• September 27, 2024

Dunia kekerasan seksual yang sunyi

Dalam dua dekade terakhir, kita banyak mendengar cerita tentang pacar yang diperkosa dan dibunuh, bahkan menjadi cerita di film-film Indonesia.

Tahun lalu, seorang guru SD di Garut diperkosa dan dibunuh karena menolak cinta seorang laki-laki. Tetangga itu menulis ceritanya. Pria itu membunuh pacarnya karena dia hamil dan mengaku bertanggung jawab.

Dan tahun ini, seorang wanita mengaku kepada penulis bahwa dia baru menyadari bahwa dia adalah korban pemerkosaan yang dilakukan pacarnya.

Fenomena pemerkosaan dan kekerasan seksual lainnya terhadap perempuan Indonesia masih tinggi. Apa penyebabnya?

Seperti diketahui, sejak dahulu kala, perempuan Indonesia “dibentuk” oleh konstruksi sosial, menjadi pasif, manis, dan penuh hormat. Tidak ada ruang bagi perempuan untuk bertindak bertentangan dengan tatanan masyarakat.

Bahkan pacar pun sudah diperbaiki. Pacar harus diselesaikan berat biji bebet (ungkapan lama tentang sifat-sifat orang baik) yang nantinya akan menjadi orang yang “baik”.

Dulu kita mengenal perjodohan dalam keluarga, dimana dua keluarga menentukan siapa yang akan dikencani dan dinikahi oleh anak tersebut. Pertandingan ini dibawakan oleh banyak budaya di Indonesia, mulai dari Sumatera, Jawa hingga Indonesia Timur.

Belum diketahui kapan perubahannya. Namun, pada zaman dahulu, seorang wanita tidak bisa menolak untuk menikah dengan pria yang sudah beristri, meskipun pria tersebut berperilaku kejam atau penjahat.

Konstruksi sosial dan budaya patriarki inilah yang selalu menyebabkan posisi perempuan rentan terhadap kekerasan terhadap perempuan.

Kekerasan seksual

Terdapat 15 jenis kekerasan seksual yang ditemukan Komnas Perempuan dari hasil pemantauannya selama 15 tahun (1998–2013), yaitu:

  1. Memperkosa
  2. Intimidasi seksual mencakup ancaman/upaya pemerkosaan
  3. Pelecehan seksual
  4. Eksploitasi seksual
  5. Perdagangan perempuan untuk tujuan seksual
  6. Prostitusi paksa
  7. Perbudakan seksual
  8. Pernikahan paksa, termasuk perceraian yang tertunda
  9. Kehamilan paksa
  10. Aborsi paksa
  11. Pemaksaan kontrasepsi dan sterilisasi
  12. Penyiksaan seksual
  13. Hukuman tidak manusiawi dan bernuansa seksual
  14. Praktik tradisional bermuatan seksual yang merugikan atau mendiskriminasi perempuan
  15. Pengendalian seksual, termasuk melalui peraturan yang diskriminatif berdasarkan moralitas dan agama

Pelecehan seksual yang bisa dianggap enteng di mana pun, termasuk dalam kekerasan seksual. Kebanyakan perempuan mengalami pelecehan, baik di jalan raya, angkutan umum, sekolah, dan tempat kerja.

Ketika perempuan protes, mereka dianggap mencari masalah dan mencari masalah. Pelecehan seksual dianggap wajar. Perempuan juga dipandang sebagai objek yang dipandang atau dilihat oleh mata laki-laki sebagai pemuas hawa nafsu atau keinginan.

Banyak orang yang belum mengetahui bahwa kekerasan seksual seperti pemerkosaan bisa terjadi dalam hubungan. Bahkan pemerkosaan dalam rumah tangga yang dilakukan seorang laki-laki terhadap istrinya tidak dianggap sebagai bagian dari kekerasan.

Kekerasan seksual dalam pacaran dapat terjadi dalam berbagai bentuk, antara lain pemaksaan hubungan seksual, pemerkosaan, pemaksaan dengan alat, intimidasi dan ancaman. Hal-hal tersebut berkaitan dengan perubahan emosi pada pasangan wanita akibat hubungan yang tidak sehat.

Pria dalam hubungan

Bagaimana laki-laki menjadi pelaku kekerasan seksual? Apakah karena dia dilahirkan dalam keluarga itu? Ataukah karena struktur budaya kita melanggengkan pola pikir laki-laki sebagai penguasa dalam konstruksi gender.

Sejak zaman Majapahit, para penguasa atau orang yang berkuasa mempunyai kebebasan seksual yang mutlak. Hal ini terlihat dari raja-raja dan penguasa kerajaan-kerajaan nusantara yang boleh mengambil istri, selir, atau istri mana pun yang mereka inginkan.

Mereka dapat membangun hubungan dan berhubungan dengan siapa saja yang dianggap “di bawah” mereka dan yang wajib dipatuhi oleh perempuan dalam situasi ini. Sebab perempuan adalah objek keindahan, objek kepuasan dan juga “prestasi” dalam kekuasaan.

Hubungan ini juga “berakar” pada berbagai budaya di Indonesia. Pada budaya lain seperti di Indonesia Timur, misalnya laki-laki di Sumba juga bisa beristri 2 atau 3 orang dan memilih sesuai keinginannya.

Ketika hubungan kekuasaan ini menjadi landasan budaya kehidupan, maka hubungan dalam berpacaran atau menikah pun menjadi sama. Dalam hubungan pacaran, laki-laki dianggap bertanggung jawab, menjaga dan menjaga perempuan.

Hubungan dalam pacaran kebanyakan adalah hubungan antara pihak yang berkuasa (laki-laki) dan pihak yang dikendalikan (perempuan). Ketika hubungan berjalan seperti ini, perempuan rentan tertindas dan diatur sesuai keinginan pihak yang lebih berkuasa.

Banyak contoh wanita yang tidak berani memotong rambutnya karena pria lebih menyukai wanita yang berambut panjang. Atau sekarang wanita harus berhijab agar pacarnya bahagia.

Segala aturan yang dibangun terkadang tidak melibatkan perempuan dalam proses seleksi, bahkan menjadi beban dan tersembunyi.

Dahulu, kasus pemerkosaan dipandang sebagai sesuatu yang terjadi begitu saja Tabrak lari di jalan raya seorang laki-laki sembarangan mengincar perempuan untuk diperkosa, jadi tidak seperti itu lagi.

Seorang pacar dapat membangun hubungan, menjaga pacarnya dan merawatnya dengan baik di awal berkencan. Kemudian terjadi pemerkosaan dan perempuan seringkali tidak berani berbicara karena takut.

Jika kemudian terjadi kehamilan, pihak perempuan atau keluarga pihak perempuan biasanya akan mengikuti jalur keluarga untuk menikah. Namun, banyak juga yang berakhir buruk, seperti aborsi yang tidak aman, perselisihan keluarga, dan bahkan pembunuhan.

Hukum dan Kebaikan Korban

Banyak orang yang belum mengetahui bahwa media sosial kini telah menjadi sarana terjadinya berbagai jenis kekerasan seksual.

Ada beberapa kasus pemerkosaan terhadap remaja putri, karena diprovokasi oleh laki-laki yang tidak bertanggung jawab.

Kejahatan atau kriminalitas yang sudah lama muncul, baik di ruang publik maupun domestik, tidak semuanya tercatat. Rekor yang kita punya ibarat puncak gunung es.

Catatan kecil itu dikantongi oleh Komnas Perempuan dan lembaga seperti Yayasan PULIH yang mendampingi korban dan LBH APIK (Lembaga Bantuan Hukum Perkumpulan Perempuan Indonesia untuk Keadilan).

Selain itu, kasus kekerasan seksual masih sangat sulit diselesaikan melalui sistem hukum Indonesia.

Kasus RW, remaja putri yang diperkosa tersangka kasus SS, dilaporkan ke polisi pada tahun 2013. Banyak keberatan dan informasi di media juga tersebar bahwa tidak ada pemerkosaan.

Pemerkosaan dalam hal ini dianggap sebagai hubungan antara dua orang yang pacaran lalu bermasalah. Bahkan dunia sastra membela pelakunya karena dia adalah teman lama banyak komunitas seni.

Banyak yang tidak mengetahui bahwa SS telah “mewawancarai” dan mendekati RW serta beberapa perempuan lain di komunitas sastra atau seni di Jakarta, sehingga korban akhirnya percaya dan cukup dekat dengan pelaku. Begitu mereka sudah dekat, dia akan menangkap dan memperkosa korban dengan biaya penangkapan.

Hingga saat ini kasus tersebut terhenti meski SS selaku pelaku telah menjadi tersangka. Berkas bolak-balik antara polisi dan kantor kejaksaan. Advokasi dalam kasus yang tertunda juga terhenti karena kurangnya bukti menurut polisi.

Kesaksian RW dan keterangan dua korban lainnya rupanya belum cukup menjadi bukti bagi sistem hukum Indonesia.

Saat ini, Komnas Perempuan melakukan advokasi dengan banyak jaringan LSM perempuan konsep Rencana UU Anti Kekerasan Seksual sudah mulai sampai di meja DPR RI.

Undang-undang ini diharapkan lebih suportif terhadap perempuan korban kekerasan seksual dalam bentuk apa pun, dan juga mengakomodir kasus-kasus hukum pidana terkait yang belum masuk dalam UU KUHP kita.

Saat ini, RW sebagai korban terus bekerja dan menghidupi anak-anaknya. Undang-undang tersebut gagal memihak korban pemerkosaan RW dan korban pemerkosaan lainnya di Solo, NTT dan banyak provinsi lain di Indonesia.

Jadi para penyintas RW harus bangkit dan berjuang sendiri didukung oleh gerakan perempuan. —Rappler.com

Olin Monteiro adalah aktivis hak-hak perempuan, penulis, pembuat dokumenter dan penerbit buku-buku perempuan. Dia bisa dihubungi di Facebook Olin Monteiro dan Twitter @namasteolin.

BACA JUGA

Sidney siang ini