• November 23, 2024

Ketahanan terhadap terorisme

Bulan Ramadhan adalah bulan suci. Logikanya, di bulan Ramadhan setan sedang “bebas tugas”. Namun persiapan mental dan spiritual warga DKI Jakarta yang hendak memasuki bulan Ramadhan 2017 terganggu akibat aksi bom bunuh diri yang terjadi di Kampung Melayu, Jakarta Timur. Disrupsi dapat berupa serangan, kecelakaan atau bencana alam.

Tragedi ini hanya terjadi beberapa hari setelah kejadian bom di Manchester, Inggris, saat konser Ariana Grande, sehingga rangkaian agenda konser selanjutnya terhenti tanpa batas waktu yang jelas. Tentunya kita sebagai manusia hanya bisa berharap agar bulan suci Ramadhan dapat menjadi faktor pelindung terhadap aksi terorisme.

Berbagai pemberitaan dan pernyataan para ahli di bidang terorisme menyebutkan bahwa Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) mengklaim telah terjadi aksi bom bunuh diri di Kampung Melayu. Namun mampukah bulan suci ini mencegah serangan teror lebih lanjut?

Menilik catatan ISIS, ISIS menjadikan bulan suci Ramadhan 2016 sebagai bulan puasa paling berdarah sepanjang sejarah:

  • Bom meledak di Bangladesh, menewaskan 4 orang
  • Bom bunuh diri menewaskan 300 orang di Bagdad
  • Serangan di bandara Istanbul menewaskan 45 orang
  • Penyanderaan di Bangladesh telah mengakibatkan kematian 22 orang
  • Bom di Afghanistan menewaskan 64 orang
  • Penembakan massal di klub malam gay di Orlando menewaskan 49 orang

(BACA: TIMELINE: Serangan Teror di Seluruh Dunia)

Bukan untuk menakut-nakuti, tapi itulah ISIS. Upaya kita untuk menggunakan jargon “Kami tidak takut” sangatlah baik, namun setidaknya disertai dengan pemahaman bagaimana kita dapat melatih rasa tidak takut tersebut.

Serangan teroris dan senjata pemusnah massal (senjata pemusnah massal/WMD) kemungkinan besar akan meningkatkan dampak psikologis karena peristiwa tersebut terjadi tanpa peringatan, merupakan peristiwa berskala besar, terdapat ketakutan dan ketidakpastian (tentang serangan selanjutnya), tidak dipahaminya tujuan penyerangan, dan siapa pelakunya (termasuk siapa sasarannya).

“Mengembalikan para penyintas untuk bekerja, bersekolah, dan melakukan aktivitas lain setelah bencana besar akan memberi mereka aktivitas yang bermakna dan adaptif.”

Pada awal Mei 2017, saya berangkat ke Mesir untuk suatu tugas, yang berselang hanya 3 minggu setelah dua ledakan bom yang terjadi di Mesir. Salah satunya terjadi di gereja Koptik tepat di sebelah gereja katedral di Kairo.

Sempat ada rasa gentar, namun setelah berkonsultasi dengan Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI), timbul keyakinan untuk berkunjung ke Mesir dengan syarat menghindari tempat-tempat budaya yang ramai di luar Kairo.

Pada penerbangan Jakarta–Singapura–Abu Dhabi–Kairo, yang paling menarik adalah ciri-ciri penumpang dari Abu Dhabi menuju Kairo. Ibu saya duduk di samping seorang perempuan asal Indonesia yang menceritakan kepada saya bahwa dia sedang bersama rombongan yang akan menghadiri kebaktian di gereja katedral.

Saat saya menguping, sepertinya rombongan ibu cukup banyak. Kemudian saya melihat sekeliling dan saya melihat penumpang asal Indonesia di sisi lain pesawat mengenakan gaun lengkap dengan sorban. Sejenak saya merasakan Indonesia yang saya kenal sejak TK, kentalnya keberagaman Indonesia dalam perjalanan 4 jam dari Abu Dhabi hingga Mesir.

Setibanya di Kairo banyak baliho”Paus Perdamaian, Di Mesir Damai“. Menurut saya konten ini memberikan inspirasi bahwa sugesti dapat disisipkan dalam kalimat-kalimat positif seperti kata-kata “Perdamaian” atau perdamaian.

Bahkan dalam lamaran rekreasional, tidak boleh ada kata-kata yang berkonotasi negatif seperti “tidak” atau “jangan” atau “tidak”. Aku juga melihatnya papan iklan raksasa yang mengatakan “1.000.000 pekerja kota Sharm El Sheikh mendoakan perjalanan pulang yang aman” didedikasikan untuk Paus Fransiskus (Paus Fransiskus).

Saat saya hendak menghadiri pertemuan di Universitas Ain Shams Kairo, saya lewat di depan gereja katedral, pengamanannya ketat. Saya nekat turun untuk mengabadikan momen tersebut, tiba-tiba polisi mendatangi saya dan meminta foto tersebut dihapus.

Saya menginap di sebuah hotel di kawasan Giza yang jalan raya di depan hotelnya sangat panjang dan sibuk. Suatu pagi saya membaca berita dari media on line yang menurut saya cukup bisa diandalkan, namun ketika saya berbicara dengan salah satu pelayan restoran hotel, dia menjadi sangat menolak ketika saya bertanya apakah benar ada petugas polisi yang ditembak teroris tadi malam. Ia setengah panik dan mengatakan bahwa berita tersebut seringkali mengandung kebohongan. Saya mencoba untuk tidak memperpanjangnya.

Tidak banyak literatur ilmiah yang menjelaskan respon layanan kesehatan jiwa pasca bom, baik respon langsung pasca bom maupun kebutuhan kesehatan mental jangka pendek dan jangka panjang para penyintas. Yang selamat di sini adalah orang-orang yang terkena dampak langsung dari pemboman tersebut, serta masyarakat di mana pemboman tersebut terjadi.

Di Amerika Serikat, penyediaan layanan kesehatan dalam menghadapi bencana baru ada sejak tahun 1970. Hal ini diikuti oleh program kesehatan mental masyarakat yang pertama setelah pemboman Kota Oklahoma pada tahun 1995, yang disebut Proyek Heartland dengan intervensi jangka pendek dan jangka panjang bagi mereka yang selamat dari serangan teroris besar. Penyediaan layanan semacam ini juga terus berkembang seiring dengan terjadinya peristiwa 9/11 di New York dan pemboman maraton di Boston.

Data mulai menunjukkan bahwa terdapat 4-50 korban psikologis untuk setiap korban fisik dalam serangan teroris. Sebuah survei satu minggu setelah pengeboman World Trade Center (9/11) menemukan bahwa 44% orang dewasa dan 35% anak-anak mengalami satu atau lebih gejala stres traumatis yang signifikan. Mayoritas individu yang mengalami peristiwa traumatis memiliki respons sementara dan pulih ke fungsi sebelum peristiwa tersebut dalam waktu dua tahun setelah peristiwa tersebut tanpa intervensi.

“Membangun komunitas yang kuat dan inklusif akan meningkatkan ketahanan individu, dan menjadi bagian dari komunitas dapat membantu para penyintas bencana mengatasi stres dan pulih ke tingkat sebelumnya.”

Diperkirakan 10-15% persen atau lebih mungkin mengalami reaksi parah yang menetap seiring berjalannya waktu dengan gejala termasuk ketakutan dan kecemasan mengenai keselamatan pribadi, gangguan tidur termasuk mimpi buruk dan kilas balik, khawatir akan terpisah dari keluarga, perlu memikirkan kejadian tersebut dan hal-hal terkait lainnya. perasaan untuk membicarakan bencana, dan perasaan perlu menjadi bagian dari masyarakat dan upaya pemulihan bencana.

Persatuan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) DKI Jakarta mengirimkan tim psikiater untuk melaksanakannya penilaian Sudah satu hari setelah pengeboman dan pada 4 orang penyintas, dapat ditemukan reaksi stres akut berupa mudah kaget dan waspada, flashback, sulit tidur, mengumpat karena marah, diam dan menangis. Bencana memperburuk kerentanan individu dan masyarakat, namun para penyintas bencana yang sudah mempunyai gangguan mental dapat berfungsi dengan baik jika layanan dasar tidak terganggu.

Terlepas apakah pengeboman di Kampung Melayu dilakukan oleh ISIS atau tidak, namun dalam konflik kemanusiaan yang berlarut-larut, perebutan hak sumber daya alam, upaya menikmati kenikmatan kekuasaan, atau pesan-pesan kebencian yang tak selalu terlihat, hampir bisa dipastikan. bahwa aksi terorisme akan terus berlanjut akan menjadi pilihan komunikasi antar masyarakat.

Kemampuan pertolongan pertama psikologis (PFA) tampaknya sangat penting bagi individu. PFA adalah serangkaian keterampilan perawatan praktis dan dasar non-invasif.

PFA fokus mendengarkan, mengenali dan memenuhi kebutuhan dasar dengan tujuan mengurangi dampak negatif dan mencegah terjadinya gangguan kesehatan mental yang lebih parah akibat bencana atau situasi kritis. PFA juga memperkuat kemampuan individu dalam beradaptasi terhadap perubahan yang terjadi, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang, serta memperkuat proses pemulihan.

PFA dapat diberikan kepada semua kelompok umur dan dapat dilakukan oleh siapa saja yang memiliki pengetahuan atau pelatihan, termasuk masyarakat awam. Ada kebutuhan besar akan sebuah program, organisasi atau sistem yang dapat menginformasikan dampak luas dari trauma dan memahami kebutuhan individu untuk pemulihan melalui langkah pertama seperti PFA.

Salah satu kata yang sangat penting ketika berbicara tentang bencana besar adalah ketahanan. Ketahanan adalah kemampuan untuk bersiap dan beradaptasi terhadap perubahan kondisi agar dapat bertahan dan pulih dengan cepat dari gangguan.

Mengembalikan para penyintas untuk bekerja, bersekolah, dan melakukan aktivitas lain setelah bencana besar akan memberikan mereka aktivitas yang bermakna dan adaptif. Individu yang resilien memiliki 3 ciri khas, yaitu mampu menerima kenyataan sulit yang dihadapi dengan tenang dan santai, menemukan makna di masa sulit, dan memiliki kemampuan berimprovisasi yang luar biasa dalam memecahkan masalah.

Jika PFA juga ingin dilatih, ketahanan atau hardiness juga memerlukan ketersediaan informasi sebelum bencana terjadi, penjelasan tentang integrasi sosial, demonstrasi untuk menyampaikan pesan simbolis melawan terorisme (di Jakarta seperti #Kami Tidak Takut) dan pengembangan kompetensi masyarakat. yang meningkatkan rasa memiliki komunitas.

Membangun komunitas yang kuat dan inklusif akan meningkatkan ketahanan individu, dan menjadi bagian dari komunitas dapat membantu para penyintas bencana mengatasi stres dan pulih ke tingkat fungsi sebelumnya. Bukti empiris menunjukkan bahwa keterhubungan dengan orang lain, termasuk keterhubungan dengan komunitas, meningkatkan perilaku kesehatan selama dan setelah bencana.

Dengan potensi teror yang masih mengintai, komunitas-komunitas yang tersegregasi harus segera bersatu. DKI Jakarta harus mampu menjadi model nasional kesiapsiagaan PFA dan ketahanan masyarakat sebagai implementasi upaya preventif yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa. —Rappler.com

Nova Riyanti Yusuf adalah Ketua Umum Perhimpunan Dokter Spesialis Psikiatri Indonesia cabang DKI Jakarta.

Data SDY