Ambillah tafsir surat Al-Maidah ayat 51
- keren989
- 0
Saya awalnya tak tertarik mengomentari tafsir surat Al-Maidah ayat 51 yang menjadi titik awal aksi demonstrasi pada 4 November 2016. Namun, setelah melihat sejumlah perdebatan, termasuk meme yang menggambarkan kebingungan akibat hilangnya satu kata “penggunaan” dalam proses penyalinan video kontroversial tersebut, saya tak henti-hentinya memikirkan di mana letak benang kusut dalam hal penafsiran. bukan metode dan implikasinya.
Secara sederhana, dalam tradisi Islam ada dua cara pendekatan terhadap Al-Qur’an, yaitu tekstualis dan kontekstualis. Para tekstualis berusaha membaca teks dan menafsirkannya secara tekstual apa adanya. Konflik kedua pendekatan ini berlangsung hampir sepanjang zaman ilmu tafsir itu sendiri, yang lahir pada abad ke-8.
Dalam banyak kasus, ini menjadi masalah ketika Anda ingin menggunakannya sebagai panduan hidup. Bagi perempuan, ayat tentang anjuran poligami, warisan, kepemimpinan, dan pernikahan beda agama terasa tidak adil jika dibaca secara tekstual. Oleh karena itu, para penafsir, tidak hanya penafsir feminis, mendasarkannya pada pendekatan kontekstualis. Dengan metode ini diperoleh hasil yang berbeda-beda pada tataran interpretasi.
Menurut Sayyidina Ali RA, ayat tersebut tidak berbicara dengan sendirinya kecuali melalui penafsirnya. Jadi penerjemahlah yang dituduh pembohong.
Secara metodologis, biasanya kita terlebih dahulu mencari “tujuan/makna hukum yang terkandung dalam paragraf”. Misalnya ayat ini ingin menjelaskan bagaimana menerapkan keadilan, atau larangan menyakiti perempuan, menelantarkan anak yatim dan kelompok marginal. Begitu makna ayat tersebut ditemukan, maka lahirlah penafsiran yang bisa “berbeda” dengan teks bacaan.
Soal poligami misalnya, dengan penafsiran kontekstualis, makna ayat tersebut bukan lagi “anjuran poligami” melainkan “larangan atau larangan poligami” karena maksud ayat tersebut adalah keadilan bagi perempuan dan anak yatim. Komentator modernis abad terakhir dari Universitas Al-Azhar seperti Muhammad Abduh memilih pendekatan kontekstual setelah mengamati realitas konteks Mesir. Oleh karena itu, menurut Ulama Azhar, poligami haram.
Di Indonesia, kedua pendekatan ini sebenarnya sering digunakan, baik secara formal maupun informal, untuk berbagai permasalahan. Dalam keluarga yang mendasarkan keputusan hukum keluarga pada penafsiran Al-Qur’an, diterapkan penafsiran kontekstual.
Dalam pembagian warisan misalnya, anak laki-laki dan anak perempuan mendapat bagian yang sama, padahal dalam teks ayat tersebut perempuan mendapat bagian atau setengah dari laki-laki. Penafsiran kontekstual tersebut diterapkan mengingat anak laki-laki secara de facto tidak lagi menerima beban dan tanggung jawab sebagai “pelindung keluarga besarnya”, sedangkan pada ayat ini dijelaskan bahwa laki-laki secara sosiologis mempunyai beban dalam masanya untuk memikul beban. Oleh karena itu, penafsir tekstualis pun memberikan rasionalisasinya, “Laki-laki mendapat 2 bagian yang kotor – kotor, perempuan mendapat 1 bagian yang bersih, bersih”.
Mengubah pendekatan tekstual ke konteks dalam pembagian berbagai warisan. Namun yang lazim adalah dibagi terlebih dahulu sesuai tafsir teks, kemudian saudara laki-laki memberikannya kepada saudara perempuannya hingga jumlahnya sebanding atau sama.
Dalam konteks ini, ulama besar abad terakhir Banjarmain, Syekh Asyad Banjar, juga memberikan penafsiran kontekstual dengan menempatkan anak laki-laki dan perempuan secara setara dalam hak menerima warisan. Hal ini dikatakan mantan Menteri Agama Munawir Sjadzali melihat konteks masyarakat Solo dimana perempuan berperan penting dalam perekonomian keluarga.
Namun, sebagian besar penafsiran hukum keluarga bersifat tekstual. “Dua bagian untuk laki-laki, ya dua bagian”, begitulah pengertian umum.
Oleh karena itu, secara umum terdapat dua pendekatan dalam penafsiran Al-Qur’an, yang dalam istilah awam disederhanakan menjadi tekstualis dan kontekstualis.
Bolehkah merekrut pemimpin dari luar Islam?
Mengenai kepemimpinan politik, pedomannya memuat surat Al-Maidah ayat 51. Ayat ini dalam terjemahan bahasa Indonesia artinya,
“Wahai orang-orang yang beriman, jangan jadikan Yahudi dan Nasrani sebagai pemimpinmu; beberapa dari mereka adalah pemimpin bagi yang lain. Siapapun di antara kalian yang menjadikan mereka sebagai pemimpin, maka orang itu memang termasuk golongannya. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang melampaui batas.”
Ayat ini dianggap oleh para penafsir teks sebagai larangan mengambil pemimpin di luar agama Islam. Sekali diambil, jika ayat tersebut dibaca secara harafiah, maka orang yang memilihnya (misalnya umat Islam) termasuk dalam kelompok orang yang memilihnya (misalnya umat Nasrani). Ini jelas bukan lelucon.
Bagi sebagian penafsir, ayat ini harus dibaca secara kontekstual. Pertama, cari tahu maksud ayat tersebut, apakah melarang pemilihan pemimpin agama lain atau melarang pemilihan pemimpin yang tidak adil. Karena di akhir ayat, orang-orang yang tidak mendapat petunjuk adalah orang-orang yang melampaui batas.
Para komentator feminis tentu akan mengambil pendekatan kedua, yaitu pelarangan pemilihan pemimpin tirani. Dengan begitu, dalam konteks kepemimpinan perempuan, penafsiran kontekstual akan memberikan ruang bagi perempuan untuk menjadi pemimpin dengan syarat tidak kejam.
Jika dimaknai demikian, ayat “Laki-laki adalah pemimpin perempuan” yang digunakan sebagai kampanye penolakan kepemimpinan perempuan dapat dimaknai kembali agar perempuan bisa menjadi pemimpin.
Sebagai feminis muslim, saya katakan bisa disebut tidak adil, bila tidak berpihak pada kelompok marjinal dalam struktur, yaitu masyarakat miskin yang tergusur.
Sekarang mari kita lihat apa yang menjadi kontroversi dalam video Ahok di Kepulauan Seribu. Porsi yang dianggap kontroversial adalah “Lagu yang menggunakan Surah Al-Maidah 51”.
Akar kontroversi tersebut menurut sebagian pihak adalah karena ada yang mengedit atau menghilangkan kata “pakai” sehingga menjadi “Lagu Surah Al-Maidah 51”.
Tentu saja terdapat perbedaan yang sangat besar di antara keduanya. Dalam kasus pertama, bila masih lengkap dengan kata “memanfaatkan”, maka yang melakukan kebohongan adalah penafsirnya. Sedangkan bila kata “pakai” hilang, maka yang berbohong adalah Al-Maidah 51 sendiri.
Namun menurut Sayyidina Ali RA, ayat tersebut tidak berbicara sendiri kecuali melalui penafsirnya. Jadi penerjemahlah yang dituduh pembohong.
Katakanlah kata “gunakan” masih ada. Penafsir tekstualis tidak terima dianggap pembohong. Bahkan, mereka merasa paling akurat dan autentik dalam menafsirkan teks. Persoalan kedua, persoalannya terletak pada tudingan bahwa orang yang menafsirkan pelarangan kepemimpinan non-Muslim secara tekstual disebut pembohong.
Bahkan para penafsir kontekstualis seperti kami para feminis muslim tidak mengatakan bahwa penafsiran kontekstualis adalah pembohong, melainkan mengabaikan makna ayat tersebut (maqashid syariah) dimana tujuan ayat tersebut adalah untuk menolak kepemimpinan yang bersifat tirani.
Pertanyaannya, dari segi kepemimpinannya, apakah Ahok termasuk pemimpin yang tirani? Di sisi ini, mari kita berdebat.
Sebagai seorang feminis muslim saya katakan bahwa ia bisa disebut tidak adil, ketika ia tidak berpihak pada kelompok marjinal dalam strukturnya, yaitu masyarakat miskin yang tergusur, sekalipun ada perempuan, perempuan tua, anak-anak, yatim piatu, orang lanjut usia, dan orang cacat. . kelompok. Wallahu’alam bishawab. —Rappler.com
Lies Marcoes adalah seorang aktivis perempuan Muslim.