22 Alat pendeteksi tsunami Indonesia tidak berfungsi
- keren989
- 0
Ini adalah ringkasan yang dibuat oleh AI, yang mungkin memiliki kesalahan. Untuk konteksnya, selalu rujuk artikel selengkapnya.
Selain keterbatasan anggaran, tampaknya faktor manusia juga menjadi penyebab permasalahan dalam penanganan bencana gempa bumi dan tsunami.
JAKARTA, Indonesia (UPDATED)—Gempa bumi terjadi pada Rabu, 2 Maret pukul 19.49 sekitar 10 kilometer dari Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat.
Gempa tersebut membuat Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mengeluarkan peringatan dini potensi tsunami, namun segera dibatalkan.
Gesekan yang terjadi pada episentrum gempa Rabu kemarin merupakan sesar geser sehingga potensi tsunami yang ditimbulkan tidak seperti sesar dorong pada gempa Aceh tahun 2004 lalu.
Sesar mendatar terjadi di Mentawai, sedangkan sesar dorong terjadi di Aceh pada tahun 2004 yang menyebabkan tsunami. @RapplerID pic.twitter.com/tCbsbxxulj
— Sakinah Ummu Haniy (@hhaanniiyy) 3 Maret 2016
Meski tidak terjadi bencana seperti yang terjadi di Aceh pada tahun 2004 atau gempa dan tsunami di Mentawai pada tahun 2010, namun gempa ini dapat dijadikan pembelajaran bagi masyarakat, khususnya dalam rangka penanganan dan antisipasi bencana di masa depan.
Menurut penjelasan Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Sutopo Purwo Nugroho, pihaknya telah melakukan beberapa upaya untuk mengantisipasi bencana, khususnya bencana gempa bumi dan tsunami, namun terbatasnya anggaran membuat upaya tersebut tidak optimal.
Untuk bisa menjangkau seluruh masyarakat dibutuhkan 1.000 sirine tsunami, namun saat ini yang dibangun BMKG baru 55 unit, kata Sutopo di Graha BNPB, Jakarta, Kamis, 3 Maret.
Peta lokasi sirine tsunami BMKG. Butuh 1000, hanya 55 sirine BMKG dan 200 sirine berbasis masyarakat yang dibangun. @RapplerID pic.twitter.com/S2qwVYk358
— Sakinah Ummu Haniy (@hhaanniiyy) 3 Maret 2016
Selain sirene BMKG, ada sekitar 200 unit sirene berbasis masyarakat. Namun angka tersebut masih jauh dari ideal.
Selain minimnya sirine, infrastruktur Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) juga sangat minim.
“Mentawai daerah yang sangat rentan, BPBD menyewakan rumah. Tahun lalu, kantornya terpaksa pindah karena pemilik rumah menaikkan harga sewa. Akhirnya berpindah 7 kilometer dari lokasi semula. Sementara itu, radio komunikasi ada di sana. Ujung-ujungnya biaya pindah radio lebih mahal dibandingkan menyewa rumah.”
Selain itu, seluruh tsunami buoy – alat pendeteksi tsunami yang ditempatkan di tengah laut – tidak berfungsi sama sekali.
“Tidak ada biaya pemeliharaan dan pengoperasian. ada disana perangkat lunak-dia harus-meningkatkan“Kadang ada kerusakan yang perlu diperbaiki, BPPT (Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi) tidak punya anggaran.”
Saat ini, Indonesia sudah 22 pelampung pendeteksi tsunami ditempatkan di berbagai lokasi di tengah lautan.
Pada akhirnya, BNPB hanya bisa menggunakan lima pelampung milik internasional yang lokasinya berjauhan. Potensi tsunami di Mentawai kemarin terdeteksi dari pelampung di Pulau Cocos, Australia, yang letaknya jauh.
Yang lebih memprihatinkan, selain karena kurangnya anggaran yang memadai, rusaknya 22 pelampung tersebut juga disebabkan oleh ulah manusia yang tidak bertanggung jawab.
“Kadang diambil sensornya, kadang dikira UFO jatuh ke laut, lalu ditarik ke pelabuhan. Sel surya diambil. Lampunya diambil. Terkadang tambatan perahu digunakan untuk jaring ikan.”
Pelampung rusak, selain kekurangan dana juga terjadi aksi vandalisme. Sensornya diambil @RapplerID pic.twitter.com/GqNDsIU6Ib
— Sakinah Ummu Haniy (@hhaanniiyy) 3 Maret 2016
Meskipun biaya operasi dan pemeliharaan yang diperlukan pelampung tersebut cukup mahal, namun mencapai 30 miliar rupiah sepanjang tahun karena pelampung harus selalu aktif.
“Dia harus aktif 24 jam sehari, 7 hari seminggu. Tidak ada hari libur. Karena gempa bumi dan tsunami bisa terjadi kapan saja.” —Rappler.com
BACA JUGA: