• October 12, 2024

Menerima kehadiran kelompok minoritas di Indonesia

Tahun ini merupakan tahun yang tidak jauh berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, kaum minoritas kembali termakan oleh media dan media sosial. Mulai dari penyegelan gereja, LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender), Gafatar (Gerakan Fajar Nusantara), hingga Ahmadiyah.

Bedanya, tahun 2016 baru berjalan 1 bulan 6 hari, namun topik minoritas ini ibarat virus yang menyerang dalam waktu 1×24 jam, menyebar luas dan menimbulkan reaksi yang cukup memprihatinkan, mulai dari ucapan hingga ungkapan kebencian.

Kita bisa menemukan ujaran kebencian di Twitter, “Kamu gay, kenapa kamu mendukung kaum gay?” atau di daerah tempat kami tinggal: penyisiran kelompok LGBT, pembakaran rumah jamaah Gafatar dan pengusiran jamaah Ahmadiyah dari rumahnya di Bangka Belitung.

Selama ini kerangka berpikir yang saya pahami dari masyarakat yang menginginkan minoritas tunduk pada kekuasaan mayoritas adalah bahwa keberadaan minoritas dipandang sebagai ancaman oleh karena itu patut dievaluasi, nilai-nilai yang dianut oleh minoritas, bertentangan dengan ‘moralitas’. masyarakat pada umumnya, sehingga harus dibakar habis dari muka bumi. Ingat kejadian Syiah di Sampang?

Mengapa kelompok minoritas rentan ini menjadi sasaran? Jawabannya tentu saja kekhawatiran atau perasaan tidak aman dari kelompok mayoritas atau ularnya tidak pasti.

Seperti halnya generasi muda, masyarakat kita masih labil dalam menyikapi perbedaan. Masih ada rasa cemburu yang tidak berdasar terhadap kelompok lain.

Padahal, kalau mau kita akui, tidak ada seorang pun yang mau menjadi minoritas. Mereka hanya mau secara sadar memilih menjadi Syiah, lesbian, gay, Ahmadiyah, Gafatar, sesuai keyakinannya masing-masing. Belakangan mereka menyadari bahwa pilihan keyakinan mereka tidak populer, sehingga mereka menjadi minoritas.

Meskipun mereka tidak populer, mereka bersedia menerima apa yang mereka yakini. Apa buktinya bahwa mereka bersedia menganut keyakinan tersebut?

Dari wawancara saya dengan Dakwah Jamah Ahmadiyah Indonesia wilayah Bangka Belitung, Syafei Muhammad, beberapa warga Ahmadiyah memutuskan menjadi bagian dari perkumpulan tersebut setelah memiliki mimpi. Mimpi dianggap sebagai petunjuk atau arahan. “Mimpi tidak bisa dirancang, itu alam bawah sadar,” kata Syafei kepada saya.

Ada pula yang, kata Syafei, menyatakan kesediaannya menjadi pengikut Ahmadiyah setelah mengetahui sendiri seperti apa gerakan yang dibawakan Mirza Ghulam Ahmad. Baca pidato selengkapnya di sini.

Jemaah Gerakan Fajar Nusantara pun demikian. Saat pemberitaan hilangnya Rica Tri Handayani di Sleman pada 30 Desember 2015 menjadi headline utama media nasional selama beberapa hari. Wanita yang berprofesi sebagai dokter dan anaknya itu akhirnya ditemukan pada Senin, 11 Januari oleh tim Polda DIY.

Ke mana Rika pergi selama lebih dari seminggu? Ia diduga bergabung dengan Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar).

Publik pun menyoroti organisasi tersebut. Media pun ikut terlibat dengan memberitakan satu per satu WNI yang ‘menghilang’. Baca kisah Gafatar di sini.

Namun nyatanya, Rica tidak menghilang, melainkan pindah ke markas Gafatar di Kalimantan Barat. Hijrah dianggap sebagai tanda kesepakatan bahwa mereka ingin hidup bersama orang-orang yang seagama dengan mereka.

Komunitas LGBT pun demikian. Anda bisa membaca tulisan kolumnis gay di Rappler, Amahl S Azwar yang menceritakan bagaimana ia mengaku tidak tertarik dengan wanita sejak awal.

“Sejujurnya, saya sama sekali tidak punya masalah dengan orientasi seksual saya. Aku sudah mengenal diriku yang “berbeda” sejak kecil, aku sudah lama seperti itu, dan sama sekali tidak ada “trauma” yang membuatku tidak menarik di mata wanita. Aku adalah aku apa adanya,” katanya. Baca kisah pengakuan Amahl di sini.

Jika seorang Ahmadiyah, gafatar atau gay sudah menentukan pilihan hidupnya, apakah berarti mereka tidak berhak menikmati apa yang diyakininya seperti Anda? Tentu saja menurut saya Anda bisa.

Hanya saja, pilihan yang tidak populer ini membuat ruang gerak mereka terbatas, sehingga mereka tidak bisa mengungkapkan suka atau tidak suka seperti Anda dan saya, sebagai bagian dari kelompok mayoritas.

Namun mengutip Aan Anshori, Dewan Pakar Ikatan Cendekiawan NU wilayah Jombang yang juga tergabung dalam Jaringan Anti Diskriminasi Islam (JIAD) Jawa Timur, “Yang namanya kebencian itu tidak boleh. ramah, sopan, tanpa menimbulkan kebencian, intinya jangan membenci sampai paham terlalu banyak pekerjaan menuntut agar negara melakukan diskriminasi.”

Bersikap dewasa adalah sebuah pilihan, termasuk bersikap dewasa dalam menyikapi perbedaan. Kebencian tidak boleh mengaburkan hati nurani kita, bahwa ada hak-hak mereka yang harus kita penuhi. Seperti hak untuk menjalani apa yang mereka yakini.

Karena tidak ada jaminan kita akan tetap menjadi mayoritas di kemudian hari, mungkin suatu saat Indonesia akan dipenuhi oleh mereka yang lelah dengan perjuangan agama di tanah air, lelah mendengar fatwa dari Majelis Ulama Indonesia, ditambah sederet cerita panjang. -Munculnya konflik antar umat beragama di daerah. Dapat.

Agama bisa kehilangan daya tariknya jika kita sebagai umatnya tidak menunjukkan betapa bijaknya umat beragama, betapa adilnya seorang imam menyikapi perbedaan Syiah dan Sunni, serta betapa harmonisnya seorang Muslim dan Kristen dalam satu kompleks tanpa perlu stempel gereja.

Kita harus menjaga sikap ramah terhadap perbedaan, bukannya menghadapi perbedaan dengan semakin kasar dan brutal setiap hari.

Ada baiknya jika kita renungkan perkataan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin, “Ketika kita melihat suatu permasalahan, tidak ada jalan tunggal bagi kita untuk memahaminya karena para ulama kita melihatnya dari sudut pandang yang berbeda-beda. , bisa berbeda-beda maknanya. Di situlah nikmat Tuhan benar-benar menciptakan keberagaman.”

“Bahwa dengan keberagaman ini kita dapat mempunyai pilihan, sesuai dengan apa yang kita yakini, dan masing-masing dari kita tidak mempunyai kewenangan untuk menyalahkan pilihan yang lain.”

Mungkin saat ini tulisan saya masih setara dengan ‘mimpi di siang bolong’ namun semoga kelak ketika anak cucu kita membacanya, mereka sudah memasuki masa dimana perbedaan agama, kepercayaan dan orientasi seksual tidak lagi menjadi duri dalam dunia. sisi tidak akan menjadi kehidupan sehari-hari mereka. Semoga.—Rappler.com

Febriana Firdaus adalah jurnalis Rappler Indonesia. Ia fokus membahas isu korupsi, HAM, LGBT, dan pekerja migran. Febro, sapaan akrabnya, bisa disebutkan @FebroFirdaus.

Sdy siang ini