Tunggu hingga bar pada kolom agama di KTP hilang
- keren989
- 0
BANDUNG, Indonesia – Itok tersenyum lebar saat ditanyai jawabannya atas putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memutuskan penganut agama bisa dicantumkan pada kolom agama di Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan Kartu Keluarga (KK).
Senang rasanya, senang, kata Itok saat ditemui Rappler, Selasa, 28 November 2017 di Cigugur, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat.
Wanita berusia 60 tahun itu merupakan satu dari sekitar 400 penganut Sunda Wiwitan yang tinggal di Cigugur Kuningan, Jawa Barat. Ibu dua anak ini belum sepenuhnya memahami bahwa putusan MK akan membuka pintu pemenuhan hak konstitusional umat beragama yang sulit diperoleh. Maklum, kolom agama di KTP-nya tak lagi diberi tanda hubung (-).
Bagi Itok, hilangnya belang menandakan hilangnya ketidakpastian status keyakinannya, serta pengakuan terhadap negara.Senang rasanya bisa diakui pemerintah, kata Itok dengan ekspresi lega.
Sebagai penganut agama Sunda Wiwitan, Itok sudah lama mengalami stigma dan diskriminasi. Ia mengungkapkan, tidak semua suporter Sunda Wiwitan memiliki KTP dan KK karena terkendala aturan administratif.
Saat menikah pada tahun 1980, ibu dua anak ini harus berpindah agama demi mendapatkan akta nikah yang sah dari negara. Saat itu, Itok dan suaminya menikah secara beragama Katolik.
Namun, keyakinan tidak mudah diubah. Itok kemudian kembali menyesuaikan diri dengan ajaran agama yang disebarkan oleh leluhurnya: Pangeran Sadewa Madrais Alibassa Kusuma Wijaya Ningrat. Dan garis-garis itu kembali menghiasi KTP-nya. Itok mengaku akan segera mengurus KTP agar garis-garis itu bisa diganti dengan ‘Mukmin’.
Ketua Yayasan Tri Mulya Tri Wikrama Dewi Kanti Setianingsih mengapresiasi keputusan MK tersebut. Perempuan keturunan langsung Pangeran Madras ini menilai, ketukan palu hakim konstitusi ibarat mengukuhkan kehadiran negara sebagai pengayom seluruh warga negaranya.
Penegasan bahwa rel yang kita pahami sebagai sebuah negara harus dilindungi, masih dalam proses, kata Dewi yang saat ditemui mengenakan pakaian khas perempuan Sunda, mengenakan kebaya kuning dengan rambut disanggul. ke atas.
Meski begitu, Dewi menilai putusan MK tersebut tidak serta merta diselesaikan pada tingkat pelaksanaan. Jalan yang harus ditempuh masih panjang, terutama untuk menyinkronkan kebijakan-kebijakan yang berasal dari putusan Mahkamah Konstitusi. Namun setidaknya Kementerian Dalam Negeri sudah memberikan sinyal akan melaksanakan keputusan tersebut.
Berkaca dari pengalaman masa lalu, Dewi mengatakan kebijakan pemerintah pusat terkadang tidak diterjemahkan dengan baik oleh pejabat pemerintah daerah. Pencantuman garis pada KTP misalnya. Tanda ini memang tercantum pada kolom agama penduduk Sunda Wiwitan. Tampaknya ini merupakan upaya pihak berwenang untuk tidak mengarahkan umatnya kepada agama yang diakui pemerintah. Namun jika melihat arsip kependudukan, Anda akan menemukan data yang berbeda.
“Jadi sebenarnya masalah administratif ini seperti melempar bola. Di satu sisi, ketika warga meminta haknya ditulis sesuai tuntutannya, dikatakan sistemnya belum ada. Kalau sistemnya sudah ada, (katanya) bertahap. Dulu kita digiring, nah kita tidak digiring pada satu agama. “Tapi sebelum kita isi stripnya, sepertinya di database ada beberapa warga yang beragama Konghucu, Islam, dan Katolik,” kata Dewi.
Kebijakan penandaan palang pada KTP muncul setelah pemerintah mengesahkan UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. Dalam Pasal 61 ayat 2 disebutkan kolom agama tidak diisi bagi penduduk yang agamanya tidak diakui sebagai agama berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan atau bagi penganutnya. Namun penghilangan kolom agama yang diberi tanda garis juga berdampak jangka panjang bagi pemeluk agama karena menimbulkan stigma dan diskriminasi.
Dewi mencontohkan, nasib seorang siswa kelas 3 SMK yang ditolak perusahaan tempatnya magang karena kolom agama di KTP-nya hanya terisi strip. Padahal sang anak harus pergi jauh ke luar kota untuk melaksanakan tugas terakhirnya di sekolah.
“Ini merupakan pelanggaran hak asasi manusia. Dan ketika majelis hakim menjelaskan bahwa hak beragama merupakan hak kodrati yang tidak dapat diberikan oleh negara, bukan merupakan pemberian negara, maka hal itulah yang penting untuk ditekankan. Jadi, karena bukan merupakan pemberian negara, maka tidak ada istilah agama yang diakui atau tidak diakui. “Inilah semangat dari keputusan ini,” kata perempuan berusia 42 tahun ini.
Kelebihan dan Kekurangan Putusan Mahkamah Konstitusi
Hakim Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan uji materiil terhadap aturan penghilangan kolom agama pada KTP dan KK sebagaimana diatur dalam Pasal 61 Ayat 1 dan 2, serta Pasal 64 ayat 1 dan 2 UU Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan.
Putusan Mahkamah Konstitusi yang terbit pada 7 November 2017 berimplikasi pada pencantuman penganut agama pada kolom agama di KTP dan Kartu Keluarga.
Artinya pula, penganut suatu keyakinan agama dianggap setara dan mempunyai kedudukan hukum yang sama dengan penganut 6 agama lain yang diakui pemerintah dalam memperoleh hak konstitusionalnya mengenai administrasi kependudukan.
Keputusan ini disambut gembira tidak hanya oleh umat beriman, namun juga oleh sejumlah pihak yang turut memperjuangkan persamaan hak bagi seluruh warga negara Indonesia.
Seperti yang dikatakan Ellen Pitoi dari Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ika. Perempuan berkacamata ini mengungkapkan rasa syukurnya atas pemenuhan hak umat beriman yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia.
“Selama 17 tahun kita memperjuangkan hak konstitusional seluruh agama lokal yang ada di nusantara. Saya bersyukur Mahkamah Konstitusi akhirnya bisa memutuskan semua agama leluhur bisa mencantumkan keyakinannya pada kolom agama, karena itu adalah hak mereka sebagai agama. warga negara,” kata Ellen.
Diakui Ellen, saat memperjuangkan hak konstitusional pemeluk agama, ia menutupi kolom agama di KTP-nya dengan selotip, padahal ia beragama Katolik. Hal ini dilakukan untuk ikut merasakan stigma dan diskriminasi yang dialami umat beriman.
“Dari tahun 2014, saya menutupi kolom KTP dengan pita perekat. Jadi sepertinya saya tidak menganut agama apa, yang saya rasakan, ketika saya mau check in di bandara, mereka melihat sekeliling, kenapa kamu tidak beragama? Saya langsung menjawab, apakah Anda benar-benar perlu tahu? “Saya rasa hal itu juga dirasakan oleh saudara-saudari seiman di sekitar kita,” jelas Ellen.
Rasa terima kasih yang sama juga diungkapkan Nia Sjarifudin dari Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP PIP). Ia mengatakan, putusan MK harus dipatuhi dan dilaksanakan.
“Karena itu bagian dari upaya kita dalam mengoptimalkan kehidupan berbangsa dan bernegara serta komitmen kita terhadap empat konsensus kemerdekaan,” kata Nia.
Untuk membantu sosialisasi putusan tersebut, UKP PIP berkolaborasi dengan Sunda Wiwitan menggelar acara sosialisasi hasil uji materiil MK terkait kolom agama di KTP kepada petugas dinas terkait di Kecamatan Cigugur, Kabupaten Kuningan, 27-28 November 2017.
Namun keputusan MK tersebut juga mengundang penolakan dari Majelis Ulama Indonesia (MUI). Seperti diberitakan sejumlah media, MUI menolak dengan alasan penambahan agama lain di KTP berpotensi merugikan bangsa dan negara karena bisa menimbulkan kontroversi.
MUI juga menegaskan, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 yang hanya mengakui 6 agama harus dipertahankan. Sedangkan keyakinan agama bukanlah agama sehingga tidak bisa dituliskan pada kolom agama di KTP Anda.
Menanggapi penolakan tersebut, Dewi mengatakan pro dan kontra adalah hal yang lumrah dalam setiap keputusan. Meski demikian, Dewi meminta semua pihak menghormati keputusan hukum, terutama yang diputuskan oleh lembaga hukum tertinggi.
“Anggap saja saudara kita MUI masih butuh waktu untuk mengenali permasalahan kita. “Kami meyakini ketika landasan agama setiap orang adalah penghormatan terhadap kemanusiaan, maka tidak ada alasan bagi pemeluk agama apapun untuk bisa meremehkan hak asasi orang lain,” ujarnya tenang. —Rappler.com