• November 26, 2024

Warga Baduy Dalam berharap adanya tambahan lahan pertanian

Ini adalah ringkasan yang dibuat oleh AI, yang mungkin memiliki kesalahan. Untuk konteksnya, selalu rujuk artikel selengkapnya.

Pertumbuhan penduduk menyebabkan luas lahan untuk menanam pangan semakin menyempit

RANKAS BITUNG, Indonesia – Warga Baduy Dalam berharap pemerintah dapat mengalokasikan tambahan lahan pertanian untuk mereka. Meningkatnya jumlah reproduksi warga menyebabkan luas lahan yang dapat digarap semakin menyempit.

“Sebelumnya, setiap kepala keluarga bisa menggarap lahan sekitar satu hektar untuk ditanami padi dan tanaman lain yang dapat menambah pendapatan, seperti pohon durian dan lain-lain,” kata Mursid, salah satu tokoh warga Baduy Dalam di Desa Cibeo, Rangkas Bitung. Rappler, Jumat 12 Mei 2017.

Penguasaan tanah per keluarga harus dibagi ketika anak-anak sudah besar dan mulai berkeluarga. Kini ada yang hanya mengolah seperempat hektare saja. Ketika panen padi gagal seperti yang mereka alami akhir-akhir ini, mereka harus membawa simpanan beras ke dalam gudang khusus yang sebenarnya untuk kegiatan besar atau darurat.

Istilah “Baduy” merupakan sebutan yang diberikan oleh orang asing kepada sekelompok masyarakat adat, berasal dari istilah tersebut para peneliti dari Belanda sepertinya menyamakan dengan kelompok Arab Badawi yang merupakan masyarakat nomaden.

Kemungkinan lain juga terjadi karena adanya Sungai Baduy dan Gunung Baduy di bagian utara kawasan. Orang Baduy lebih suka memandang dirinya sebagai kami adalah Kanekes atau “Orang Kanekes” sesuai dengan nama daerahnya, atau istilah yang mengacu pada nama desanya seperti orang Cibeo.

Wilayah Baduy Dalam terbagi menjadi tiga desa, yaitu Desa Cibeo, Desa Cikertawana, dan Desa Cikeusik. Menurut Mursid, di Desa Cibeo terdapat 600 jiwa penduduk dengan 96 rumah adat khas penduduk disana. Bulan depan, enam rumah lagi akan dibangun untuk menampung keluarga baru. Jumlah penduduk Baduy Dalam diperkirakan 1.600 jiwa.

Penduduk Baduy Dalam memegang teguh adat istiadatnya dan disebut sebagai masyarakat adat yang tertutup. Bentuk rumahnya seragam, dengan tiang kayu atau bambu, dinding bambu tebal, dan atap jerami. Khusus bagi warga Baduy, dalam membangun rumah tidak boleh menggunakan material modern seperti paku. Warga hanya mengenakan pakaian berwarna putih dengan semacam kain tenunan rumah yang dililitkan tanpa dijahit. Mereka tidak pernah memakai sepatu.

Sungai-sungai di Baduy mengalir jernih dan bersih. Warga Baduy pedalaman dilarang menggunakan bahan kimia, termasuk sabun untuk mandi, aktivitas yang dilakukan di sungai. Begitu pula dengan sikat gigi. Hidupnya sangat sederhana, setiap hari mereka makan nasi dengan lauk garam. Makanan dan minuman juga terbuat dari bahan alami, seperti daun, kayu, dan bambu.

Larangan yang berlaku bagi warga Baduy Dalam, tidak diterapkan bagi warga Baduy Luar yang bermukim di luar ketiga kota di atas. Warga di luar Baduy juga memiliki mata pencaharian yang lebih bervariasi, termasuk berjualan oleh-oleh kepada pengunjung. Beberapa rumah warga Buite-Baduy juga menggunakan listrik untuk penerangannya. Sementara warga Baduy Dalam melarang listrik. Aktivitas di kawasan Baduy Dalam juga tidak diperbolehkan untuk difoto.

Berikut foto-foto kawasan Baduy Luar. Perjalanan dari Baduy Luar menuju Desa Cibeo melalui jalur Ciboleger dengan berjalan kaki selama 4-5 jam melewati hutan dan perbukitan:

Di Desa Wisata Baduy Luar, warga berjualan aneka oleh-oleh buatannya (11/5/2017) Foto Uni Lubis

—Rappler.com

Result Sydney