• September 30, 2024

Risma ‘meraup’ keuntungan dari penutupan Gang Dolly

SURABAYA, Indonesia – Vira dan Endang, keduanya ibu rumah tangga, baru saja keluar dari Tempat Pemungutan Suara (TPS) I Jajar Tunggal di Surabaya, Jawa Timur pada Rabu, 9 Desember.

Saat didekati Rappler, tanpa malu-malu mereka mengaku merupakan pendukung mantan Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini.

“Saya dukung Risma,” kata Vira.

“Sama saja,” jawab Endang.

Apa alasannya?

“Saya melihat kesederhanaan dalam diri Bu Risma,” kata Vira.

Selain itu, Risma juga dikenal sebagai Wali Kota yang rela turun lapangan. Vira bercerita, saat Risma masih menjabat Kepala Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Surabaya pada 2005, ia melihat istri Kediri turun ke taman pada malam hari.

Akhir yang lain. Dia melihat Risma mengatur lalu lintas di depan Taman Pondok Indah dan Taman Basuki Rahmat setahun lalu, saat dia masih menjabat Wali Kota. Dia kagum.

Namun fenomena blusukan Risma bukanlah hal baru. Keduanya membeberkan alasan lain yang membuat mereka memilih peraih Penghargaan Bung Hatta Anti Korupsi tahun 2015.

“Risma satu-satunya orang yang bisa menutup gang Dolly setelah puluhan tahun,” kata Vira merujuk pada wilayah lokalisasi terluas di Asia Tenggara.

“Hanya dia yang berani,” kata Endang.

“Kami berharap sejak lama, dan sekarang kami sangat senang (Dolly tutup),” kata Endang lagi.

Mengapa isu penutupan gang Dolly penting bagi mereka?

“Untuk mengurangi prostitusi,” kata Endang yang berprofesi sebagai guru.

Sementara itu, Vira menambahkan, dirinya khawatir praktik prostitusi di Dolly akan dikonsumsi oleh mahasiswa yang kampusnya berdekatan dengan kawasan tersebut, dan menyebar ke kampus lain.

Lalu apa kata generasi muda?

Kasbullah (19 tahun), siswi SMA 14 Surabaya, mengakui salah satu prestasi Risma adalah penutupan lokasi gang Dolly.

Mengapa generasi muda juga menganggap isu ini penting?

“Karena berdampak menjaga nama baik Kota Surabaya, karena lokalisasi Dolly terbesar di Asia Tenggara,” ujarnya.

Ia pun mengaku khawatir dengan adanya lokalisasi akan berdampak pada generasi muda di Surabaya. “Saya khawatir ini akan berdampak pada generasi sekarang,” katanya.

Dikunci secara paksa

Penutupan Dolly’s Alley terjadi pada 19 Juni tahun ini. Penutupan tersebut membuat heboh dan Risma menuai banyak kritik.

Meski ditutup, Dolly masih menjadi perhatian karena membutuhkan kerja keras Risma untuk mencatatkan rekor tersebut Desa Putat Jaya bebas dari berkeliaran dan prostitusi pada tanggal 27 Juli, atau sebulan setelah penutupan. Putat adalah wilayah Dolly.

Ratusan anggota polisi, petugas Satuan Polisi Pelayanan Umum (Satpol PP), dan Satpol PP mendatangi kawasan prostitusi Dolly. Pengamanan ketat ini dilakukan setelah warga Dolly menolak pemasangan plakat tersebut beberapa hari lalu.

Aparat keamanan dihadang warga dan diusir hingga segera menghentikan pemasangan poster tersebut. Warga tak kuasa menahan amarahnya.

Penutupan Gang Dolly tidak hanya mendapat penolakan dari warga sekitar, tapi juga perwakilan Risma, Wishnu Sakti Buana. Menurut Wisnupenduduk setempat belum siap kehilangan manfaat dari kegiatan ekonomi dan penghidupan di sekitar kawasan.

Belum lagi kritik dari aktivis HIV/AIDS. Menurut mereka, penutupan Dolly Alley tidak serta merta menghentikan penyebaran virus mematikan tersebut. Baca laporan lengkap Rappler di sini.

Risma mencetak kemenangan besar di gang Dolly

Di tengah kontroversi tersebut, Risma dan Wishnu unggul di TPS 51, satu-satunya TPS di Gang Dolly, dengan memperoleh 186 suara, meninggalkan lawannya, Rasiyo dan Lucy Kurniasari, yang memperoleh 58 suara. Sisanya tidak valid.

Setidaknya ada 484 warga yang terdaftar sebagai pemilih dan 250 orang telah menggunakan haknya pada hari ini.

Menurut Gunawan, warga Dolly, dirinya marah saat Risma menutup tempat kerjanya. Tapi dia tidak punya pilihan.

Hari ini dia memilih Risma. Mengapa? “Nyonya. Risma masih merasa lebih baik (dibandingkan calon lainnya),” ujarnya.

Tetangga Gunawan, Siswati, yang menjalankan usaha penyewaan kamar untuk pelajar, juga mengaku mendukung Risma. Alasannya: “Pekerjaan terbukti, aturan disiplin benar-benar diterapkan.”

Saat mayoritas warga Dolly memprotes penutupan tersebut, Siswati termasuk salah satu yang diam-diam mendukungnya. “Karena saya punya anak, penutupan Dolly bagus,” ujarnya.

‘Risma menawarkan identitas baru untuk Dolly’

//

Terlepas dari pro dan kontra atas keputusan Risma menutup Dolly, pengamat politik Universitas Airlangga Suko Widodo menyebut kebijakan perempuan asal Kediri ini memang menguntungkan secara politik.

“Dolly sudah menjadi citra buruk Surabaya. Risma menghilangkan identitas buruk di daerah tersebut, dan menawarkan untuk membangun identitas baru,” kata Suko kepada Rappler, Rabu sore.

Menurutnya, penutupan tersebut memberikan makna positif bagi citra Kota Surabaya dan juga Risma.

Disadari atau tidak, penutupan Dolly Alley membuat mayoritas warga pendukung kebijakan Risma semakin bangga dengan kotanya.

Terkait gambaran tersebut, Klemens, warga gang Dolly lainnya, justru mengingatkan Risma kepada siapa pun calon wali kota baru ke depannya. “Setelah itu, pekerjaan rumah untuk membangun Dolly lebih baik lagi,” ujarnya.

Jadi, kata dia, Dolly bukan sekedar isu di tataran politik. Sebagai warga Dolly, ia sangat menantikan momen itu.

“Harus ada perubahan,” katanya.—Rappler.com

BACA JUGA:

Data Sidney