• October 14, 2024

Saya mengambil selfie, jadi saya bepergian

Kami tahu itu kata Tamba ada lima hal. Namun pariwisata tidaklah rumit karena sebenarnya hanya ada tiga unsur: apa yang harus dilakukan, Apa yang dilihatDan apa yang harus dibeliKamu ada di mana?, apa yang kamu lihat, apa yang Anda beli.

Saya bertemu trio ini ketika saya sedang mengerjakan tesis saya pada tahun 2012. Lucunya, saya sebenarnya mengetahui konsep ini dari Teh Annisa Potter yang sebenarnya adalah siswa lanskap. Hanya beberapa hari kemudian saya menemukannya di buku pelajaran. Wah, benarkah??

Namun sepertinya konsep tersebut perlu direvisi. Satu sudah cukup: foto mana yang harus diambil yang merupakan hasil evolusi wtopi untuk dilihat. Ya, foto model bagaimana cara yang baik untuk diambil. Nyata. Baca bab berikutnya.

September lalu terjadi sesuatu yang menyebabkan hal ini mengisap sulit dipercaya. Saya membeli tiket menonton Bon Jovi, band yang lagu-lagunya saya sukai sejak sekolah dasar. Niatnya berhaji dengan menonton konser live mereka di Amerika, namun ketika Jon dan rekan-rekannya sudah tua, umrah saja sudah cukup. Melihat mereka tampil di Jakarta saja sudah lebih dari cukup.

Mengapa tidak? ada tugas negara. Menemani beberapa wisatawan dalam perjalanan keliling Indonesia. Saya pikir saya akan dikirim ke Raja Ampat, Lombok, Wakatobi, Morotai atau ke tempat yang jauh. Bukan Saya tahu dia pergi ke Semarang, Borobudur dan Sangiran.

Bukan bermaksud meremehkan, tapi saya mengunjungi ketiga tempat tersebut ketika saya masih muda. #Ya, Saya Sombong. Juga sebagai kompensasinya, mengapa tidak membatalkan menonton Bon Jovi? Ini sangat berat.

Sebagai warga negara yang baik, ayo berangkat mematuhi hanya. Ya mudah-mudahan nanti kita bisa melunasi hutang Borobudur. Saya ingin tinggal di sana melihat lega membaca ceritanya. Atau setidaknya mengaguminya.

Selamat tinggal. Dikhawatirkan, di Klenteng Sam Poo Kong, Lawang Sewu, Sangiran, dan Borobudur hanya ada satu pekerjaan bagi wisatawan: ambil Foto. Bukan sepenuhnya salah mereka, pihak guide juga hanya memberi waktu 1 – 1,5 jam di setiap lokasi. Sesungguhnya itu hanya diatur untuk memenuhi keinginan retak mungkin. Keinginan itu memang selalu ada, namun berkat kemajuan teknologi semakin lama semakin menggemuk. Tren Selfie (selfie) mengubah lemak menjadi obesitas.

Saya tidak bisa mengomel pada para pedagang yang menggerutu pada para turis,”Jangan tembak, jangan beli“. Ambil sekejap Ambil saja gambarnya, jangan membelinya.

Hal baiknya adalah, di situlah saya menyadarinya. Sadarilah bahwa aku bukanlah seorang kekasih atraksi. Saya tidak melihatnya Cukup. Apa arti dari memiliki? Sayang sekali Anda tidak melihatnya? Patuhi saja Apa yang dilihattidak dapat diajak menonton atau ahem ahem (melakukan), atau membelikan sesuatu untuknya ahem ahem (dijual). Lihat adalah luka, kata Pak Eka Kurniawan.

Di awal tahun 2010, aku melakukan sesuatu yang menurut temanku gila: bersepeda dari Bandung ke Yogyakarta. Sepanjang perjalanan, seingat saya, saya hanya mengambil dua gambar. Motif tersebut menjadi bukti bagi teman saya di Yogyakarta yang tidak percaya.

Sayangnya, telepon berjalan Tempat pengambilan foto hilang dan tertinggal di warung makan. Dan saya tidak peduli. Yang lebih berharga adalah pengalaman yang tak ternilai sepanjang masa per akumulasi di seluruh provinsi.

Saya pernah tidur di Masjid Al-Ikhlas Malangbong, Garut. Tidurnya normal, tetapi cara Marbot menerima saya dengan hangat itulah yang mengesankan. Apalagi keesokan paginya disambut kabut yang aduhai. Jarang sekali kabut terasa luar biasa.

Saya pernah tidur di sebuah masjid di perbatasan Jawa Barat dan Jawa Tengah. Memang tidak ada yang istimewa, namun malam itu saya mendapat sambutan yang baik dari penduduk setempat. Diajak ngobrol, diperlihatkan tempat makan malam, diperlihatkan Alun-Alun Banjar. Yang mengejutkan, pada pagi hari sebelum saya mengambil KTP, Pak. ditahan RT, saya ditahan dan pergi. Biar aku makan saja sarapan yang sudah dibuat dulu. Sepiring nasi, semangkuk telur, di atasnya diberi kecap. Sepanjang hidupku, ini adalah sarapan terbaik.

Untungnya, hal tersebut kembali saya alami saat berkunjung ke Desa Pasanggrahan di Purwakarta kemarin. Anak-anak setempat dibina ke atas bukit, diberi tempat menginap oleh Bapak dan Ibu RT, kemudian diajak makan bersama ketika sudah gelap tidak ada warung makan yang buka.

Tidak ada dokumentasi apa pun. Tapi saya jamin benang kenangan itu masih ada di kepala saya, siap diceritakan ke anak cucu.

Jadi, saat menemani wisatawan, momen yang paling saya nikmati sebenarnya adalah ngobrol bersama mereka. Dengan Ukata-san yang fasih berbahasa Indonesia karena pembelajarannya sendiri, dengan pria India tersebut

Pun dengan perjalanan ke Singapura, Vietnam, Kamboja, dan Thailand tahun lalu. Hal yang paling berkesan dalam ingatan kami adalah ketika kami mencoba olahraga tradisional Vietnam. Di sebuah taman di Ho Chi Minh, kami mencoba sejenis bulu tangkis, tetapi dengan kaki kami. Namanya Ya, Cau.

Kelihatannya mudah, tapi insya Allah sulit bagi pemula. Ahli permainan lambat hanya. Kenapa ke kanan, tendang dengan kaki kiri. Bola lob diambil dengan badan masih menghadap ke depan. Makin ajaib lagi karena ada bapak dan ibu yang bermain juga. Cocok untuk pulang kerja. Masih memakai sepatu hak tinggi alias sepatu hak tinggi.

Mungkin itu sebabnya buku travel favorit saya selama ini adalah karya Teh Marina Silvia. Judulnya menantang, Tur Eropa 6 bulan Hanya 1.000 euro. Namun isinya lebih merupakan jurnal, bukan panduan menabung dan rencana perjalanan.

Buku tersebut memuat banyak catatan tentang interaksi Teh Marina dengan masyarakat setempat. Yang atheis ngobrol sambil naik vespa, tentang apa itu cinta, bantuan di festival lokal, dan masih banyak lagi. Jika Teh Marina menganggap perjalanan bukan sekedar berfoto, sayalah orang pertama yang memahaminya.

Singkatnya, jangan heran jika banyak terjadi kasus taman bunga rusak. Orang-orang lebih mementingkan mendapatkan foto yang keren, daripada berbincang-bincang menyenangkan dengan pemilik taman tentang cara membuat taman menjadi indah. Atau yang baru adalah isu lumba-lumba menjadi modis karena dijadikan objek selfie. Karena bisa berfoto bersama lumba-lumba sungguh luar biasa nyata untuk dipamerkan.

Ya, mau bagaimana lagi bila banyak artikel di media dengan judul seperti, “Tempat-tempat menarik untuk dikunjungi selfie dalam xxx,” atau “Tujuan yang dapat di-Instagram dalam xxx,”. Rasanya kebutuhan untuk menjebak diri di suatu destinasi wisata telah meningkat ke tingkat berikutnya. Dari sekunder hingga primer.

Makanya saya mau ngasih tantangan ke siapa pun, berani-beraninya jalan-jalan tapi nggak perlu bawa kamera? Kenapa tidak difoto saja barangnya? —Rappler.com

Shesar Andriawan merupakan mantan jurnalis yang kini menjadi PNS di bidang pariwisata.

BACA JUGA:

Sdy siang ini