• November 25, 2024

Apa yang membuat kita tidak mengerti selama tahun 2016

JAKARTA, Indonesia — Tahun 2016 akan segera berakhir, meninggalkan banyak momen tak terlupakan. Salah satunya pasti bikin geleng-geleng kepala dan bergumam, “Kok bisa ya?”

Berikut 5 peristiwa tahun ini yang mungkin tidak masuk akal bagi Anda:

1. Mirna dan Jessica jadi tersangka

Awal tahun ini sempat heboh dengan meninggalnya Wayan Mirna Salihin, perempuan berusia 28 tahun, usai minum “kopi nikmat” bersama teman-temannya. Dia dikatakan telah diracuni dengan sianida.

Polisi kemudian menetapkan Jessica Kumala Wongso, salah satu teman Mirna, sebagai tersangka.

Alasannya adalah karena dia berperilaku mencurigakan. Statusnya terus menanjak hingga menjadi terdakwa, sebelum ditetapkan sebagai terpidana oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Keyakinan Jessica memicu perdebatan publik. Banyak orang menganggap buktinya tidak kuat.

Pertama, tidak ada otopsi terhadap jenazah Mirna hingga kematiannya akibat sianida dipertanyakan. Kedua, tidak ditemukan bekas racun pada barang milik Jessica. Ketiga, hakim memutuskan Jessica bersalah karena “pendapat hakim”, bukan karena bukti yang kuat dan otentik.

Tak hanya itu, media juga menayangkan persidangan ini bak sinetron. Ada yang berlomba-lomba mencari orang yang terlibat untuk menambah sisi dramatis, seperti memutar video pernikahan Mirna atau mengungkap sisi modis Jessica.

2. Bangkitnya PKI

Sekitar bulan April dan Mei tahun ini, isu kebangkitan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan bahaya laten komunisme tiba-tiba mengemuka. Salah satu yang berteriak lantang adalah Front Pembela Islam (FPI) dan purnawirawan Kivlan Zein.

Parahnya lagi, ada yang mengatakan sebanyak 15 juta anggota PKI telah melapor. Hal ini tentu lucu mengingat partai tersebut sudah dibubarkan sejak akhir tahun 1960-an.

“Seperti takut hantu,” banyak netizen yang berkomentar.

Terkadang akal sehat suka mengalahkan logika. Selama tahun 2016 tiba-tiba ada begitu banyak inspeksi terhadap aktivitas sayap kiri. Seperti pembubaran Turn Left Fest, penangkapan orang-orang yang memakai kaos yang diduga bergambar PKI, dan simposium tandingan.

Ketakutan selalu mengalahkan akal sehat, dan kebodohan massal bukanlah hal baru dan langka di Indonesia.

Namun demikian, hal itu memang ada Simposium Nasional: Membedah Tragedi 1965, sebuah pendekatan historis yang mengupayakan rekonsiliasi antara pemerintah dan penyintas tragedi pembantaian terbesar di Indonesia.

Sayangnya hingga saat ini belum ada solusinya. Pemerintah terus menolak untuk meminta maaf atau merehabilitasi para korban. Semangat kebangkitan PKI diduga bertujuan menghalangi jalan keluar pertemuan itu.

3. Arcandra Tahar

TEMUI JOKOWI.  Mantan Menteri ESDM Arcandra Tahar (tengah) menjawab pertanyaan wartawan usai menghadiri upacara peringatan 71 tahun Kemerdekaan RI di Istana Merdeka, Jakarta, Rabu, 17 Agustus.  Foto oleh Yudhi Mahatma/ANTARA

Itu datang dan pergi – dan datang lagi. Begitulah kisah mantan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arcandra Tahar tahun ini. Pria asal Padang, Sumatera Barat ini menghebohkan dunia politik karena status kewarganegaraannya.

Setelah 20 tahun bekerja di Amerika Serikat, Arcandra dikabarkan sudah memegang paspor dari negara tersebut. Artinya, kewarganegaraan Indonesianya otomatis hilang, karena negara ini tidak mengenal kewarganegaraan ganda.

Meski akhirnya Arcandra kembali berstatus WNI, namun ia tak pernah sekalipun memastikan pernah memegang paspor AS.

Saat didesak media, jawabannya selalu samar-samar. Salah satu kutipan sensasionalnya adalah: “Lihatlah wajahku. Orang Padang, kok.”

Belum genap sebulan menjabat, Presiden Joko “Jokowi” Widodo akhirnya memecat Arcandra. Namun, ia dipanggil kembali sebagai Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral mendampingi Ignasius Jonan yang menjabat.

4. Demo 212 dan Sari Roti

ZIKIR.  Umat ​​Islam berdzikir dan berdoa berjamaah di kawasan Monas, Jakarta, Jumat, 2 Desember.  Foto oleh Muhammad Adimaja/ANTARA

Tindakan yang dilakukan FPI dan ormas Islam lainnya di bawah bendera GNPF MUI patut dipertanyakan. Meski diklaim aksi damai, polisi berniat memenjarakan Gubernur DKI Jakarta nonaktif Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama.

Saat itu, Ahok memang tengah dijerat kasus dugaan penodaan agama. Meski berstatus tersangka, GNPF MUI meminta polisi memenjarakannya.

Meski polisi menjelaskan alasannya tidak segera menangkap Ahok, GNPF MUI bungkam. Mereka terpaksa menggelar aksi doa bersama di Monasplein atau Aksi 212 pada 2 Desember.

Aksi doa bersama ini memang berlangsung damai, bahkan Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Jusuf Kalla serta Kapolri Jenderal Polisi Tito Karnavian pun turut serta. Beberapa menteri juga terlihat mendampinginya, seperti Menko Polhukam Wiranto.

Namun, dampak setelahnya sungguh luar biasa. Entah kenapa, gerakan umat beragama konservatif mulai tumbuh.

Begitu pula dengan aksi boikot yang mengatasnamakan “sakit hati umat Islam”, seperti gerakan boikot terhadap merek Sari Roti. Alasannya, pihak perusahaan yang bersangkutan mengklarifikasi bahwa mereka “bukan sponsor acara” setelah beredar foto pedagang gerobak Sari Roti yang membagikan roti gratis kepada peserta aksi.

Netizen kemudian merasa tersinggung dengan penjelasan tersebut dan melancarkan gerakan boikot. Banyak warganet yang mengunggah foto dirinya membuang atau menginjak-injak produk yang dimaksud.

Akibatnya, pedagang roti Sari Roti keliling terkendala. Tidak bisa mengerti? Alami. Namun sekali lagi, kebodohan massal bukanlah hal baru dan langka di Indonesia.

5. Takut pada Tiongkok

RUPIAH.  Pejabat Bank Indonesia melayani warga untuk menukarkan uang kertas rupiah baru setelah diperkenalkan di kantor Bank Indonesia di Medan, Sumatera Utara pada 19 Desember 2016.  Foto oleh Septianda Perdana/Antara

Tahun ini, begitu banyak ketakutan terhadap Tiongkok yang muncul. Setelah muncul isu hoax soal masuknya 10 juta TKI asal China ke Indonesia, desain rupiah baru pun dituding mirip dengan Yuan.

Kebencian terhadap etnis keturunan Tionghoa juga terlihat pada aksi protes anti-Ahok. Terlihat spanduk-spanduk berisi ujaran kebencian yang ditujukan kepada keturunan.

Para pengunjuk rasa merasa pekerjaan dan haknya dirampas oleh warga keturunan Tionghoa. Bagi mereka, warga turunan tersebut tetap bukan orang Indonesia. Tidak masalah jika mereka lahir, tinggal dan besar di negeri ini.—Oleh pelaporan Ursula Florene/Rappler.com

lagu togel