Tokoh lintas agama menyerukan perdamaian
- keren989
- 0
Para pemuka agama juga meminta masyarakat tidak tinggal diam ketika sikap intoleran diajarkan kepada anak-anak di sekolah.
YOGYAKARTA, Indonesia – Tokoh lintas agama dan kepercayaan mendeklarasikan seruan perdamaian nasional pada Jumat, 26 Mei di University Club Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Seruan tersebut merupakan respons terhadap situasi nasional dan ancaman disintegrasi bangsa Indonesia. Tokoh-tokoh tersebut adalah Buya Ahmad Syafii Maarif, Kardinal Julius Darmaatmadja, Sinta Nuriyah Abdurrahman Wahid, Ida Bagus Agung, Engkus Ruswana, Pendeta Gomar Gulton, Bhikkhu Nyana Suryanadi dan Budi Suniarto.
Selain tokoh agama, seruan tersebut juga ditandatangani oleh akademisi Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta Abdul Munir Mulkhan dan budayawan Mohamad Sobary. Dua tokoh Islam, KH. Muhammad Quraish Shihab dan KH. Ahmad Mustofa Bisri menyampaikan dukungannya terhadap pentingnya perdamaian nasional. Sebuah pesan disampaikan melalui video.
Alissa Wahid, salah satu penggagas acara tersebut, menyebut tokoh tersebut tertua di Tanah Air. Mereka adalah tokoh-tokoh nasional yang integritasnya tidak perlu diragukan lagi dan menjadi saksi perjalanan bangsa Indonesia dari masa ke masa.
“Apakah yang kita alami saat ini merupakan akhir dari kehancuran ataukah sebuah proses perjalanan bangsa?” kata Alice.
Menurutnya, merebaknya perilaku intoleran membuat bangsa ini semakin tidak aman. Konflik menyebar ke seluruh negeri. Pada Pilkada Jakarta misalnya, dia mencontohkan, getarannya bahkan terasa hingga pelosok Indonesia.
“Jika dibiarkan, bangsa Indonesia akan kesulitan membangun di masa depan,” ujarnya.
Dalam seruannya, para sesepuh bangsa mengatakan bahwa tidak ada agama yang mengajarkan kekerasan terhadap sesama manusia. Jadi, seluruh elemen bangsa harus menciptakan kesadaran akan pentingnya persatuan dalam agama dan pendidikan nasional. Menurut mereka, pemerintah harus tegas dan bijaksana menyikapi keadaan saat ini yang berujung pada keruntuhan bangsa dan negara.
Buya Syafii mengatakan kondisi negara saat ini memprihatinkan dan kritis. Meski demikian, ia mengimbau untuk tidak mudah menyerah dan pesimis. Sebaliknya, seluruh elemen bangsa harus bergerak menyelamatkannya.
Sinta Nuriyah mengimbau masyarakat terus menjaga Indonesia dari berbagai persoalan agama, suku, dan golongan yang merongrong.
“Ini kewajiban kami,” kata Sinta.
Radikalisme menyusup ke sekolah-sekolah
Sementara itu, Tokoh Konghucu Budi Suniarto mengatakan, situasi di Indonesia cukup mengkhawatirkan. Ia was-was melihat kelompok-kelompok yang berteriak di jalan-jalan mengenakan jubah keagamaan dan membawa ayat suci, namun seringkali melontarkan pernyataan yang provokatif. Jumlahnya memang sedikit, namun jika tidak ditangani bisa berbahaya.
“Agak berisik,” kata Budi.
Menurutnya, ada kondisi yang lebih berbahaya lagi yakni gerakan anti keberagaman. Gerakan ini kini merambah ke sendi-sendi kehidupan masyarakat, termasuk institusi pendidikan. Banyak sekolah yang mengajarkan radikalisme kepada siswanya, menyalahkan orang lain bahkan membunuh orang lain yang berbeda.
Ia mengatakan ajaran intoleran harus ditentang karena perbedaan adalah keindahan.
“Kita tidak bisa tinggal diam ketika anak-anak kita diajarkan untuk tidak toleran,” ujarnya.
Engkus Ruswana, tokoh agama Sunda, mengatakan selain menyusup ke sektor-sektor strategis, merebaknya radikalisme juga disebabkan oleh ketimpangan ekonomi.
“Yang jelas (radikalisme) tumbuh subur jika diabaikan,” kata Engkus.
Ia menawarkan pendidikan nasional sebagai solusinya. Ratusan tahun lalu, lanjutnya, bangsa ini menghadapi permasalahan keberagaman. Namun masalah tersebut terselesaikan karena bangsa ini memegang kunci penyelesaiannya.
“Kuncinya adalah Pancasila,” ujarnya. – Rappler.com