• September 24, 2024

Satu setengah tahun berlalu, dugaan pelecehan seksual yang dilakukan Raja Solo masih belum jelas

SOLO, Indonesia – AT, gadis berusia 17 tahun, telah kembali bersekolah. Setahun yang lalu, saat ia duduk di bangku kelas sepuluh di sebuah sekolah menengah kejuruan, ia mengalami tragedi yang hampir membuatnya gila dan kehilangan harapan.

Saat ia masih kecil, ia terpaksa mengandung bayi akibat pelecehan seksual yang membuatnya merasa malu dan berhenti bersekolah. Ia pernah berniat mengakhiri hidupnya dengan meminum dua liter ciu – sejenis minuman beralkohol berbahan dasar fermentasi tetes tebu yang diproduksi di kawasan Bekonang, Sukoharjo.

November lalu, seorang bayi laki-laki lahir dari rahim AT tanpa ayah. Calon ibu muda yang disebut-sebut ayah kandung bayi yang kini berusia satu tahun itu adalah Hangabehi, raja Keraton Surakarta yang bergelar Pakubuwono XIII.

Kasus ini menarik perhatian banyak pihak, seperti Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), serta berbagai organisasi dan lembaga perempuan dan anak nasional dan daerah. Bahkan, muncul petisi Ubah.org yang meminta Polri mengusut tuntas kasus ini, bila perlu dengan tes DNA.

AT merupakan korban perdagangan anak dan pemerkosaan. Kasus tersebut dilaporkan ke Polres Sukoharjo pada bulan Juli 2014, sedangkan kejadiannya terjadi sekitar bulan Maret tahun yang sama.

Kronologi

Menurut pengakuan AT, tragedi itu bermula dari kebutuhan uang untuk membayar biaya sekolah yang menumpuk selama tiga bulan. Dia berasal dari keluarga kurang mampu. Ibunya sudah meninggal, dan ayahnya hanya seorang tukang becak dan buruh lepas.

Seorang teman menawarinya pekerjaan, dan dia menerimanya. Dua temannya, Wati dan YS, mengenalkannya pada seseorang yang mereka sebut Sinuhun – sebutan untuk seorang raja keturunan Dinasti Mataram.

AT kemudian dijemput dengan mobil di lokasi di tengah kota Solo. Dia mengaku melihat raja di belakang kemudi, sendirian di dalam mobil. Setelah masuk ke dalam mobil, AT diberi permen rasa mint.

Pikirannya yang masih polos membayangkan pekerjaan yang akan diberikan lelaki tua di sebelahnya itu. Namun tak lama kemudian, kepalanya terasa pusing, matanya berangsur-angsur kabur, dan kesadarannya mulai hilang.

Malamnya, gadis itu terbangun dan kaget saat mendapati dirinya telanjang di kamar hotel di Sukoharjo. Raja memotret tubuh telanjangnya, menurut pengakuannya.

Dia dibawa kembali ke dua temannya. Raja memberi Rp2 juta, dan Wati memberikan Rp700.000 kepada AT sebagai imbalan atas karyanya. Beberapa bulan kemudian, gadis itu mengalami depresi karena mengetahui dirinya hamil.

Ia kerap menampar perut buncitnya jika mengingat kejadian tersebut, lalu menangis. Bahkan, saat menjawab pertanyaan polisi dan jurnalis, matanya selalu meleleh.

Asri Purwanti, pengacara di Solo, mendampingi korban melaporkan dua perantara kasus perdagangan anak tersebut. Wati (36) berstatus tersangka dan ditangkap di Pasar Minggu, Jakarta dan divonis tiga tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Sukoharjo karena terbukti bersalah. Sementara YS masih menjadi buronan polisi.

Sedangkan raja yang disebut sebagai “pembeli” hanya berstatus sebagai saksi dalam rekening ini. Ia pernah dipanggil Polres Sukoharjo untuk dimintai keterangan, namun saat itu hanya pengacaranya yang datang dengan membawa surat keterangan sakit dari RSPAD Gatot Soebroto.

Kesulitan pembuktian

Pada Desember 2014, ayah korban didampingi pengacaranya membuat laporan baru ke Polres Sukoharjo. Namun kali ini mereka melaporkan Hangabehi atas kasus perdagangan anak dan pelecehan seksual yang berujung pada kehamilan.

Melalui laporan tersebut, keluarga korban berharap polisi mempunyai kewenangan memaksa Pakubuwono XIII menjalani pemeriksaan. Sebab sebagai pihak yang diberitahu, dia tidak bisa mengelak dan menolak panggilan polisi.

“Jika Anda benar-benar sakit, harus ada keputusan pengadilan yang menyatakan bahwa Anda sakit permanen dan tidak dapat menjalani proses hukum.”

Sayangnya, beberapa kali Polres Sukoharjo menyuratinya, Raja Solo tak pernah sekalipun memenuhi panggilan pemeriksaan. Alasannya selalu sama, stroke dikonfirmasi dengan catatan dokter. Polisi pernah mendatangi Keraton Surakarta untuk menyelidikinya, namun raja tidak dapat dimintai keterangan karena kesehatannya tidak memungkinkan.

“Setiap kami telepon alasannya sakit, tidak bisa kami paksakan karena syarat pemeriksaannya harus sehat jasmani dan rohani,” kata Kapolres Sukoharjo AKBP Andy Rifai beberapa waktu lalu.

Polisi belum bisa menetapkan raja sebagai tersangka karena tidak menemukan bukti kuat dari saksi selain pengakuan korban. Salah satu hal yang membuat polisi kesulitan menetapkan tersangka adalah pengakuan korban mengenai pemerkosaan yang dilakukan dalam kondisi tidak sadarkan diri.

Polisi juga memeriksa CCTV hotel, namun pihak hotel hanya memiliki rekaman dua bulan terakhir, karena rekaman lama otomatis tertimpa rekaman baru. Meski terkendala bukti, polisi belum akan menutup kasus ini.

Tes DNA

Pengacara korban, Iwan Pangka, meminta polisi melakukan pembuktian genetik dengan mengambil sampel DNA bayi dan raja untuk dicocokkan. Namun hingga saat ini Polres Sukoharjo belum bisa melaksanakan tes tersebut karena raja masih menjadi terlapor.

“Kami dari awal meminta tes DNA, tapi polisi mendapat kendala karena Hangabehi selalu bilang sakit saat dipanggil untuk pemeriksaan,” kata Iwan kepada Rappler.

Raja memberi Rp 2 juta, dan Wati memberikan Rp 700.000 kepada AT sebagai imbalan atas karyanya.

Pengambilan sampel DNA akan lebih mudah dilakukan setelah pihak yang diberitahu memenuhi panggilan penyidikan, telah menyiapkan Berita Acara Penyidikan, dan kemudian ditetapkan sebagai tersangka.

Namun kuasa hukum Hangabehi, Ferry Firman Nurwahyu, menolak tes DNA karena tidak ada hubungan hukum antara bayi tersebut dengan kliennya. Sebaliknya, dia menyarankan agar polisi mencari bukti kuat, jika ada, untuk membuktikan dugaan keterlibatan kliennya.

Sementara itu, Jaringan Peduli Perempuan dan Anak Solo Raya (JPPAS), yang merupakan aliansi berbagai lembaga advokasi hukum dan individu yang memberikan pendampingan kepada korban, menilai belum ada kemajuan signifikan dalam penyidikan anak tersebut sejak awal kasus. kasus komersial, selain dari persidangan perantara.

Oleh karena itu, mereka akan terus mengkampanyekan proses hukum yang sedang ditangani polisi, selain memberikan hak-hak korban berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Anak, termasuk kelanjutan pendidikannya.

Koordinator JPPAS yang juga Direktur Lembaga Pelayanan Hukum YAPHI Haryati Panca Putri mengatakan proses hukum terhenti akibat “surat ajaib” dari dokter yang terus diperpanjang setiap tiga bulan sehingga menghambat penyidikan.

“Kalau memang sakit, harus ada keputusan pengadilan yang menyatakan Anda sakit permanen dan tidak bisa menjalani proses hukum,” kata Haryati kepada Rappler.

Menurutnya, jika kasus ini tidak diawasi, kemungkinan besar pelakunya tidak akan tersentuh hukum, seperti kasus perdagangan anak pada tahun 2012 yang juga melibatkan nama tersangka pelaku yang sama.

“Jika surat dokter bisa menghentikan penyidikan, maka akan menjadi kasus hukum untuk kasus serupa di kemudian hari. Korbannya akan bertambah, kata Haryati.

JPPAS mengatakan, langkah hukum lain bisa ditempuh jika proses penyidikan di Polres Sukoharjo tidak membuahkan hasil, yakni dengan mempertimbangkan untuk membawa kasus perdagangan anak dan pelecehan seksual ke Polda Jateng. —Rappler.com

BACA JUGA:

Data Sydney