3 Warisan Wijaya Herlambang untuk Anak Muda di Indonesia
- keren989
- 0
Ini adalah ringkasan yang dibuat oleh AI, yang mungkin memiliki kesalahan. Untuk konteksnya, selalu rujuk artikel selengkapnya.
Wijaya Herlambang seharusnya menjalani kemoterapi saat bersaksi di sidang IPT tahun 1965, namun ia memilih menjadwal ulang.
JAKARTA, Indonesia—Dunia akademis baru saja kehilangan seorang penulis dan pemikir muda berbakat, Wijaya Herlambang. Dia adalah seorang penulis buku Kekerasan Budaya Pasca 1965 dan salah satu saksi ahli kemarin pada sidang Pengadilan Rakyat Indonesia (IPT) di Den Haag, Belanda.
Wijaya menghembuskan nafas terakhirnya pada Jumat malam, 4 Desember, dalam perjalanan dari Jakarta menuju Semarang untuk menjalani kemoterapi bagi pasien kanker.
Wijaya menderita kanker limpa sejak Februari 2015. Penyakit tersebut kemudian berdampak drastis pada kesehatannya hingga ia meninggal tadi malam.
Sepanjang hidupnya ia dikenal sebagai sosok pemberani. Berikut warisan Wijaya untuk generasi muda Indonesia:
1. Buku Kekerasan Budaya Pasca 1965
Buku ini sangat populer di kalangan pelajar dan masyarakat akar rumput, menceritakan bagaimana orde baru melegitimasi anti-komunisme melalui sastra dan film.
Diulas di Indoprogress, buku ini memaparkan praktik kekerasan budaya yang menjadi cara untuk melegitimasi berbagai kekerasan fisik yang dilakukan negara pada pembantaian tahun 1965-1966.
Buku ini akan membuka mata siapa pun yang membacanya lebih luas lagi. Buku tersebut juga memicu perdebatan menarik – dan belum selesai – antara Martin Suryajaya dan Goenawan Mohamad, penulis Rumah Salihara.
Nursyahbani Katjasungkana, aktivis perempuan yang baru mengenal Wijaya selama dua tahun karena sama-sama mempersiapkan IPT 1965, mengatakan isi buku tersebut sangat penting untuk mengoreksi sejarah Indonesia.
“Seperti yang tertulis di buku, dia mengungkap bagaimana CIA (badan rahasia Amerika Serikat) membantu orde baru menyebarkan apa yang kemudian menjadi politik budaya. Ini baru,” katanya kepada Rappler pada Sabtu, 5 Desember.
Buku ini juga menjadi catatan akademis pertama bagi penelitian mengenai tragedi pembantaian tahun 1965.
2. Keberanian dan integritas
Wijaya tidak hanya menulis tetapi ia juga menjadi saksi dalam persidangan IPT tahun 1965 untuk menjelaskan kepada seluruh dunia apa yang terjadi setelah lebih dari 500.000 anggota dan tersangka anggota PKI dibantai, sisanya di Pulau Buru yang Ditahan.
Dalam persidangan, ia menjelaskan upaya propaganda antikomunis yang dilakukan para aktivis dan penulis film yang didukung penuh oleh pemimpin Orde Baru saat itu, Soeharto.
“Sekitar tahun 1980-an, Nugroho Notosusanto kemudian membuat naskah berjudul Pengkhianatan PKI. Itu dulu-didukung oleh Soeharto secara penuh,” ujarnya saat memberikan kesaksian di Den Haag, 14 November lalu.
Kemudian pada tahun 1984, film tersebut didistribusikan ke seluruh Indonesia dan wajib ditonton oleh anak-anak sekolah selama bertahun-tahun.
Naskah Nugroho kemudian dikembangkan oleh penulis lain.
Bahkan, kata Nursyahbani, malam sebelum bersaksi, ia sempat jatuh sakit karena penyakit kanker menyerangnya.
Tak banyak yang tahu kalau ia seharusnya menjalani kemoterapi pada 14 November. Namun, ia meminta dokternya menjadwalkan ulang kemoterapi pada 16 November.
Berikut video kesaksian Wijaya saat sidang IPT 1965 di Den Haag kemarin:
3. Pikirannya
Bagi yang belum pernah membaca buku Wijaya, Berto Tukan, sahabat Wijaya, merekomendasikan untuk membaca artikel individu yang ditulis almarhum.
“Pemikiran dan pernyataannya menginspirasi,” katanya kepada Rappler.
“Jarang dan sulit sekali menjadi akademisi dan peneliti bidang seni budaya di Indonesia,” ujarnya lagi.
Berikut artikel tulisan Wijaya yang bisa Anda baca:
- September, mimpi buruk suatu negara terulang kembali.
- Wawancara Wijaya Herlambang oleh Indoprogress
- Prabowo dan Jokowi, Apa Bedanya?
—Rappler.com
BACA JUGA