• April 20, 2025

Tingkat penggusuran di Jakarta meningkat pada tahun 2016

JAKARTA, Indonesia – Era pemerintahan Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama kerap dipenuhi dengan pemberitaan penggusuran atau yang lebih ia sebut dengan pemukiman kembali. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta mencatat sebanyak 193 kasus penggusuran sepanjang tahun 2016.

Angka tersebut meningkat dibandingkan tahun 2015 yang hanya tercatat 113 kasus. “Bisa jadi karena media lebih banyak memberitakan (penggusuran) tahun 2016, bisa jadi karena pembangunan sedang intensif, dan Pemprov membutuhkan banyak lahan untuk pembangunan,” kata Jaksa Penuntut Umum LBH Jakarta Alldo Felix Januardy di kantornya. katanya pada Kamis, 13 April.

Meski jumlah kejadian meningkat, namun jumlah korban justru semakin berkurang. Dari 193 kasus yang tercatat, jumlah korban sebanyak 5.725 KK dan 5.379 unit usaha. Selama 2 tahun yakni 2015-2016, jumlah korban penggusuran mencapai 25.533 jiwa.

Beberapa warga yang digusur memang menerima ganti rugi atas apartemen. Tapi apakah itu membuat mereka bahagia?

“Setelah digusur, banyak orang yang mengalami masalah ekonomi lebih buruk lagi,” kata Alldo. Pindah ke apartemen justru menambah permasalahan baru, apalagi banyak masyarakat yang kehilangan pendapatan.

Misalnya pedagang kaki lima (PKL) yang direlokasi. Dalam proses penggusuran, harta benda mereka dimusnahkan dan tidak diganti. Belum lagi jika mereka dicap ilegal dan tidak mendapat ganti rugi, serta hanya bisa gigit jari.

Penggusuran perumahan juga mempunyai dampak serupa. Apartemen tidak selalu menjadi solusi.

Data LBH Jakarta pada Desember tahun lalu menyebutkan pendapatan masyarakat yang tinggal di apartemen cenderung turun, akibat hilangnya pekerjaan yang sebelumnya mereka miliki. Ironisnya, mereka justru menghadapi pengeluaran baru berupa biaya sewa, transportasi, air, dan listrik. Rata-rata biaya tambahannya melebihi Rp 300 ribu.

Tak semuanya mendapat kompensasi berupa Kartu Jakarta Sehat (KJS) dan Kartu Jakarta Pintar (KJP) seperti yang dijanjikan Ahok. Sebanyak 59,8 persen dari 250 penghuni apartemen yang ditanyai mengaku tidak memiliki kedua kartu tersebut.

Persoalan ini belum termasuk fakta bahwa tidak semua warga yang digusur berhak mendapatkan kompensasi. Mereka yang kehilangan tanah, rumah, pekerjaan dan tidak mendapat ganti rugi hanya bisa gigit jari.

Untuk menghindari hukum

Satu hal yang selalu ditekankan LBH Jakarta ketika membahas penggusuran adalah hak-hak dasar dan prosedur hukum yang dilanggar. Mengenai standar pemukiman kembali – bukan pengusiran – ia mengacu pada Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (Ekosob) yang diratifikasi berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005.

Dituliskan, sebelum direlokasi, warga harus mendapat pemberitahuan terlebih dahulu, dilibatkan dalam musyawarah, dan dipindahkan ke lokasi baru. Lalu, ketika penggusuran dilakukan, harus dilakukan tanpa intimidasi dan kekerasan, serta aparat dikerahkan secara proporsional.

Penduduk yang digusur juga harus menerima kompensasi yang memadai, menerima perumahan pengganti yang baik dan tidak merusak harta benda mereka. Sayangnya, tidak semua unsur tersebut terpenuhi selama 2 tahun penggusuran besar-besaran yang terjadi.

Pertama, dalam proses penggusuran, jumlah petugas seringkali melebihi jumlah warga atau unit usaha setempat. Berdasarkan perhitungan LBH, rasionya 2,5 petugas berbanding satu warga.

Penempatan petugas yang berlebihan seringkali berujung pada tindakan kekerasan yang tidak perlu. Barang-barang milik warga juga kerap dirusak dan disita, tanpa mendapat ganti rugi.

“Kami juga menekankan tata cara penggusuran yang dianggap pelanggaran. “Prosedur penggusuran memang tidak partisipatif,” kata Alldo.

Berdasarkan kajian, LBH menemukan 71 persen warga pemukiman tidak setuju kawasannya digusur, sedangkan 24 persen menyatakan tidak tahu. Sedangkan untuk unit usaha, angkanya 84 persen tidak setuju dan 12 persen tidak tahu.

Pelanggaran prosedur tersebut juga dibuktikan dengan kemenangan warga saat menggugat penggusuran di pengadilan. Misalnya saja warga Bukit Duri yang permohonannya dikabulkan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Penggusuran dari wilayah mereka dinyatakan ilegal.

Dengan celah tersebut, penggusuran sebenarnya bisa dicegah seperti yang dilakukan warga Bidara Cina. Sayangnya, tidak semua warga mempunyai pengetahuan hukum mengenai hak-haknya ketika ingin dimukimkan kembali.

Masyarakat tidak tahu apakah yang dilakukan Pemprov itu ilegal atau tidak, kata Yunita, Ketua Divisi Advokasi LBH Jakarta. Mereka juga tidak bisa berbuat banyak karena surat pemberitahuan (SP) sering keluar dalam waktu 11-15 hari sehingga menyulitkan penyusunan dalil-dalil gugatan.

hak asasi manusia dalam pemukiman kembali

LBH Jakarta merekomendasikan agar pemerintah pusat memperkenalkan undang-undang yang mengadopsi standar hak asasi manusia mengenai perlindungan terhadap penggusuran paksa. Penegak hukum seperti TNI dan Polri juga diminta tidak melibatkan anggotanya dalam penggusuran.

Kepada Pemprov DKI Jakarta dan pelaku pembangunan lainnya agar menggunakan pendekatan partisipatif dalam pembangunan dan merumuskan solusi pembangunan kota tanpa penggusuran paksa, kata Alldo.

Penting untuk dicatat bahwa seiring Jakarta terus dipimpin oleh Ahok dan wakilnya Djarot Saiful Hidayat, penggusuran akan terus berlanjut. Ahok selalu menyatakan akan terus memindahkan kawasan pemukiman warga Jakarta yang berbatasan langsung dengannya.

Dalam debat kemarin, Ahok dan Djarot mengaku tidak semua apartemen layak untuk ditinggali. Kekurangannya masih ada, dan mereka berjanji akan memperbaikinya.

“5 lantai itu akan kita bongkar semuanya, yang bocor akan kita bongkar semuanya. “Saya mau bangun 20 lantai,” ujarnya usai debat kemarin.

Namun, yang perlu diperbaiki tidak berhenti pada infrastruktur saja. Pemprov, siapapun yang memimpin ke depan, harus tetap menghormati prosedur hukum yang berlaku. Tidak kalah, lalu marah-marah dan mengabaikan keputusan pengadilan. – Rappler.com

Togel HK