Hampir selesai, berikut 11 poin temuan sementara Pansus Hak Penyidikan KPK
- keren989
- 0
JAKARTA, Indonesia – Wakil Ketua Pansus Hak Penyidikan DPR terkait tugas dan wewenang KPK Taufiqulhadi yakin rekomendasi akhir pansus kinerja lembaga antikorupsi bisa diterima. oleh semua pihak. Sebab, berdasarkan penyelidikan yang obyektif.
Saya kira kalau pandangan akhir Pansus objektif, maka semua pihak akan mendukungnya, kata Taufiqulhadi, Jumat, 8 September di Jakarta.
Taufiqul meyakini rekomendasi pansus KPK akan berbeda dengan pansus Pelindo II. Di panitia khusus Pelindo, ketua memberikan rekomendasi secara sepihak tanpa berkonsultasi dengan anggota lain. Politikus Partai Nasdem itu mengatakan, temuan Pansus angket KPK merupakan bagian dari penyidikan sehingga pansus akan terus mencari fakta.
Soal pencarian fakta akan terus berlanjut, bukti-bukti yang ditemukan akan menjadi dokumen DPR, ujarnya.
Sementara itu, anggota Pansus Hak Penyidikan KPK lainnya, Hendry Yosodiningrat, menilai Pansus harus mampu meyakinkan pemerintah dan masyarakat bahwa temuan yang diperoleh merupakan suatu keadaan yang harus dibenahi.
Oleh karena itu, menurut dia, siapa pun yang mendengar dan mengetahui pasti menerima rekomendasi pansus. Salah satunya dengan mengembalikan kewenangan penegakan hukum yang sebelumnya dimiliki kepolisian dan kejaksaan.
“Karena mereka menjalankan sebagian kewenangan kepolisian sebagai penyidik, dan penuntutan dari kejaksaan,” kata Hendry.
Pansus hak penyidikan KPK juga menyampaikan 11 poin temuan mereka selama hampir tiga bulan bekerja. Berikut 11 poin temuan sementara:
1. Dari aspek kelembagaan, KPK bergerak menjadikan dirinya sebagai lembaga super body yang tidak siap dan tidak mau dikritik dan diawasi, serta menggunakan opini media untuk menekan pengkritiknya.
2. Lembaga KPK dengan argumentasi independensinya mengarah pada kebebasan atau independensi para pemegang cabang kekuasaan negara. Hal ini sangat meresahkan dan berpotensi terjadinya penyalahgunaan kekuasaan dalam negara hukum dan negara demokrasi sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945.
3. Komite Pemberantasan Korupsi (KPK) dibentuk bukan berdasarkan amanat UUD, melainkan UU No. 30 Tahun 2002 sebagai tindak lanjut dari perintah Pasal 43 UU 31 Tahun 1999 sebagai pengganti UU No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sudah selayaknya mendapat pengawasan yang ketat dan efektif terhadap lembaga-lembaga pembentuk (wakil rakyat) di DPR secara terbuka dan terukur.
4. Lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjalankan tugas, fungsi dan wewenangnya sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi belum memenuhi atau memenuhi asas-asas yang meliputi asas kepastian hukum, keterbukaan, akuntabilitas, kepentingan umum, dan proporsionalitas, sebagaimana diatur dalam Pasal 5 UU KPK.
5. Dalam menjalankan fungsi koordinasinya, KPK cenderung bekerja sendiri tanpa mempertimbangkan eksistensi, jati diri, kehormatan, dan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga negara dan penegakan hukum. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) lebih mengutamakan praktik penindakan melalui pemberitaan (pendapat) dibandingkan politik pencegahan.
6. Sedangkan untuk fungsi pengawasan, KPK cenderung menanganinya sendiri tanpa koordinasi, dibandingkan dengan upaya mendorong, memotivasi dan mengarahkan pihak kepolisian dan kejaksaan.
KPK cenderung ingin menjadi lembaga yang tidak hanya berada di pusat namun ingin memperluas jaringan hingga ke daerah. Padahal, Komite Pemberantasan Korupsi (KPK) dibentuk lebih untuk fungsi koordinasi dan pengawasan. Mengenai penyidikan, penyidikan, dan penuntutan lebih pada fungsi atau “Mekanisme Pemicu” sebagai berikut:
7. Dalam menjalankan fungsi penyidikan, penyidikan, dan penuntutan, Komisi Pemberantasan Korupsi sama sekali tidak berpedoman pada KUHAP dan mengabaikan prinsip-prinsip hak asasi manusia bagi pihak-pihak yang diperiksa.
Berbagai praktik tekanan, ancaman, persuasi, dan janji dilakukan. Bahkan ada aktivitas yang bersifat fisik dan mengancam nyawa.
Penarikan BAP di persidangan, mengarang kesaksian palsu, hal-hal itu terjadi dan kami mendapatkannya. Kedepannya, hal-hal tersebut tentunya harus mengambil langkah-langkah perbaikan
8. Terkait dengan sumber daya manusia aparatur KPK, KPK merumuskan dan menata kembali, dengan argumentasinya yang independen, sumber daya manusianya berbeda dengan unsur aparatur pada lembaga negara pada umumnya yang taat dan patuh. untuk UU no. 5 Tahun 2014 tentang aparatur sipil negara dan undang-undang aparatur negara lainnya seperti undang-undang kepolisian, undang-undang kejaksaan.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan argumen independennya salah dan tidak mempunyai dasar hukum yang cukup berdasarkan PP saja. Selanjutnya PP No. 103 Tahun 2012 tentang Sumber Daya Manusia KPK sebagaimana telah diubah dengan PP No. 63 Tahun 2005, berdasarkan UU Komisi Pemberantasan Korupsi yang mengatur pemberantasan tindak pidana korupsi, bukan pada SDM personel.
Meski sudah ada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 109 Tahun 2015 tentang hal ini, namun ke depannya harus dikembalikan dan diperbaiki secara hukum, agar tidak menimbulkan dualisme peraturan di bidang aparatur negara di lingkungan KPK, seperti adanya organisasi forum pegawai, penyidik independen yang mungkin mempunyai kebijakan berbeda dengan atau terhadap pejabat KPK lainnya
9. Terkait penggunaan anggaran, berdasarkan hasil audit LTD, banyak hal yang tidak dapat dipertanggungjawabkan dan belum ditindaklanjuti atas temuan tersebut. Oleh karena itu, diperlukan audit LTD lebih lanjut untuk tujuan tertentu.
Dari audit tersebut terlihat secara pasti bahwa pencapaian target terutama berkaitan dengan kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi. Kedepannya, KPK juga harus melakukan audit terhadap sejumlah barang sitaan (BASAN) dan barang sitaan (BARAN) dari perkara yang ditangani KPK berdasarkan temuan Pansus di 5 (lima) kantor RUPBASAN wilayah hukum Jakarta dan Tangerang yang bukan BASAN dan data BARAN diperoleh berupa uang, rumah, tanah dan bangunan di Gudang Negara Barang Sitaan dan Barang Rampasan (RUPBASAN)
10. Terkait dengan sejumlah perkara yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi, Pansus memberikan dukungan penuh untuk tetap menjalankannya sesuai dengan kaidah hukum positif yang berlaku dan menjunjung tinggi hak asasi manusia, dan untuk itu Komisi III DPR RI berkewajiban untuk melaksanakannya. melaksanakan fungsi pengawasan sebagaimana dilaksanakan terhadap Kepolisian dan Kejaksaan melalui Rapat – Rapat Kerja, RDP dan Kunjungan Lapangan atau Kunjungan Khusus
11. Begitu pula dengan sejumlah kasus atau permasalahan yang berkaitan dengan unsur Pimpinan KPK, Mantan Pimpinan, Penyidik, dan Jaksa Penuntut Umum yang menjadi pemberitaan publik, seperti laporan saudara laki-laki Niko Panji Tirtayasa di Bareskrim, kasus tersebut. Penyiraman Penyidik Roman Baswedan, Meninggalnya Johannes Marliem, Terekam Kesaksian Adik Miryam S Haryani, Komisi I DPR Rapat dengan Penyidik KPK, semoga Komisi III DPR RI bisa segera mengajak KPK dan Polri menjalankan fungsi pengawasan agar polemik tak berujung tidak terjadi.
– dengan laporan ANTARA/Rappler.com