• November 28, 2025

Pelaku tindak pidana terorisme masih berusia muda

JAKARTA, Indonesia – Simak data yang memilukan ini.

Zefrizal Nanda Mardani, lahir di Trenggalek, 30 Desember 1993. Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya ini diduga berangkat ke Suriah bersama istrinya. Wanita tersebut juga kuliah di Fakultas Ilmu Pengetahuan Alam dan Teknologi Unair dan pertama kali bergabung dengan Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) atau lebih dikenal dengan ISIS (Negara Islam Irak dan Suriah).

Zefrizal meraih medali emas pada Olimpiade Astronomi di Ukraina pada tahun 2007. Sebelum diduga berangkat ke Suriah, Zefrizal sudah dua semester tak terlihat di kampus.

Rudi Jaelani berusia sekitar 25 tahun. Ia merupakan mantan mahasiswa Universitas Islam Bandung (Unisba) yang diduga bergabung dengan ISIS melalui Turki. Dugaan bergabungnya Rudi berdasarkan laporan dari akun Twitter milisi Kurdi asal Indonesia yang mengunggah dokumen berupa foto ijazah warga Kota Bandung tersebut.

Sekitar April-Mei 2015, pihak keluarga berkomunikasi dengan Rudi. Saat itu, Rudi mengaku sedang berada di Singapura. Tak kalah dengan Rektor Unisba yang meminta pemerintah memeriksa apakah benar Rudi bergabung dengan ISIS. Informasinya membingungkan.

Ada pula RES yang baru berusia 16 tahun. Berdasarkan data yang dihimpun Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), siswa SMA di Provinsi Jawa Barat ini tergabung dalam kelompok Bahrum Naim. Bahrum Naim ditetapkan polisi sebagai tersangka dalang penembakan dan bom di Jalan Thamrin, Jakarta.

RES diduga mempelajari cara membuat senjata api bom asap beracun dari internet. Sejak duduk di bangku kelas 5 SD RES, ia akrab dengan media sosial dan aktif menggunakan akun Facebook. Dari situ terlihat bahwa RES cenderung mengakses informasi dari website-website Islami yang keras. Keluarganya mengajaknya belajar mengaji. Namun RES menilai apa yang disampaikan guru mengaji tersebut tidak sesuai dengan pemahamannya.

Ketiga pemuda ini hanyalah sebagian dari mereka yang diduga dibujuk untuk bergabung dengan organisasi teroris, ISIS. Ada bentuk-bentuk lain yang terinspirasi oleh ISIS dan bersifat non-kekerasan. IAH, 18 tahun, mencoba meledakkan bom di Gereja Santo Yosep, Medan. Untungnya, tidak ada korban jiwa.

Pelaku melukai pendeta tersebut dengan menusuk tangannya. Kepada polisi, IAH mengaku terinspirasi dari informasi di internet terkait serangan teroris di Prancis.

Pada bulan Juli 2016, seorang pendeta di Perancis dibacok hingga tewas oleh dua orang tak dikenal. Keduanya juga menyandera beberapa orang. ISIS mengklaim pelakunya adalah “tentara” mereka.

Terorisnya masih muda dan berpendidikan tinggi

“Usia teroris semakin muda. “Mereka termasuk kelompok umur yang aktif menggunakan media komunikasi internet,” kata Suhardi Alius, Kepala BNPT Komjen Pol.

Pada minggu terakhir bulan September 2016, Suhardi menjelaskan kemajuan upaya pemberantasan terorisme di hadapan sejumlah pemimpin media. Acara dibuka oleh Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto.

Dari data yang diperoleh BNPT, berdasarkan penelusuran terhadap 110 pelaku aksi teroris, terbanyak pada kelompok usia 21-30 tahun (47,3 persen), disusul kelompok usia 31-40 tahun (29,1 persen). Yang berusia di bawah 21 tahun sebanyak 11,8 persen. Data ini berdasarkan penelitian tahun 2012.

Namun jika kita melihat kasus-kasus yang terjadi belakangan ini, fakta bahwa teroris semakin bertambah usianya sulit untuk dipungkiri. Survei pada tahun yang sama mengenai potensi radikalisme di kalangan pelajar menunjukkan bahwa 26,7 persen setuju dengan jihad menggunakan kekerasan. Yang tidak setuju sebanyak 68,4 persen.

Survei di atas dilakukan dengan sampel mahasiswa Universitas Islam Negeri/IAIN UIN Jakarta, UIN Yogyakarta, UIN Makassar, UIN Surabaya, UIN Banjarmasin, UIN Sumatera Utara dan IAIN Padang.

Temuan BNPT lainnya menyangkut tingkat pendidikan pelaku aksi teroris. Padahal, teroris berasal dari kalangan terpelajar.

Sebanyak 63,6 persen tamatan SMA, 16,4 persen tamatan perguruan tinggi.

“Mereka memiliki paparan yang intensif terhadap teknologi komunikasi dan berpotensi juga menjadi perekrut,” kata Suhardi Alius.

Survei terbaru yang dilakukan Wahid Foundation pada tahun 2016 menunjukkan angka-angka yang membuat kita perlu waspada. Proyeksinya, sekitar 7,7 persen atau 11,5 juta jiwa dari 150 juta umat Islam di Indonesia berpotensi bertindak radikal, sedangkan 0,4 persen atau 600 ribu orang terlibat.

Terkait persepsi terhadap ISIS, Setara Institute melakukan survei terhadap siswa SMA Negeri di Jakarta dan Bandung pada tahun 2015. Hasilnya, 16,9 persen menyatakan ISIS adalah pejuang yang ingin menegakkan agama Islam.

Ayub Abdurrahman mantan pimpinan Jemaah Islamiyah yang kini berpindah agama dan membantu BNPT dalam menjalankan program deradikalisasi di berbagai Lapas tempat penahanan pelaku teroris, pengaruh komunikasi di media sosial terhadap proses radikalisasi dan rekrutmen pelaku teroris yang diakui . Oleh karena itu, komunikasi dan pengawasan dari keluarga sangatlah penting.

Motif, pola dan metode perekrutan teroris menjadi semakin canggih. ISIS merekrut dalam tiga tahap.

“Saya juga ngeri dengan ISIS karena saya punya anak juga. Jangan sampai anakku mengikuti jejakku, meninggalkan keluarganya berperang di Afganistan selama lima tahun dan dianggap mati oleh keluargaku karena TIDAK mengucapkan selamat tinggal dan TIDAK bisa berkomunikasi,” kata Ayub Abdurrahman kepada Rappler sesaat setelah ledakan bom terjadi di depan kawasan Sarinah, Jakarta.

Perang melawan teror di dunia maya menjadi semakin sulit karena adanya unsur anonimitas. Pemerintah juga mempunyai kendala dalam pengawasan, termasuk menutup situs dan akun media sosial yang menyebarkan paham radikal. Panduan pembuatan alat peledak dan jihad telah tersebar di dunia maya.

Departemen Luar Negeri AS memantau sekitar 90.000 konten terkait ISIS dan radikalisme diunggah ke media sosial oleh ISIS dan organisasi terkait ISIS setiap harinya. Analis intelijen mencatat bahwa pengikut dan simpatisan bekerja sepanjang waktu untuk membangun percakapan dan diskusi di media sosial, dengan tujuan merekrut pengikut.

Dari film Selfie Jihad kita mendapat pengakuan Teuku Akbar Maulana, remaja 17 tahun asal Aceh, yang hampir menjadi tentara Abu Bakr Al-Baghdadi, pemimpin ISIS. Menurut penuturan Akbar, ada empat cara ISIS mendekati generasi muda.

Langkah pertama adalah menyasar media sosial. Faktor kedua adalah keluarga.

Kurangnya perhatian anggota keluarga dalam memantau akses anak terhadap Internet menambah ruang nyaman bagi mereka untuk terjerat jaringan terorisme, kata Suhardi Alius.

Hingga April 2016, jumlah Warga Negara Indonesia (WNI) di Suriah diperkirakan berjumlah sekitar 1000 orang. Sedangkan data BNPT menunjukkan jumlah WNI yang bergabung dengan ISIS berjumlah sekitar 500 orang. -Rappler.com

Togel SDY