• November 24, 2024

Keberadaan kios kaset, vinyl, dan CD musik di bawah tanah

JAKARTA, Indonesia — Tak terhitung banyaknya toko CD di mal yang bangkrut. Sebagian besar konsumen sudah mulai beralih ke musik digital.

Namun, Agus dan Arman membuka kios kaset, piringan hitam, dan CD musik di lantai gudang di bawah tanah Blok M Square nyatanya mampu meraup keuntungan hingga puluhan juta rupiah.

Agus Susanto (33 tahun) adalah pemilik kios Warung Musik di Blok M Square. Alasannya membuka kios ini sederhana, ia hanya menyukai musik dan hobinya mengoleksi kaset, piringan hitam, dan CD musisi favoritnya.

Seiring berjalannya waktu, koleksinya bertambah. Agus akhirnya memutuskan untuk membuka dan menjalankan kios Warung Musik miliknya sendiri pada tahun 2010. Pembeli di kios Agus berkisar dari kalangan muda hingga kalangan tua yang gemar mendengarkan musik.

“Ada anak muda yang membeli kaset dan piringan hitam,” kata Agus yang ditemui Rappler, Selasa, 7 Maret sambil menganggukkan kepala.

Dalam menjalankan usahanya, Agus tidak hanya mengandalkan kios fisik. Agus melihat pesatnya perkembangan media sosial dan juga membuka toko on line Dari Facebook Dan Instagram. Melalui media sosial, Agus selalu memberikan informasi mengenai diskon kaset, piringan hitam, dan CD yang dijualnya.

Agus mengaku bisa mendapatkan penghasilan sekitar Rp 20 juta per bulan dengan membuka usaha kios on line. Beberapa kali lipat lebih besar dibandingkan pendapatan di kios fisik.

Zaman selalu berubah. Awalnya, kaset hadir sebagai pengganti piringan hitam. Pilihan ini masuk akal mengingat biaya produksi kaset lebih murah dibandingkan piringan hitam.

Keberadaan kaset sempat terancam sekitar tahun 2000an. CD atau CD sebagai salah satu produk revolusi digital mengambil alih pemasaran kaset karena pihak label beranggapan bahwa kaset tidak akan bertahan lama pada kondisi udara lembab seperti di Indonesia. Selain itu, biaya produksi CD yang lebih murah dibandingkan kaset tentu juga menjadi alasannya.

Saat ini jarang sekali musisi atau perusahaan rekaman yang merilis CD dalam jumlah banyak ke pasaran. Sebagian besar pelaku industri musik kini mengandalkan rilisan digital yang dapat dengan mudah dinikmati melalui gadget atau perangkat komputer.

Agus pun mengamini hal tersebut. “Minat produksi kaset dan CD di pasaran semakin berkurang. “Barang-barang yang ada di (toko) di sini kebanyakan didapat dari tempat-tempat yang menjual barang bekas di warung-warung atau orang lain langsung menjualnya di sini,” ujarnya.

Namun hingga saat ini masih ada beberapa musisi indie yang memproduksi kaset, misalnya Bintang Kelinci dan Silampukau, kata Agus. (BA: ’15 Musisi Indie Indonesia Berprestasi’)

Sama seperti Agus, Arman Wahyudi (45 tahun), pemilik kios Musik Collector yang berjarak satu blok dari kios Agus, juga sudah mengoleksi kaset sejak SMP. Kebiasaan ini didasari oleh kecintaannya terhadap musik. Meski kini Arman sudah menjual koleksinya, namun ia memiliki koleksi cadangan di rumah.

“Jika Anda menyukai musiknya, terkadang kami menyukainya saya kencing yang (koleksi) dibuat di rumah, yang (koleksi) dibuat untuk dijual. Misalnya memilikinya “Satu kotak kaset, sortir dulu mana yang ingin dijual dan simpan di rumah,” kata Arman sambil memegang ponselnya.

Kios Arman di kawasan Blok M Square berdiri sejak tahun 2012. Sebelumnya ia berjualan kaset dan CD di Jatinegara pada tahun 1995. Setelah memutuskan bekerja kantoran pada tahun itu, ia kembali berdagang pada tahun 1998. Lalu Arman membangun kios. on line menggunakan Facebook pada tahun 2011 hingga pindah berdagang ke Blok M Square.

“Saat saya sampai di panggung South Music Terminal di Blok M Square, saya melihat penjualan kaset dan CD masih bagus. Akhirnya saya kembali berjualan, kata Arman.

Arman sering diundang ke festival musik untuk berjualan. Dengan terus mengandalkan kios on line Dari Facebook, Instagram serta kios fisik, Arman mengungkapkan bisa mendapatkan penghasilan lebih dari 20 juta per bulan. (BA: ‘Playlist Lagu Indonesia untuk Hari Musik Nasional dari Rappler’)

Selain menjual kaset dan CD, Arman juga menjual kaos band metal dan piringan hitam. Arman menjelaskan, piringan hitam belakangan ini semakin populer di kalangan kelompok tertentu. Bahkan sejumlah musisi sudah merilis album barunya dalam format vinyl, misalnya Mocca, Seringai, dan The Upstairs.

Menurut Arman, kualitas musik dalam format piringan hitam jauh lebih baik dibandingkan musik digital jika cakramnya dirawat dengan baik – ditempatkan pada posisi vertikal. Oleh karena itu, Arman mengaku tak takut dengan peredaran musik digital karena kualitasnya yang buruk.

Kekuatan nostalgia

Agus dan Arman adalah contoh pemilik usaha kios kaset, vinyl, dan CD yang masih bertahan di tengah maraknya produk musik digital. Barang-barang yang mereka jual cenderung banyak dicari oleh para kolektor (ceruk pasar). Para kolektor ini rela merogoh kocek puluhan juta rupiah untuk sebuah kaset, piringan hitam, atau CD jika puas dengan musisi dan karyanya.

Selain itu, beberapa tokoh pecinta musik juga datang ke kios Arman. Yang hadir Ahmad Dhani, Vincent, teman Desta, Rian D’Masiv juga ada di sini, kata Arman.

Berbagai karya musisi lokal pada masa lalu pernah dilepas dengan harga mahal. Arman mencontohkan, piringan hitam Dara Puspita edisi pertama pernah dihargai Rp 20 juta. Ada pula piringan hitam “Amburadul” karya grup Amburadul, grup musik pertama Iwan Fals sebelum bersolo karir, senilai Rp 3,5 juta.

Selain di kawasan Blok M Square, kios kaset, piringan hitam, dan CD juga masih tersedia di berbagai wilayah Jakarta, antara lain Pasar Santa, Glodok, Jalan Kembang Sematu, dan Jalan Surabaya.

Nilai sejarah yang tak terulang dan langka menjadi alasan para kolektor mencari kaset, piringan hitam, dan CD di stand Agus atau Arman. Selama minat mempelajari sejarah musik dari dalam dan luar negeri terus tumbuh, maka eksistensi musik tetap berdiri sekolah tua Seperti milik Agus dan Arman, sepertinya akan tetap terawat dan lestari.—Rappler.com


lagutogel