
5 Hal yang Perlu Anda Ketahui Tentang Semburan Lumpur Lapindo
keren989
- 0
Hampir satu dekade kasus semburan lumpur Lapindo telah berlalu, namun permasalahannya masih belum terselesaikan. Berikut 5 hal yang perlu Anda ketahui tentang kasus ini.
JAKARTA, Indonesia – Sudah hampir satu dekade lumpur akibat penggalian tambang Lapindo membanjiri kota-kota di Sidoarjo. Pada tanggal 29 Mei 2006, warga dihebohkan karena muncul semburan gas di kawasan tersebut Dusun Balongnongo, Desa Renokenongo, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo.
Semburan gas dan lumpur akhirnya meluas hingga membanjiri 16 desa dan 3 kelurahan. Meski permasalahan ini sudah lewat 10 tahun, namun masih ada sederet permasalahan yang belum terselesaikan. Berikut beberapa permasalahan lumpur di Sidoarjo yang belum terselesaikan:
1. Kompensasi belum lengkap
Tidak semua warga yang rumahnya terendam lumpur menerima kompensasi yang sesuai. Berdasarkan data Badan Pengelola Lumpur Lumpur Sidoarjo (BPLS), ada 105 berkas yang belum dibayar sama sekali; Selain 3.331 berkas yang dibawa pemerintah. Nilai totalnya mencapai Rp 49,7 miliar.
Sedangkan pengusaha yang kehilangan lahannya ada 31 orang dan belum menerima ganti rugi.
Bupati Sidoarjo Saiful Ilah mengaku siap menjadi mediator antara warga dengan pengusaha korban sekaligus juru bayar Lapindo Brantas Inc., PT Minarak Lapindo Jaya.
“Bukan salah Minarak, tapi berkas warganya tidak lengkap,” ujarnya menjelaskan permasalahannya.
2. Lapindo tetap melanjutkan usahanya
Meski masih memiliki utang yang menggunung, Lapindo tetap mengelola operasional perusahaan. Faktanya, memang demikian berencana membuka sumur baru di Tanggulangin, Desa Banjarasri, Sidoarjo.
Vice President Corporate Relations Lapindo Brantas Inc., Hesti Armiwulan mengatakan, tujuan mereka untuk mendukung pilot project Gas Kota milik pemerintah Kabupaten Sidoarjo. “Kami akan mengembangkan sumur di Tanggulangin,” ujarnya.
Rencana tersebut ditolak warga yang masih trauma. “Kami tetap menolak. Warga negara tidak lagi bisa dikendalikan. “Penambahan jaringan gas hanya kedok saja,” kata Arif, warga Desa Banjarasri.
3. Kompensasi tidak sesuai
Sudah lama sekali, bahkan Lapindo tidak membayar kompensasi yang sesuai dengan nilai kerugian warga negara. Misalnya saja Andi, seorang pengusaha yang kehilangan usaha furniturnya karena terperosok dalam lumpur.
Dari total harta senilai Rp9 miliar, Lapindo hanya sanggup membayar Rp1,2 miliar. “Saya menerimanya karena paksaan, bukannya tidak dibayar sama sekali,” katanya.
Namun, hal ini tidak berarti kasus ganti rugi ditutup. Bersama pengusaha korban lumpur lainnya, mereka masih berjuang melalui jalur hukum untuk mendapatkan ganti rugi yang layak.
Rata-rata, kasus penyusutan nilai kerugian dihadapi oleh pihak yang mengatur ganti rugi melalui PT Minarak Lapindo Jaya, juru bayar Lapindo. Sementara yang dibiayai pemerintah tidak mengalami nasib serupa.
4. Penurunan permukaan tanah masih terjadi
Tim Studi Kelayakan Teknis dan Sosial Institut Teknologi Sepuluh November (ITS) Surabaya menemukan masih terjadi penurunan permukaan tanah. Hal itu dilakukan saat mereka mempelajari lokasi pengeboran sumur baru Lapindo di Tanggulangin.
“Sudah terukur, ada yang mengalami penurunan,” kata Amien Widodo, Kepala Pusat Kajian Kebumian, Bencana, dan Perubahan Iklim (PSKNPI) ITS. Salah satu lokasinya mengakibatkan cekungan sehingga air menggenang dan tidak mengalir.
Penurunan ini berbahaya karena kejadian serupa pada tahun 2008 membuat tanah retak, mengeluarkan gas, dan merusak rumah warga. Lokasi ambruknya kurang lebih 500 meter dari pusat semburan lumpur. Pada tahun 2010, tanggul akhirnya runtuh dan menutup pusat letusan sehingga menyebabkan kawasan lumpur semakin meluas. Kawasan ini terbentang dua kilometer dari pusat.
“Saat itu, penurunan tanah sebesar 5 sentimeter per tahun. “Ini data yang sangat penting,” katanya.
5. Aliran lumpur dapat dimanfaatkan
Lumpur Lapindo dibiarkan menggenang dan permasalahan terus berlarut-larut. Padahal menurut ahli geologi Institut Teknologi Adhi Tama Surabaya, Handoko Teguh Wibowo, ada kelebihan tersendiri keluar dari lumpur ini. Ia dan tim telah melakukan penelitian di lokasi tersebut selama 8 tahun.
Handoko menjelaskan, terdapat mineral berukuran besar seperti litium dalam jumlah besar. “Bisa jadi bahan baku baterai. “Di era listrik, potensinya luar biasa,” ujarnya.
Ada juga kandungan yodium yang bisa digunakan sebagai bahan pembuatan LCD, yang harganya bisa lebih mahal dibandingkan minyak dan gas. Bahan ini juga dapat digunakan untuk membuat batu bata ringan, keramik, dan gerabah.-Rappler.com
BACA JUGA: