kolaboratif dalam venue yang sederhana. Semuanya terasa spektakuler.
“Pertunjukan ini mencerminkan bahwa karya film selalu terbuka untuk dikolaborasikan dengan karya seni lainnya. Sifatnya cairan“Ibarat air yang bisa mengalir kemana saja namun tidak kehilangan esensinya,” kata Budi Irawanto.
Likuiditas untuk keberagaman Asia
Dia ketidakstabilan Pada Jaff Festival ke-12 kali ini dimeriahkan dengan berbagai film bergenre fiksi baik panjang maupun pendek, animasi dan dokumenter dari berbagai negara di Asia, termasuk Asia Tenggara. Budi mengatakan, beberapa film yang bisa dinikmati antara lain film fiksi berkisah tentang lima pengungsi pencari suaka di Australia bertajuk perjalanan menuju kegelapan, sebuah film besutan sutradara Afganistan Roya Sadat berjudul Surat untuk Presiden yang menceritakan kisah kehidupan di negara tersebut pasca rezim Taliban. Ada pula film asal Filipina yang bercerita tentang sepasang suami istri yang terjebak dalam perang narkoba Duterte berjudul Gelap adalah malam dan sederet film dari negara yang sekilas terdengar aneh namun memiliki sinematografi yang menawan, antara lain film dari Tajikistan, Mongolia, Kyrgyzstan, Kazakhstan, dan Timor Leste.
“Kami berharap keberagaman dalam film ini tidak hanya sekedar mempromosikan tetapi juga memberikan wawasan baru dan juga semacam identitas bagi bangsa-bangsa Asia sebagai sesuatu yang sangat berwarna dan dipengaruhi satu sama lain dan harus kita cegah untuk bertindak. xenofobia atau anti asing atau mengutamakan budaya sendiri, dan selalu membuka kemungkinan untuk saling mempengaruhi dan belajar dengan orang lain,” jelas Budi.
Tak hanya tema dan serial filmnya yang memiliki sudut pandang beragam, festival ini juga menawarkan beberapa hal baru. Di antaranya periode festival yang lebih panjang, selama seminggu, kemudian program Jogja Feature Project, dan Jaff Indonesian Screen Award untuk insan festival film Jaff.
“Kami membantu Jogja Feature Project untuk mempertemukan para sineas yang sebelumnya telah mengajukan proposal, untuk mempresentasikan ide filmnya kepada perusahaan film dan pihak-pihak yang berpotensi membantu secara pribadi dalam pembuatan filmnya. pertemuan satu lawan satu. Ide-ide yang disampaikan sangat luar biasa dan akan memberi warna pada film Indonesia ketika difilmkan nanti, ujarnya.
Sementara menurut Budi, Jaff Indonesian Screen Award menggunakan juri dari luar Indonesia untuk menentukan pemenangnya. Upaya ini diharapkan dapat memberikan sudut pandang berbeda bagi para juri terhadap film Indonesia.
Garin mengucapkan selamat tinggal pada Jaff
Jaff Festival ke-12 ini juga menjadi momen perpisahan presiden Jaff Festival, Garin Nugroho, dengan kegiatan yang dimulai bersama komunitas film independen di Yogjakarta. Lewat film Nyai yang ditayangkan saat pembukaan festival, Garin berpamitan dan melanjutkan festival kepada artis muda lainnya.
“Film Nyai sudah dibuat pembukaan Pertama, karena film merupakan hasil kolaborasi berbagai karya seni, baik tari, lagu, dan film satu kesempatan dari Garin agar sesuai dengan tema ketidakstabilan, dan yang kedua, menurut Mas Garin, film ini adalah semacam film perpisahan, perpisahan dengan ketua festival. Ia mengucapkan terima kasih kepada para seniman Jogja yang selalu berkarya mendukung filmnya,” kata Budi.
Film Nyai sendiri berkisah tentang seorang wanita Jawa atau Bumiputera, istri warga negara Belanda, dengan latar film di teras rumah khas Jawa bergaya Joglo pada masa penjajahan Belanda tahun 1927. Film diawali dengan lagu Jawa dinyanyikan dalam ritual memohon kesembuhan bagi suami Nyai, di hari ulang tahun suaminya.
Kemudian Nyai diceritakan berinteraksi dan bentrok dengan beberapa karakter berbeda, dalam lingkungan yang sama. Ada rombongan ulama yang datang membacakan doa untuk kesembuhan pria tersebut, pengacara lokal yang tamak, pengacara Belanda yang datang untuk membuang rumah beserta isinya, novelis, penari serimpi, penyanyi keroncong, pekerja perkebunan kopi bumiputera yang mengeluhkan mereka. tersiksa. sanksi dan tanam paksa, serta adegan pelemparan batu dan tanah ke arah Nyai yang diiringi teriakan kafir.
Nyai dikisahkan sebagai seorang perempuan yang dipaksa menikah dengan warga negara Belanda pada usia 15 tahun oleh orang tuanya, seorang mandor perkebunan tebu dan kopi. Pernikahan tersebut menjadi semacam pertukaran antara Nyai dan sebagian keuntungan yang diterima orang tuanya.
Sifat Nyai tegas. Sosok perempuan Jawa yang belajar membaca kemudian mencoba memahami budaya dan hukum Eropa dengan menyerap berbagai ilmu dari buku dan cerita suaminya. Film kamera tunggal atau satu kesempatan bercerita tentang beberapa hal baru yang datang secara bersamaan. Mulai dari maraknya film bumiputera, berkembangnya berbagai organisasi buruh seperti Sarikat Islam dan gerakan buruh yang bangkit melawan Belanda, hingga inovasi dalam kehidupan sehari-hari seperti teh celup.
Selama 90 menit, penonton dibawa melalui berbagai konflik yang menimpa Nyai pada masa penjajahan. Kamera tunggal menggunakan teknik, waktu sebenarnya dan tanpa proses memotongsepertinya tidak ada kendala dalam memindahkan kamera dari satu sudut ke sudut lain di teras rumah.
Film tersebut mendapat apresiasi dari aktris senior, Christine Hakim. Menurutnya itu adalah film satu kesempatan Karya Garin sungguh luar biasa.
“Ini bukan pertama kalinya saya menonton film tersebut satu kesempatan. Saat saya menjadi juri Cannes (festival film), ada film Rusia Satu kesempatan. “Tetapi yang saya lihat di film Garin adalah sesuatu yang menarik dan tidak membosankan, dan itu merupakan hal yang tidak biasa bagi saya,” kata Christine usai pemutaran film Nyai.
Menurutnya, apa yang digagas Garin bisa menjadi alternatif baru dalam dunia perfilman Indonesia, meski mungkin agak sulit bagi masyarakat awam.
“Garin punya pilihan, yang jelas menunjukkan bahwa kita tidak punya pilihan terjebak pada satu gagasan, sehingga timbul gagasan baru. “Apa yang disampaikan Garin bisa dikembangkan lebih lanjut,” ujarnya.
Bagi Garin sendiri, kerja alternatif diperlukan sebagai upaya mempertahankan peradaban dan menjadi alternatif budaya massa. Menurutnya, film tersebut terinspirasi dari kondisi Indonesia saat ini.
“Film ini adalah peta kecil Indonesia dalam sebuah rumah. Ada elit ekonomi, gerakan sosial, isu agama, kegelisahan akan dunia baru yang penuh penemuan tapi semuanya hilang. Ada konflik antara hukum domestik dan internasional, konflik nasional, Islam dan non-Islam, ketidakberdayaan dan impian. “Ada tukang kebun yang kemudian menanam tanaman global, tapi akhirnya tidak punya lahan dan tetap miskin,” kata Garin usai pemutaran film.
Menurutnya, semua konflik tersebut bisa dirasakan saat ini.
“Masalah sosial itu tidak hanya hitam dan putih saja. “Tetapi film ini memiliki sejarah ketidakadilan yang panjang,” katanya, membahas tentang pesan moral film tersebut.
Ia menjelaskan, sengaja memilih lakon seorang Nyai karena menurutnya Ma adalah sosok yang menjadi korban dari segala perubahan hidup.
“Semua konflik itu terjadi pada sosok Nyai. Kalau melihat Nyai sekarang jadi peta Indonesia,” ujarnya.
Soal pengunduran dirinya dari Jaff Festival, Garin tak membantahnya. Melalui film Nyai yang dibuat sebagai bentuk apresiasi atas masuknya sinema di Indonesia pertama kali pada tahun 1927, Garin pun mengucapkan selamat tinggal pada masa pensiun sebagai Presiden Jaff Festival.
“Pensiun adalah hal yang indah. “Saya pensiun karena banyak artis muda yang mengelola festival jauh lebih baik dari saya, dan ajang dukungan mereka terhadap Jaff Festival,” ujarnya.
Film ini juga merupakan ucapan terima kasih Garin kepada para aktivis, seniman pertunjukan, dan teater Yogyakarta yang menurutnya telah memberikan kontribusi besar dalam menghidupkan kembali kota tersebut sebagai kota budaya.
“Saya membuat dua film tahun ini, Setan Jawa dan Nyai. Satu kesempatan, waktu sebenarnya, menandai perubahan era perfilman Indonesia. Itu sebabnya saya aktris dan aktor pertunjukan seni,” dia menambahkan.
Dalam penyelenggaraan Jaff Festival tahun ini, pihak panitia menyebutkan setidaknya sudah dipesan sekitar 2.500 tiket bioskop. Panitia juga menerima lamaran dari sekitar 500 relawan untuk terlibat dalam penyelenggaraan Jaff tahun ini. Mereka berasal dari Indonesia dan mancanegara seperti Jerman dan Inggris. – Rappler.com