Latar belakang tragedi 1965 antara Cinta dan Rangga
- keren989
- 0
Apa yang terjadi dengan Cinta dan Rangga setelah 14 tahun? Saya pribadi tertarik untuk mengetahuinya. Karena saya adalah remaja yang tumbuh di bangku SMA dengan kisah cinta monyet Rangga Yosrizal dan Cinta Andarini Puspaningrum.
Saya juga tidak mau ketinggalan peluncuran AADC 2. Apalagi Cinta dan Rangga kembali bertemu di film tersebut.
Aku menontonnya adegan demi adegan mencoba menilai kualitas dialog yang ada di sekuel AADC, seperti memastikan film yang kutonton itu seperti mantan yang masih sama setelah melihatnya selama 14 tahun tidak melihatnya. Namun jawabannya adalah, tidak mungkin.
Saya memahami banyak orang yang kecewa setelah menonton AADC 2. Bahkan media seperti Rollingstone Indonesia mengkritik keras film ini. Baca ulasan sadisnya di sini.
Namun di tengah kritik tersebut, saya melihat konsistensi dari produser Mira Lesmana dan sutradara Riri Riza. Keduanya terus menghadirkan isu-isu kritis terhadap tatanan baru dalam film-filmnya.
Di mana Anda bisa mendapatkannya?
Oke, mari kita mulai dengan AADC yang pertama. Yakni adegan kedua pasangan makan malam bersama ayah Rangga, Yosrizal.
Berikut cuplikan adegannya:
Hanya saja masakannya tidak semenarik musiknya, Cinta, kata Yosrizal.
“Tapi baunya enak sekali, Paman.”
Yosrizal tertawa singkat. Rangga tersenyum.
Yosrizal, Rangga dan Cinta sedang duduk di meja makan.
“Hanya ada dua jenis masakan. Wajar jika makan di rumah pensiunan yang tidak pernah menerima uang pensiun.”
“Maksud Om?”
“Dia orangnya keras kepala,” kata Rangga.
“Ssst… monyet!”
“Siapa yang keras kepala?” Cinta bertanya.
“Siapa lagi,” kata Rangga saat Rangga “menunjuk” dengan dagunya atau alias ke arah ayahnya, dan Yosrizal hanya tersenyum.
“Ganggu bagaimana?” Cinta sedang mencoba mencari tahu.
“Dia menulis tesis pada tahun ’96 tentang pembusukan orang-orang di pemerintahan, yang sama saja dengan mencari kematian. Ya, lebih baik dipecat saja. Dituduh komunis. Terlibatlah dalam gerakan makar.”
Cinta tertegun beberapa saat.
“Kenapa, tapi bukankah itu reformasi sekarang, paman? Jadi, itu tidak menjadi masalah lagi, kan?”
“Apa itu reformasi, Love?”
Setelah itu, suara sepeda motor menderu kencang. Salah satu orang yang duduk di kursi belakang kemudian mengangkat botol cairan dengan api di ujungnya.
Sedetik kemudian ia melemparkan botol api ke dalam rumah Rangga, detik berikutnya kedua sepeda motor itu melaju meninggalkan rumah Rangga.
Tiba-tiba bola api ujung bom molotov melesat ke dalam rumah. Rangga berdiri secepat kilat, lalu menarik tangan Cinta dan memaksanya untuk berbaring lalu memeluknya erat.
Baca dialog selengkapnya Di Sini.
Di sekuel pertama ini, ayah Rangga menjadi simbol perlawanan terhadap orde baru yang anti komunis. Menarik sekali bukan?
Dalam sekuel AADC2 tersebut, Riri dan Mira nampaknya terus menunjukkan konsistensi ‘seolah-olah’ menyembunyikan pesan-pesan, baik disengaja maupun tidak, tentang kelam di antara romantisme.
Yakni dengan pertunjukan wayang golek dari Papermoon Puppet Theater karya Ria dan Iwan Effendi bertajuk Secangkir kopi dari Playa.
Tadi pagi saya telepon Ria, Sabtu 30 April dan menanyakan ide kemunculan Papermoon dari mana? Dari Riri atau dari Mira?
Saya pribadi adalah penggemar berat Papermoon Puppet sejak saya melihatnya di Salihara tahun lalu. Pertunjukan Papermoon yang saya tonton kali ini di AADC membuat saya penasaran secara pribadi.
Sekilas adegan film AADC2 hanya terlihat saat Rangga mengajak Cinta menonton pertunjukannya. Mata Cinta menatap tajam ke arah kedua boneka itu. Termenung.
Cerita Secangkir kopi dari Playa Memang mirip dengan kisah Cinta dan Rangga. “Konsepnya adalah kekasih yang telah lama hilang,” kata Ria kepadaku.
Cinta dan Rangga berpisah selama 9 tahun tanpa penjelasan dan tanpa penyelesaian. Bedanya dengan dua angka di Secangkir kopi dari Playa Adalah Widodo Suwardjo, pemuda kelahiran 2 September 1940 dan pacarnya, putri sulung seorang direktur perusahaan negara.
Konon setelah menyelesaikan studinya di Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada, Widodo mendapat kehormatan untuk melanjutkan studi jauh di Moskow, Rusia pada tahun 1959.
Sebelum berangkat, ia telah bertunangan dan bahkan berencana menikah setelah menyelesaikan studinya. Bertahun-tahun berlalu, surat cinta di antara mereka akhirnya terputus oleh peristiwa 30 September 1965.
Saat kuliah di Moskow, kewarganegaraannya tiba-tiba dicabut oleh pemerintah Orde Baru karena dianggap pro-Sukarno dan belajar di negara komunis.
Dia tidak bisa pulang, dia tidak bisa tiba-tiba menghubungi keluarga dan pacarnya. Tanpa alasan yang dia mengerti
Lebih dari 40 tahun berlalu, dan mahasiswa tersebut menyelesaikan studi doktoralnya dan menjadi ahli metalurgi di Kuba.
Empat puluh tahun telah berlalu, dan dia masih memilih untuk tidak menikah, untuk memenuhi janjinya kepada kekasihnya di suatu tempat.
Pada masa pemerintahan Gus DurAhli metalurgi tersebut kemudian mendapat visa untuk kembali ke tanah air bertemu keluarganya.
Hampir setiap sore, ahli metalurgi ini menaiki bus dengan rute yang sama dengan yang ia dan pacarnya naiki di tahun 60an. Dengan harapan dia akan bertemu tunangannya dari masa lalu di dalam bus!
Kisah sepasang kekasih yang hilang, terpisah oleh jarak dan waktu akibat rumitnya kondisi politik saat itu, membuat kisah ini menyentuh hati banyak orang yang menontonnya, termasuk Cinta, saya, dan kalian yang menonton AADC2.
Hal inilah yang menurut saya patut dibanggakan dari kedua sineas yang mengangkat isu-isu tabu dan kritis, meski dibalut dengan kisah romansa drama remaja. Apalagi tema tragedi 1965 sepertinya masih kurang populer di kalangan anak muda.
Saya yakin film ini tidak hanya akan menggairahkan perfilman nasional tetapi juga membantu memberikan petunjuk kepada generasi muda tentang sejarah bangsa yang mungkin jarang dibicarakan dalam kehidupan sehari-hari.
Bagi kalian yang belum menonton, saya sarankan tidak hanya menunggu adegan saat Rangga menyatakan perasaannya pada Cinta saja, tapi juga detail tersembunyi yang ada di film ini. Seperti pertunjukan Teater Boneka Papermoon kali ini. Selamat menonton! —Rappler.com
Febriana Firdaus adalah jurnalis Rappler Indonesia. Ia fokus membahas isu korupsi, HAM, LGBT, dan pekerja migran. Selain menjadi jurnalis, ia juga merupakan produser Podcast di @Ingat65. Febro, sapaan akrabnya, bisa disebutkan @febrofirdaus.
BACA JUGA