blog.ur-doc.com

Islam bukanlah agama yang diskriminatif, namun pemahaman yang salah terhadap teks-teks Islam seringkali menimbulkan pandangan yang diskriminatif.

CIREBON, Indonesia — Kasus kekerasan terhadap perempuan masih banyak terjadi di Indonesia. Hal itu terungkap dari data yang dirilis Komnas Perempuan pada 2015.

Dalam data ini tercatat setidaknya ada 16.217 kasus yang masuk ke Komnas Perempuan. Sebanyak 11.207 kasus terjadi di rumah tangga.

Sebanyak 6.725 dari 11.207 kasus kekerasan terhadap perempuan dialami oleh perempuan. Sedangkan 2.734 kasus lainnya dialami oleh perempuan yang statusnya masih pacar. Sementara itu, ada 930 kasus kekerasan terhadap anak perempuan.

Data kekerasan terhadap perempuan yang dirilis Komnas Perempuan jauh lebih sedikit dibandingkan dengan data yang disajikan oleh Pengadilan Agama Peradilan Agama (PA-BADILAG).

Menurut data PA-BADILAG, kekerasan terhadap perempuan mencapai 321.752 kasus. Jadi, jika dijumlahkan dengan data Komnas Perempuan, kekerasan terhadap perempuan mencapai 321.752 kasus.

Pimpinan Pondok Pesantren Arjawinangun Cirebon, KH Husein Muhammad, menilai meningkatnya kasus kekerasan terhadap perempuan antara lain karena salah tafsir terhadap teks-teks Islam.

“Itu adalah alasan bagi orang untuk melakukan kekerasan atas nama agama. Kalaupun agama tidak menghalalkan,” kata Husein saat diwawancarai di sela-sela Kongres Ulama Perempuan Indonesia di Pondok Pesantren Kebon Jambu Al-Islamiy Babakan Ciwaringin, Cirebon, Rabu, 26 April 2017.

Salah satu nash yang menurut Husein sering disalahtafsirkan sehingga dianggap diskriminatif adalah Surat An Nisa ayat 34. Surat tersebut sering dimaknai dengan bunyi:

“Laki-laki adalah pemimpin para wanita, karena Allah melebihkan sebagian dari mereka (laki-laki) atas yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) menafkahkan sebagian hartanya. Oleh karena itu, wanita yang saleh adalah wanita yang taat kepada Allah dan menjaga dirinya saat suaminya tidak ada, karena Allah yang menjaga (mereka). Para wanita yang nusyuznya kamu takuti, maka tegurlah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidurnya, dan pukullah mereka. maka jika mereka menurutimu, maka janganlah mencari-cari cara untuk menyusahkan mereka. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi dan Maha Besar.”

Dalam ayat tersebut, menurut Husein, ada kata “memukul” yang dijadikan dasar bagi laki-laki untuk melakukan kekerasan terhadap istrinya. Padahal, lanjut Husein, interpretasinya tidak demikian.

“Interpretasi saya adalah tindakan hukum. Posisinya, siapa yang salah harus dihukum, tapi tidak boleh dipukul. Jadi posisinya salah, bukan hanya perempuan yang disalahkan, tapi laki-laki yang salah juga harus dihukum,” ujar Husein yang pernah menjadi komisioner Komnas Perempuan itu.

Ungkapan “laki-laki adalah pemimpin bagi perempuan” menurut Husein semakin melegitimasi laki-laki untuk melakukan kekerasan terhadap perempuan. Penafsiran seperti itu juga menekankan posisi perempuan sebagai inferior yang harus selalu patuh pada laki-laki. Jika tidak, laki-laki merasa berhak melakukan kekerasan.

Husein menegaskan bahwa Islam bukanlah agama yang diskriminatif, namun pemahaman yang salah terhadap teks-teks Islam sering menimbulkan pandangan yang diskriminatif. Kondisi ini terjadi antara lain karena penafsiran teks Islam tidak dilakukan oleh perempuan akibat konstruksi sosial yang menempatkan peran dan fungsi perempuan hanya pada wilayah domestik.

Oleh karena itu, kata Husein, sudah saatnya ulama perempuan muncul dan mengoreksi pemahaman mereka terhadap ayat-ayat yang selama ini disalahpahami.

“Perempuan lebih baik dalam mengartikan hak dan kewajibannya daripada laki-laki karena mereka lebih mengerti. Perempuan memiliki hak untuk mengeksplorasi pandangan agama mereka, dan tidak hanya didominasi oleh laki-laki,” kata Husein yang juga menjabat sebagai Ketua Yayasan Fahmina Cirebon.

—Rappler.com