5 hal tentang Dwiarso Budi, hakim ketua yang menentukan nasib Ahok
- keren989
- 0
Dwiarso dikenal tegas menjatuhkan hukuman di berbagai kasus, termasuk penodaan agama.
Jakarta, Indonesia – Sidang kasus penodaan agama terhadap tersangka Gubernur DKI Jakarta Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama rampung pada Selasa 9 Mei. Sidang yang dipimpin Ketua Hakim Dwiarso Budi Santiarto berujung pada keputusan Ahok bersalah dan divonis dua tahun penjara.
Usai putusan dibacakan, banyak masyarakat yang penasaran dengan sosok Dwiarso. Pasalnya Ahok menjadi gubernur pertama sepanjang sejarah Indonesia yang dipenjara karena kasus penodaan agama.
Berikut lima hal yang perlu Anda ketahui tentang Dwiarso:
Baru enam bulan menjabat
Pria kelahiran Surabaya 14 Maret 1962 ini mengawali karir di bidang hukum dengan mengambil gelar Sarjana Hukum dari Universitas Airlangga. Ia kemudian melanjutkan studinya dengan mengambil program pascasarjana di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
Dwiarso mulai menjabat sebagai hakim pada tahun 1986. Karier Hakim Dwi berlanjut setelah ia dilantik menjadi Ketua Hakim Pengadilan Negeri Semarang. Dwi bertugas di sana sejak 22 Agustus 2014. Diangkat langsung oleh Ketua Pengadilan Tinggi Semarang Muhammad Daming Sanusi.
Dwiarso baru enam bulan menjalani peran barunya sebagai Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Hal itu ditandai dengan terbitnya surat mutasi dari Direktorat Jenderal Mahkamah Agung, pada 20 April yang memberi penugasan baru kepada Dwi sebagai ketua Pengadilan Negeri Jakarta Utara.
Menang melawan Ganjar Pranowo
Dwiarso sudah banyak mengeluarkan putusan sejak menjabat Ketua Pengadilan Negeri Semarang. Salah satu keputusan yang paling disorot adalah keputusan Gubernur Ganjar Pranowo dan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah dalam sengketa lahan seluas 237 hektare di Pusat Rekreasi dan Promosi Pembangunan Jawa Tengah pada tahun 2015.
Ganjar dinyatakan bersalah melakukan perbuatan melawan hukum dengan menerbitkan sertifikat Hak Pengolahan Tanah (HPL) atas tanah tersebut. Sejak berkuasa, nama Dwiarso pun kian tenar.
Saat Pemprov Jateng mengajukan permohonan kasasi, MA menolak dan menguatkan putusan yang dikeluarkan Dwiarso. Ganjar kabarnya akan melakukan upaya peninjauan kembali kasus sengketa tanah tersebut.
Tindakan dalam kasus perdata
Keberanian dan kemandirian Dwiarso tidak hanya berlaku pada perkara pidana saja, namun juga pada perkara perdata. Ia pernah memvonis rekan seprofesinya, Asmadinata, 5 tahun penjara atau denda Rp 200 juta yang menjabat sebagai hakim ad hoc di Pengadilan Tipikor Semarang. Asmadinata terbukti menerima gratifikasi saat masih menjabat sebagai hakim ad hoc.
Kasus lain yang ditangani adalah mantan Bupati Kabupaten Karanganyar periode 2003-2013, Rina Iriani Sri Ratnaningsih yang terjerat kasus korupsi subsidi perumahan Griya Lawu Asri (Kabupaten Karanganyar tahun 2007-2008). Rina divonis 6 tahun penjara dan denda Rp500 juta atau menjalani hukuman tiga bulan penjara.
Saat mengajukan banding di tingkat pengadilan yang lebih tinggi, hukuman yang dijatuhkan kepada Rini semakin berat. Pada Oktober 2015, Mahkamah Agung menolak permohonan kasasi Rini.
Majelis menyatakan Rini terbukti melakukan tindak pidana korupsi proyek perumahan dan memberatkan uang pengganti. Awalnya diminta membayar uang pengganti sebesar Rp7,87 miliar, MA mengubahnya menjadi Rp11,8 miliar dengan subsider tiga tahun penjara.
Pernah memiliki harta Rp 1,5 miliar
Sejak resmi berstatus PNS, Dwiarso wajib melaporkan harta dan kekayaannya ke Komisi Pemberantasan Korupsi.
Berdasarkan data laporan kekayaan penyelenggara negara tahun 2011, Dwiarso memiliki harta senilai Rp1,5 miliar. Dengan detail rumah di Jakarta Selatan seluas 318 m2 dan luas bangunan 150 m2. Selain itu, ia juga memiliki dua mobil yaitu Toyota Kijang yang dibelinya pada tahun 2001 dan Honda CR-V tahun 2007 yang dimilikinya pada tahun 2011.
Kekayaan Dwi sejak 2011 hingga 2017 belum diketahui karena tidak tercantum dalam LHKPN. Data LHKPN terbaru yang dapat diakses publik adalah tahun 2011.
Keluarga tidak menyetujuinya
Keputusan Dwiarso untuk melanjutkan karir sebagai hakim ditentang oleh keluarganya. Hal itu terjadi saat Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar ditangkap dalam operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi karena diduga menerima suap.
Kedua anaknya, Rio dan Anya, meminta ayahnya berhenti menjadi hakim. Karena malu melihat profesi ayahnya, setelah Akil ditangkap. Rio yang saat ini tinggal di Jepang, sedangkan Anya yang berprofesi sebagai petugas pajak mengaku siap menanggung biaya hidup keluarga.
Namun larangan tersebut tetap tidak menyurutkan keberanian Dwiarso. Ia terus menapaki kariernya bahkan diangkat ke Mahkamah Agung sebagai Ketua Pengadilan Tinggi Denpasar setelah Ahok dinyatakan bersalah. – Rappler.com