• September 29, 2024

Hari Anti Korupsi Sedunia, 6 Catatan Penting untuk Pimpinan KPK

JAKARTA, Indonesia – Hari ini, Rabu 9 Desember, masyarakat dunia memperingati Hari Anti Korupsi Internasional. Korupsi merupakan penyakit suatu negara sekaligus akar permasalahan pembangunan nasional yang perlu dipecahkan. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merupakan lembaga yang memiliki peran strategis di setiap negara, termasuk Indonesia.

Dalam rangka memperingati Hari Anti Korupsi Internasional, Indonesia Corruption Watch (ICW) memberikan sejumlah catatan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi. Pimpinan KPK saat ini dinilai kurang maksimal dalam menjalankan amanah pemberantasan korupsi di Tanah Air.

Berikut beberapa catatan untuk pimpinan KPK:

1. Janji melindungi Roman Baswedan tidak terbukti

Di awal masa jabatannya sebagai Penjabat (Plt) Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, Taufiequrrahman Ruki berjanji akan melindungi Novel Baswedan yang menjadi korban kriminalisasi.

Hal itu terekam dalam berbagai pernyataannya di media, di mana ia bersama Indriyanto Seno Adji dan Johan Budi SP akan “memasang jenazah” Novel Baswedan.

“Melalui siaran pers yang disampaikan di Gedung KPK pada Mei lalu, ketiganya bahkan berjanji akan mengundurkan diri dari jabatannya sebagai PLT KPK jika Novel Baswedan ditahan Polisi,” kata Peneliti ICW Emerson Yuntho dalam siaran persnya.

Namun sikap berbeda ditunjukkan Ruki dengan menyikapi kekalahan Novel Baswedan dalam sidang praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 9 Juni 2015. Dalam keterangannya kepada media, Ruki menyatakan tak akan ikut campur dalam proses praperadilan Novel Baswedan.

Pernyataan tersebut menunjukkan adanya upaya untuk bermalas-malasan dan tidak mau mempertanggungjawabkan upaya hukum yang dilakukan, padahal kasus yang menimpa Novel erat kaitannya dengan apa yang dilakukan Novel sebagai penyidik ​​KPK yang menangani kasus korupsi dan krisis umum yang melanda. KPK.

Kini, Taufiequrrahman Ruki kembali mengulangi pernyataan serupa. Pada 3 Desember 2015, penyidik ​​Polri akan kembali menahan Novel Baswedan saat menghadiri panggilan Bareskrim Polri.

Hal serupa juga terjadi saat Novel Baswedan menjadi saksi dalam sidang uji materi UU KPK yang diajukan oleh Komisioner KPK nonaktif, Bambang Widjojanto. Dalam persidangan, Novel menyatakan ada bukti rekaman rencana kriminalisasi, intimidasi, dan pengancaman terhadap KPK yang dimiliki KPK. Dalam rekaman itu disebutkan ada rencana untuk mencurigai tidak hanya komisioner KPK, tapi juga penyidik ​​kasus korupsi yang diduga melibatkan Komjen Budi Gunawan.

Namun informasi tersebut tidak dapat dibuktikan kebenarannya karena terbantahkan dengan bukti-bukti yang disampaikan KPK dalam sidang biro hukum KPK.

Posisi ini sungguh tidak menguntungkan bagi Novel Baswedan dan Bambang Widjojanto, Pj Pimpinan KPK di bawah Taufiequrrahman Ruki yang gagal membuktikan komitmen dan janji menghentikan kriminalisasi KPK, lanjut Emerson.

2. Janji untuk menindaklanjuti kasus Budi Gunawan lenyap begitu saja

Setelah dia ditunjuk sebagai penjabat ketua. Komite Pemberantasan Korupsi (KPK), Tufiequrrahman Ruki, berjanji akan terus menangani kasus yang diduga melibatkan Komjenpol Budi Gunawan (saat ini Wakil Kapolri).

Namun tak lama setelah dilantik, kasus dugaan korupsi Budi Gunawan dilimpahkan ke Kejaksaan Agung. Status kasus tersebut kemudian tidak jelas setelah dilimpahkan ke polisi.

Ruki beberapa kali mengutarakan pendapatnya atas pengalihan perkara tersebut karena penetapan Budi Gunawan sebagai tersangka dibatalkan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan karena dianggap tidak cukup bukti.

“Tindakan melimpahkan perkara bukan hanya tidak strategis, tapi juga melemahkan kewenangan KPK dan memicu demoralisasi,” tambah Emerson.

3. Posisi strategis di KPK didominasi oleh Kepolisian

Pada masa kepemimpinannya sebagai Plt. Ketua KPK Ruki melakukan beberapa perubahan di internal KPK, termasuk pengangkatan pejabat baru. Beberapa posisi strategis di KPK kini diisi oleh tokoh Polri yakni Deputi Penindakan, Kepala Biro Hukum, dan Direktur Penyidikan.

Ketiga bidang strategis inilah yang menentukan arah penindakan kasus korupsi, serta kebijakan KPK. Kecurigaan muncul di balik penunjukan perwira Polri pada posisi penting di KPK karena prosesnya dinilai tidak transparan dan akuntabel.

4. Mendukung revisi UU KPK

“Salah satu bentuk potensi pelemahan kelembagaan KPK adalah melalui perubahan peraturan perundang-undangan. “Membuat peraturan perundang-undangan baru atau merevisi undang-undang yang sudah ada merupakan cara yang paling sah untuk mengurangi kewenangan KPK,” kata Emerson.

Cara-cara tersebut kerap digunakan para pelaku korupsi dan kelompok pendukungnya untuk menyerang dan melemahkan KPK. Terdapat berbagai rancangan undang-undang dan peraturan hukum lainnya yang bertujuan untuk melemahkan KPK. Salah satunya adalah Draf Revisi UU KPK. (BACA: Kontroversi 15 poin usulan revisi UU Pemberantasan Korupsi)

Sepanjang tahun 2015, tercatat isu revisi UU KPK sempat diangkat ke publik sebanyak dua kali, namun tidak pernah terealisasi karena penolakan keras masyarakat. Pada bulan Juni 2015, Jokowi menolak usulan revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi karena tekanan masyarakat.

Namun pada Oktober 2015, DPR kembali mengusulkan revisi UU KPK untuk segera dibahas bersama pemerintah. Usulan revisi UU KPK ditanggapi Plt. Pimpinan KPK Taufiequrachman Ruki menolak.

Usulan ini juga ditentang oleh Presiden Joko “Jokowi” Widodo dengan menolak melakukan diskusi bersama.

Pada penghujung tahun 2015, seiring dengan proses pemilihan Komisioner KPK Jilid IV melalui DPR, usulan revisi UU KPK kembali mencuat ke publik. Kali ini saran datang dari Plt. Pimpinan KPK Taufiequrachman Ruki.

“Dalam rapat dengar pendapat dengan komisi hukum DPR pada 19 November, Ruki meminta DPR mengkaji ulang undang-undang KPK. Sikap tersebut tentu bertentangan dan bertentangan dengan upaya melindungi KPK dari serangan para koruptor yang terus berusaha melemahkan KPK, kata Emerson.

5. Tindakan “asalkan bukan polisi”

Upaya penindakan kasus korupsi masih terus berjalan, namun kinerja KPK pada era Ruki sebagai Pj Pemimpin yaitu Februari-Desember 2015 hampir sama dengan kinerja KPK pada jilid I yaitu tahun 2003 – 2007. .

“KPK di bawah kepemimpinan Ruki saat itu tidak berusaha memprioritaskan penanganan perkara korupsi strategis di bidang penegakan hukum,” lanjut Emerson.

SELAMATKAN KPK.  Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi melakukan protes di gedung Komisi Pemberantasan Korupsi pada Jumat 23 Januari 2015 atas penangkapan Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto oleh Bareskrim Mabes Polri.  Foto oleh Gatta Dewabrata/Rappler Lanjut Emerson, tak hanya bertekuk lutut pada sang Jenderal, bahkan Brigadir Polisi sekelas Ruki pun tak berani menyentuhnya. Hal itu terlihat dari dibebaskannya Brigadir Agung Krisdianto, anggota Polsek Menteng yang diduga kurir penyuap pengusaha Andrew Hidayat kepada Adriansyah, anggota DPR dari PDI Perjuangan.

Bahkan, dalam kasus korupsi lainnya, kurir pengantar suap diproses KPK dan akhirnya divonis bersalah. Di antaranya Deviardi (penyuapan kasus SKK Migas), Susi Tur Andayani (penyuapan Pilkada Lebak), dan Muchtar Ependy (penyuapan Pilkada Palembang).

Di era Ruki, banyaknya perkara yang ditangani KPK belum tuntas terselesaikan. Artinya meski proses hukum sudah dilakukan, masih ada aktor lain yang belum tersentuh, seperti kasus dana talangan Bank Century.

6. Plt. Pimpinan KPK: Bandingkan Tumpak H. Panggabean dan Taufiequrachman Ruki

Emerson pun membandingkan KPK pimpinan Ruki dan Tumpak H. Panggabean. Hal ini terlihat dari isu kriminalisasi terhadap dua pimpinan KPK saat itu, Chandra M. Hamzah dan Bibit Samad Riyanto. Saat itu, KPK dipimpin oleh Plt Ketua Tumpak Hatorangan Panggabean yang juga mantan Pimpinan KPK Jilid I.

Pada masa kepemimpinannya, Tumpak H. Panggabean berjasa besar dalam upaya mengakhiri kriminalisasi yang dialami Komisioner KPK Chandra M. Hamzah dan Bibit Samad. Tumpak H. Panggabean sendiri menyampaikan rekaman percakapan berisi upaya kriminalisasi pimpinan KPK dalam sidang Mahkamah Konstitusi.

Langkah ini dinilai sebagai bentuk dukungan dan perlindungan terhadap pimpinan KPK yang dikriminalisasi.

Hal ini berbanding terbalik dengan kriminalisasi terhadap pimpinan KPK Bambang Widjojanto dan Abraham Samad. Dalam sidang Mahkamah Konstitusi dengan Pemohon Bambang Widjojanto, Penyidik ​​Komisi Pemberantasan Korupsi Novel Baswedan membenarkan adanya rekaman perbincangan soal upaya kriminalisasi terhadap pimpinan KPK.

Namun keterangan Novel ditolak Plt. KPK Taufiequrachman Ruki. Bahkan Ruki membantah KPK memiliki rekaman pembicaraan tersebut, lanjut Emerson.

Selain catatan yang ditujukan kepada Pimpinan KPK, ICW dalam rangka memperingati Hari Anti Korupsi Sedunia menyatakan bahwa korupsi merupakan permasalahan yang dihadapi dunia.

Koordinator ICW Ade Irawan mengatakan, masyarakat juga harus berkontribusi pada Hari Peringatan Anti Korupsi Sedunia ini. “Jadi yang perlu dipersiapkan adalah masyarakat bisa melawan korupsi dari hal kecil, karena korupsi sudah masuk ke semua lapisan kehidupan,” ujarnya, Rabu, 9 Desember saat ditanya.—Rappler.com

BACA JUGA:

Angka Sdy