Ini adalah ringkasan buatan AI, yang mungkin memiliki kesalahan. Untuk konteks, selalu merujuk ke artikel lengkap.
Tidak hanya bantuan medis, korban terorisme juga harus mendapatkan rehabilitasi psikososial dan psikologis.
JAKARTA, Indonesia – Korban serangan teroris sering dianggap hanya membutuhkan perawatan medis untuk luka mereka. Masyarakat dan pemerintah seringkali lupa bahwa ada pelayanan pasca medis yang juga harus diberikan, seperti santunan dan rehabilitasi psikologis.
“Pemerintah dan instansi terkait, khususnya Badan Perlindungan Saksi dan Korban (WPA) harus diingatkan untuk terus memberikan pelayanan medis pascadarurat secara konsisten,” kata Direktur Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Supryadi Eddyono kepada Rappler, Kamis, Mei. 25 Tahun 2017. Hal ini tertuang dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
Sehari sebelumnya, Jakarta baru saja dilanda bom ganda di Terminal Kampung Melayu, Jakarta Timur. Dua pelaku meledakkan bom yang menewaskan 3 petugas polisi dan melukai sebelas orang.
ICJR mengapresiasi kecepatan aparat keamanan dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, dalam hal ini Dinas Kesehatan (Dinkes) DKI dan Sudin Kesehatan untuk memastikan biaya korban ditanggung oleh pemerintah. Penanganan darurat harus dilakukan dengan sangat cepat untuk mengurangi risiko kematian korban.
Mereka berharap tindakan serupa juga dilakukan untuk rehabilitasi psikologis dan psikososial para korban. Dalam Pasal 6 ayat 1 UU 31/2014 disebutkan bahwa bantuan yang berhak diterima korban mencakup kedua rehabilitasi tersebut. Mereka juga berhak mendapatkan ganti rugi sesuai dengan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Terkait hal tersebut, Wakil Ketua LPSK, Lili Pantauli Siregar mengatakan, pihaknya mengunjungi para korban dan keluarganya untuk mengatur pendampingan. Mereka akan berkoordinasi dengan Pemprov agar tidak terjadi double payment.
“Karena sama-sama menggunakan APBN,” ujarnya saat dihubungi Rappler. LPSK memastikan akan membantu di daerah yang tidak ditangani oleh Pemprov DKI Jakarta atau instansi lain. Ini termasuk perawatan medis, psikologis, psikososial dan fasilitasi kompensasi.
Namun, keputusan tersebut masih akan dikaji ulang untuk menentukan apakah sifatnya darurat dan harus segera dilakukan.
Perkuat pengaturan
ICJR juga mendesak agar ketentuan yang memperkuat hak korban terorisme dimasukkan dalam RUU Terirusma yang saat ini sedang disusun. Prosedur yang ada masih memberatkan korban
“Aspek pencegahan dan penerapan hukum terhadap tindak pidana terorisme menjadi penting. Namun ICJR mendorong pemerintah dan DPR untuk memberikan perhatian serius terhadap hak-hak korban, terutama yang terkena dampak langsung aksi terorisme,” kata Eddy.
Salah satu masalah mendasar adalah sulitnya memberikan bantuan darurat, pelayanan medis, kompensasi finansial, serta restitusi atau kompensasi.
“Kalau untuk medis, sudah pasti siapa yang akan memakainya. Soal ganti rugi, praktis tidak pernah berhasil karena harus menunggu putusan pengadilan,” ujarnya.
Terkait hal tersebut, Pemprov menyatakan akan menanggung biaya pengobatan di 4 rumah sakit berbeda tempat para korban dilarikan pasca ledakan. Masing-masing adalah RS Premier Jatinegara, RS Hermina, RS Polri Kramat Jati dan RS Budi Asih. -Rappler.com