5 hal yang menjadi prioritas pengembangan kelapa sawit Indonesia
- keren989
- 0
PARIS, Perancis – Indonesia menyadari pentingnya mengantisipasi dampak perubahan iklim yang drastis, termasuk kemarau panjang yang dapat menyebabkan kebakaran hutan.
Dalam dua acara terkait promosi kelapa sawit di Eropa pekan ini, Kepala Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP) Indonesia Bayu Krisnamurthi mengatakan pihaknya telah membuka pintu teknologi yang bisa menjadi hot spot awal. berlokasi di kawasan hutan, termasuk yang letaknya jauh di bawah permukaan tanah.
Pada Konferensi Minyak Sawit Eropa 2015 di Milan pada tanggal 29 Oktober. dan Dialog Paris tentang Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia pada hari ini, 2 November, Bayu menyampaikan lima hal yang menjadi prioritas BPDP sebagai lembaga layanan publik untuk mengantisipasi kebakaran hutan dan lahan perkebunan.
Pertama, mencari alternatif selain menebang dan membakar hutan untuk membuka lahan (potong dan bakar).
Kedua, mengadopsi teknologi pengelolaan air pada lahan gambut agar tetap basah dan tahan api selama kekeringan.
Ketiga, melalui BPDP, Indonesia ingin membeli teknologi yang dapat memantau dan mendeteksi titik api.
Keempat, mendapatkan teknologi terkini dalam pemadaman api di wilayah yang luas dan sulit dijangkau.
Kelima, Indonesia terbuka terhadap penerapan teknologi terkini, penerapan pengalaman praktis terbaik, serta lembaga yang dapat diajak berkolaborasi baik untuk pelatihan maupun peningkatan kemampuan petani kelapa sawit.
“Kami mengundang saudara-saudara sekalian yang mempunyai informasi yang kami perlukan agar pelaksanaan kegiatan di bidang kehutanan di Indonesia dapat berlangsung secara lestari,” kata Bayu.
Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Paris yang bekerja sama dengan BPDP menggelar dialog di Paris mengundang 17 perwakilan organisasi lingkungan hidup, seperti Greenpeace dan World Wide Fund for Nature (WWF) di Prancis.
Pemerintah Indonesia saat ini sedang menyelidiki sejumlah perusahaan yang terkait dengan kebakaran hutan. Dua dari 10 perusahaan tersebut terkait dengan produksi minyak sawit. Industri kelapa sawit menggunakan kurang dari empat persen lahan di Indonesia, yaitu sekitar 8-10 juta hektar.
“Semakin banyak perusahaan swasta yang menerapkan pola produksi minyak sawit berkelanjutan,” kata Duta Besar RI Hotmangaradja Panjaitan.
Hotmangaradja juga menggarisbawahi target penurunan emisi karbon dioksida yang tertuang dalam Inended Nationally Defeded Contribution (INDC), usulan Indonesia pada Konferensi Perubahan Iklim di Paris, Desember 2015.
“Indonesia percaya bahwa pembangunan berkelanjutan telah diterapkan, juga di industri perkebunan kelapa sawit,” kata Hotmangaradja.
Presiden Aliansi Perancis untuk Minyak Sawit Berkelanjutan Guillaume Reveilhac menegaskan bahwa aliansinya peduli terhadap penerapan pengembangan minyak sawit berkelanjutan.
“Kami bukan pembela minyak sawit. Yang kami perjuangkan adalah minyak sawit yang memenuhi standar kelestarian lingkungan. “Saya mendapat lebih banyak informasi hari ini tentang fakta industri kelapa sawit dan juga kebakaran hutan,” kata Reveilhac.
Ia mengatakan salah satu kunci untuk memastikan pembangunan berkelanjutan adalah menghentikan deforestasi.
“Saya melihat Indonesia berada pada jalur yang benar,” kata Reveilhac. Ia mengingatkan BPDP untuk mengkomunikasikan rencana aksinya kepada masyarakat Prancis.
Pada bulan Juni tahun ini, Menteri Ekonomi Perancis Segolene Royal mengundang masyarakat memboikot konsumsi Nutella, olesan coklat produksi FerreroPerusahaan Italia, dengan dasar produknya terbuat dari minyak sawit sebagai bahan bakunya.
Jerome Frignet dari Greenpeace mengapresiasi komitmen pemerintahan Presiden Joko “Jokowi” Widodo terhadap moratorium lahan gambut. Ia menceritakan kunjungan Jokowi ke Riau pada November 2014 lalu, di mana ia memerintahkan langsung pembangunan sekat kanal untuk membasahi lahan gambut agar tidak mudah terbakar.
“Kami mendampingi Presiden Jokowi saat itu dan melihat efektivitas upaya tersebut,” kata Frignet.
Kartini Nurmala Sjahrir, Penasihat Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman, mengingatkan pentingnya informasi faktual mengenai kelapa sawit Indonesia.
“Sangat sedikit informasi yang menyatakan bahwa minyak sawit kita merupakan produk penting bagi dunia. “Bahwa minyak sawit sehat untuk dikonsumsi, dan telah lama menjadi konsumsi masyarakat di berbagai negara,” ujarnya.
Data bulan Oktober 2015 yang dikutip dari Sustainable Palm Oil Roundtable, mengenai pencapaian sertifikasi minyak sawit berkelanjutan (CSPO), Indonesia mencapai 74,4 persen dari total CSPO dicatat di seluruh dunia oleh industri minyak sawit.
Bayu menggarisbawahi, memboikot sawit bukanlah solusinya. “Produk minyak yang terbuat dari bahan lain belum tentu lebih sehat, tapi tentu berdampak lebih buruk terhadap kelestarian lingkungan,” kata Bayu mengacu pada produktivitas kelapa sawit per negara dibandingkan dengan industri minyak kedelai dan minyak sayur lainnya.
Melvin Korompis dari Pasifik Agro Sentosa mengatakan baik produsen maupun konsumen harus menyepakati standar terkait perkebunan kelapa sawit berkelanjutan. Ia mengingatkan, kebutuhan minyak nabati terus meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk dunia yang diperkirakan mencapai 9 miliar jiwa pada tahun 2030.
Seluruh pemangku kepentingan juga harus membangun keseimbangan baru terkait isu perubahan iklim dan lingkungan hidup.
“Sebagai perusahaan swasta di sektor kelapa sawit, kami akan mengambil langkah nyata untuk mendukung komitmen pemerintah dan dunia dalam mendorong pembangunan berkelanjutan. “Kami sama-sama peduli terhadap lingkungan yang sehat untuk generasi mendatang,” kata Korompis.
Melvin mengatakan, di lahan yang dikelola Pasifik Agro Sentosa di Kalimantan Barat, 25 persen dari total lahan dialokasikan untuk konservasi.
Dialog Paris juga dihadiri oleh sejumlah perwakilan industri kelapa sawit Indonesia dan asosiasi konsumen kelapa sawit di Perancis. —Rappler.com
BACA JUGA: