Kronologi tindakan intoleransi pada kelompok korban 65 orang
- keren989
- 0
JAKARTA, Indonesia —Kelompok masyarakat intoleran kembali membubarkan pertemuan kelompok minoritas dengan kekerasan. Kali ini YPKP 1965 yang menjadi korbannya.
“Kami mengutuk keras penyerangan dan pembubaran pertemuan YPKP 1965,” kata Reza Muharam, anggota eksekutif Sekretariat Pengadilan Rakyat Internasional 1965 dalam siaran pers yang diperoleh Rappler, Jumat, 15 April 2016. Larangan pertemuan YPKP bertentangan dengan pernyataan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Hukum Luhut Binsar Panjaitan yang berjanji akan menghentikan pembubaran paksa semacam ini.
Acara tersebut mendapat dukungan
Ketua YPKP Untung Bejo mengatakan pertemuan itu telah dilaporkan ke polisi sektor setempat. “Sehari sebelum kejadian, saya langsung mendatangi Kapolsek pada pukul 20.00. “Juga RT dan RW setempat,” ujarnya di Jakarta.
Saat itu, ia diterima secara resmi, bahkan dengan gembira oleh Kapolri. Untung mengira acara bisa berjalan lancar setelah itu.
Selain itu, pertemuan yang berlangsung di Wisma Collibah itu bukan untuk merencanakan sesuatu yang luar biasa. Rencananya, 65 korban akan bertemu di berbagai daerah, serta membahas sikap terhadap simposium 1965 yang akan digelar pekan depan.
Jauh sebelum pertemuan berlangsung, Untung juga sempat mengunjungi pemilik wisma, Vera. Saat itu, keselamatan peserta terjamin, bahkan mereka diimbau untuk tidak melapor ke polisi setempat karena letak wisma yang sangat terpencil.
Namun pada 7 April, anggota YPKP Pekalongan dan Pemalang menyebut acara ini bocor. “Meskipun kami berhati-hati untuk tidak menggunakan SMS atau media sosial, melainkan percakapan melalui surat. Intinya sudah ada yang mengetik, ujarnya.
Kejadian ini pun memaksanya menemui kapolsek setempat untuk memastikan acara dapat berlangsung aman.
Sayangnya, di hari pertemuan tersebut, Untung menemukan pemandangan yang aneh. “Saya datang pada pukul dua siang dan melihat pengawasan dan pemantauan intelijen yang sangat mencurigakan,” ujarnya.
Tak lama kemudian, tiba-tiba orang banyak datang. Saat ditanya Kapolri, disebutkan 1000 orang itu berasal dari FPI, Pemuda Pancasila, dan ormas lain yang berasal dari Bandung dan Cianjur.
“Saya kaget karena lokasinya sangat terpencil. Aneh sekali kalau ada kelompok yang fanatik. “YPKP sudah dua kali menggunakan tempat itu,” kata Untung.
Cara pembubaran baru
Kedatangan massa memberikan tekanan kepada pemilik wisma. Vera yang takut dan khawatir harta bendanya rusak, terpaksa tak terima peristiwa itu terjadi.
Saat itu, 500 petugas polisi hadir dan membentuk pagar. Namun, alih-alih mengusir kelompok fanatik, malah melobi peserta acara untuk membatalkan rencana mereka begitu saja. “Karena masyarakat intoleran ini tidak menginginkannya, tentu saja tidak boleh mengadakan acara ini,” kata Untung menirukan ucapan polisi saat itu.
Kapolres yang turut hadir saat itu juga mengatakan, polisi bermaksud melindungi mereka dengan meminta pembatalan acara tersebut. Namun, menurut Untung, jika niatnya benar, seharusnya kelompok intoleran diusir. “Bukan kami,” katanya.
Akhirnya peserta meninggalkan lokasi dengan menggunakan bus menuju LBH Jakarta dan tiba sekitar pukul 23.00. Acara wisata juga rencananya akan dilanjutkan di sana.
Kejadian ini mungkin berdampak negatif terhadap upaya rekonsiliasi antara korban 65 dan pelaku. Untung mengatakan pembubaran paksa ini ada kaitannya dengan permainan tentara.
“Bagaimana ormas Islam bisa mengintai, padahal kita tidak ada hubungannya dengan mereka,” ujarnya. Jika negara menginginkan rekonsiliasi, mereka juga harus menghentikan ancaman dan teror terhadap para korban tahun 1965.
Simposium ini hanya basa-basi
Pembubaran paksa ini membuat upaya simposium tersebut hanya sekedar basa-basi. Intimidasi, diskriminasi dan aksi teror terhadap korban dan keluarganya bertujuan untuk menciptakan rasa diam yang membungkam mereka.
Sehingga korban tidak mengungkapkan kebenaran dan menuntut keadilan dan rehabilitasi yang merupakan haknya,” kata Reza. Padahal, pengungkapan kebenaran dan motif politik di balik pelanggaran HAM tahun 1965 merupakan elemen terpenting dalam menyelesaikan permasalahan ini.
Kegagalan pemerintah dalam mengatasi intoleransi juga menunjukkan bahwa pola rezim Orde Baru masih tertanam kuat di pemerintahan Presiden Joko Widodo. Selama kepemimpinan Jokowi, IPT mencatat ada 30 kejadian serupa.
Padahal Presiden Jokowi sudah menegaskan akan menyelesaikan peristiwa itu secara hukum dan non-yudisial, ujarnya.
Reza juga meminta polisi tidak takut terhadap kelompok intoleran. Sebagai pengayom masyarakat, sudah menjadi kewajiban mereka untuk melindungi masyarakat, termasuk korban kejahatan HAM 1965 dan keluarganya, dari kekerasan atau ancaman dari pihak manapun.
“Harus sejalan dengan instruksi Presiden Jokwi baru-baru ini, agar aparat keamanan bisa mengambil sikap tegas terhadap kelompok intoleran,” ujarnya.—Rappler.com