Budaya masyarakat Yogyakarta bergandengan tangan saat terjadi bencana
keren989
- 0
YOGYAKARTA, Indonesia — Gempa bumi yang melanda Yogyakarta pada 27 Mei 2006 masih membekas dalam ingatan Marzuki Mohammad.
Musisi yang akrab disapa Kill The DJ ini masih mengingat setiap detail momen gempa tektonik yang memakan korban jiwa lebih dari 6.000 orang.
Sabtu pagi itu, 27 Mei 2006, Marzuki masih tertidur di rumahnya di Langenharjo, Yogyakarta, saat gempa terjadi. Matanya yang berat karena lembur semalaman membuat sandiwara bertema “Kita Semua Bersaudara”, tiba-tiba menjadi segar karena guncangan gempa.
Meski kaget dan panik, Zuki—begitu sapaan akrabnya—tetap berada di dalam rumah.
“Saat gempa, saya hanya tidur sekitar satu jam. Begadang sepanjang malam membuat sketsa. “Saat gempa terjadi, saya kaget, tapi saya tetap di dalam rumah,” kata pentolan grup musik Jogja Hip Hop Foundation itu kepada Rappler, Jumat, 27 Mei, sepuluh tahun setelah gempa yang menghancurkan ratusan bangunan di Yogyakarta. Jawa Tengah.
“Waktu itu belum ada media sosial. “Kami belum punya sumber informasi yang jelas,” kata Zuki yang juga pernah menjadi cameo di film terlaris tahun ini. Ada apa dengan cinta? 2 (AADC2).
Saat itu jaringan komunikasi terputus. Ponsel tidak dapat digunakan untuk mencari informasi gempa. Zuki awalnya mengira gempa tersebut disebabkan oleh letusan Gunung Merapi. Ia segera menoleh ke utara dan melihat apakah ada asap yang keluar dari Merapi.
Zuki baru mengetahui guncangan dahsyat tersebut akibat gempa yang berpusat di Bantul setelah ia menyalakan radio. Radio adalah satu-satunya sumber informasi yang tersedia pada saat itu.
Tak lama kemudian, beredar rumor bahwa telah terjadi tsunami di pesisir selatan Yogyakarta. Masyarakat di desa Zuki juga menyebar ke utara, daerah yang lebih tinggi. Jalanan menjadi ramai, penuh dengan orang yang menuju ke utara.
Zuki tidak percaya dengan berita itu. Sebaliknya, dia pergi ke selatan, berlawanan arah dengan orang-orang yang menuju utara. Ia kaget saat melewati rumah-rumah di Bantul. Hampir tidak ada rumah yang masih berdiri. Semuanya rata dengan tanah.
“Menurutku itu tidak seburuk itu. Isu tsunami sangat populer karena dua tahun sebelumnya kita tahu ada tsunami di Aceh, ya mungkin terjadi di Yogya, tapi saya kurang yakin. Jadi saya melihat ke selatan,” katanya.
Dengan tulus membantu sebagai sukarelawan
Melihat keadaan tersebut, Zuki berusaha menemui teman-temannya. Pertama, dia ingin memastikan semua temannya aman.
Kedua, dia mengajak teman-temannya untuk menggalang bantuan untuk membantu warga. Saat itu, Zuki dan beberapa temannya mendirikan dapur umum di rumahnya.
Mereka menyediakan nasi bungkus untuk warga tidak hanya di sekitar rumahnya, tapi juga mengirimkannya ke Bantul dan kawasan Prambanan. Tak hanya dapur umum, Zuki dan kawan-kawan juga mencari bantuan tenda, kasur, peralatan masak, dan logistik lainnya untuk warga.
Saat itu, ada lebih dari 50 teman Zuki yang bergabung dalam gerakan sosial tersebut. Mereka sepakat untuk menamakan gerakan mereka United of Nothing.
“United of Nothing terdiri dari teman-teman kita, kita bergerak membantu korban gempa. Mulai dari logistik, tenda dan lain-lain, ujarnya.
Salah satu hal yang dilakukan United of Nothing adalah mencari tenda besar untuk sekolah darurat. Sebab, gempa terjadi beberapa hari menjelang ujian nasional serentak yang digelar Indonesia.
Salah satunya adalah SD dan TK darurat di kawasan Boko Harjo, Prambanan.
Modalnya jaringan, dari teman-teman yang kita kenal, kita bisa mendapatkan tenda besar untuk sekolah darurat, ujarnya.
Hampir setiap hari Zuki dan kawan-kawan bolak-balik pos di rumahnya ke Prambanan. Mereka juga mengenal warga dan pejabat kota. Sampai-sampai setiap hari raya Idul Fitri, kepala desa tempat mereka mendirikan sekolah darurat selalu berkunjung ke rumah Zuki.
“Tiga tahun setelah gempa, dia biasa pulang ke rumah setiap Idul Fitri. Bawakan kami produknya, tambahnya.
Selama tiga bulan, United of Nothing terus bergerak. Sayangnya karena masing-masing relawan termasuk Zuki harus kembali bekerja, mereka kemudian hiatus.
“Masalahnya selalu, ya, masing-masing dari kita punya pekerjaan untuk hidup yang tidak bisa ditinggalkan. “Tapi kami beruntung, kami bisa melakukan sesuatu untuk kemanusiaan,” ujarnya.
Zuki sendiri cukup terkesan dengan respon kemanusiaan yang ada saat itu. Tak hanya relawan dari luar, warga Yogyakarta, baik korban maupun bukan, bahu membahu saling membantu. Kondisi sosial masyarakat memang seperti itu ramah yang membuat Yogyakarta cepat pulih pasca bencana.
“Masyarakat ikhlas membantu, gotong royong antar warga. Ya, begitulah budaya Yogyakarta, masyarakat boleh berpegangan tangan saat mengalami musibah. “Inilah yang harus ditiru oleh para pemimpin kita,” ujarnya.
Manusia harus menghormati alam
Setelah 10 tahun berlalu, Zuki berharap bencana tidak datang lagi. Namun ia menyadari bahwa bumi dan alam berada di luar kendali manusia, oleh karena itu manusia harus menghormati bumi.
Ia juga bercanda bahwa pembangunan di Yogyakarta berkembang dengan cepat namun serampangan. Gedung-gedung tinggi berdiri di tengah pemukiman, akibatnya merusak alam.
“Alam punya logikanya sendiri, kita manusia harus menghormatinya. Kemajuan tidak dapat dihindari, namun haruskah hal itu merusak alam? Apakah risikonya harus besar? Jika terjadi gempa lagi, gedung-gedung tinggi akan runtuh sehingga menimbulkan korban jiwa bagi warga. Maka pemimpin harus mengetahui hal ini, ia harus mencontoh warganya sepuluh tahun lalu ramah pikirkan apa yang terbaik untuk Yogyakarta,” ujarnya.
Satu hal yang Zuki harapkan, gempa 10 tahun lalu bisa menjadi pembelajaran berharga bagi masyarakat Yogyakarta dan juga pemerintah.
“Mungkin terdengar menguap, tapi manusia pasti baik terhadap bumi, di sini kita tinggal, kemana lagi kita bisa pergi? Makanya kita hormati, kita jaga dan harus berbuat baik terhadap bumi, ujarnya. —Rappler.com
BACA JUGA: