• November 24, 2024

Catatan kelam pekerja perempuan

JAKARTA, Indonesia – Diperingati setiap tanggal 1 Mei, Hari Buruh tidak hanya menjadi milik laki-laki tetapi juga pekerja perempuan.

Sejak pelantikan pemerintahan Joko “Jokowi” Widodo, menurut Komite Aksi Perempuan (KAP), belum ada perubahan mendasar yang dialami pekerja perempuan, padahal semboyan yang dicanangkan Presiden Jokowi adalah “Ayo Bekerja!”.

Kebijakan yang tidak berpihak pada pekerja perempuan terlihat pada saat dikeluarkannya Peraturan Pemerintah No. 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan. PP tentang Pengupahan ini dinilai lebih condong ke arah pengusaha.

Bahkan saat buruh menggelar aksi penolakan PP Pengupahan, 26 aktivis ditangkap dan kini menjadi tersangka. Empat di antaranya adalah perempuan.

Tarik ulur pembahasan RUU PRT masih sebatas janji.

Selain itu, ada sejumlah isu lain seperti perempuan petani di Kendeng, Rembang, Jawa Tengah, yang menentang pembangunan pabrik semen di wilayahnya. Kesembilan perempuan Kendeng ini bahkan sempat datang ke depan Istana Negara pada April lalu untuk menempelkan kaki sebagai bentuk protes.

Hal serupa juga dialami oleh perempuan dan keluarga nelayan, pekerja migran dan korban penggusuran yang umumnya bekerja sebagai buruh dan pedagang.

Berikut catatan pekerja perempuan yang dikumpulkan dari KAP selama tahun 2016 sebagai refleksi kepada pemerintah:

Kurangnya hak bersalin di tempat kerja

Menurut KAP, pelanggaran hak maternitas masih sering terjadi di tempat kerja, namun jarang dilaporkan. Penyebabnya adalah kurangnya kesadaran dan informasi mengenai hak-hak maternitas di kalangan pekerja perempuan.

Misalnya saja di Kawasan Berikat Kepulauan (KBN) Cakung, terdapat sekitar 80 perusahaan di sektor garmen yang mempekerjakan sekitar 80.000 orang dengan jumlah pekerja perempuan mencapai 90 persen. Namun sebagian besar pabrik tidak menyediakan ruang menyusui (laktasi).

Kurangnya ruang laktasi memaksa para ibu untuk membuang ASI ke toilet, atau bahkan menahannya di tempat kerja selama berjam-jam sehingga menyebabkan ASI bocor ke pakaian mereka.

Ketiadaan ruang laktasi juga berdampak pada bayi, yakni tidak mendapat ASI eksklusif minimal 0-6 bulan.

Riset Fakultas Kedokteran UI tahun 2013 menunjukkan persentase pekerja sektor formal di Jakarta yang memberikan ASI eksklusif hanya mencapai 32 persen. Hasil penelitian ini juga menyebutkan bahwa hampir 80 persen pekerja pabrik di Jakarta tidak memberikan ASI eksklusif.

Selain menyusui, permasalahan yang dihadapi perempuan di tempat kerja antara lain pemecatan setelah cuti hamil hingga keguguran di tempat kerja.

Beberapa pekerja perempuan yang tergabung dalam Gabungan Serikat Pekerja Independen (GSBM) di PT Kuanjin, perusahaan Korea Selatan yang berlokasi di Cikarang, dipecat setelah mengajukan cuti melahirkan.

Pekerja perempuan juga rentan mengalami keguguran di tempat kerja. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal seperti: Panjangnya jam kerja lebih dari 8 jam dan tidak tersedianya fasilitas bagi ibu hamil, seperti kursi duduk bagi yang bekerja berdiri lebih dari 5 jam dan ruang kerja terlindungi dari paparan bahan kimia.

Praktik kerja paksa dan pelecehan seksual

Praktik kerja paksa terjadi ketika pekerja perempuan dikondisikan menjadi lemah keahlian dan kapasitas. Jadi ketika mereka bekerja, mereka harus berproduksi setiap menitnya untuk memacu mesin mencapai target.

Sementara itu, pelecehan seksual terhadap pekerja perempuan di pabrik terus berlanjut. Pelecehan terjadi ketika pekerja perempuan sering disentuh dan dilecehkan oleh teknisi pabrik saat teknisi tersebut sedang memperbaiki mesin. Terkadang mereka tidak mampu melawan karena takut dipecat.

Perjuangan perempuan petani

Lahan produktif perempuan petani di Kendeng, Rembang, Jawa Tengah, terancam pembangunan pabrik semen. Hal ini menunjukkan bukti dukungan pemerintah terhadap investasi di sektor industri.

Padahal, jika pabrik semen di daerah pegunungan terlambat beroperasi, ribuan hektar lahan pertanian produktif akan hilang dan petani kehilangan ruang hidup dan sumber daya ekonomi.

Petani akan terpaksa menjadi buruh pabrik semen yang penghasilannya jelas tidak sebanding dengan memiliki dan menggarap lahan pertanian sendiri.
Hilangnya ruang hidup dan sumber daya ekonomi juga mendorong perempuan menjadi pekerja migran di luar negeri yang seringkali menghadapi kekerasan berlapis.

Selama ratusan hari, perempuan petani di Rembang melakukan perlawanan di tenda-tenda dengan tujuan memblokir akses pembangunan pabrik semen. Mereka beberapa kali menghadapi aksi kekerasan yang sebagian besar dilakukan oleh aparat keamanan sebagai bentuk kelangkaan mereka dengan pemilik modal.

Penjelasan tentang hak-hak pekerja rumah tangga

Sejak tahun 2004, sudah 3 periode pemerintahan, Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) sudah disampaikan ke DPR, namun hingga saat ini belum rampung.

Pekerja rumah tangga bekerja dalam situasi yang tidak pantas: jam kerja yang panjang dan tidak terbatas, lebih dari 14 jam, tidak ada istirahat dan libur mingguan, cuti, tidak ada jaminan sosial, upah rendah, tidak dibayar, pelecehan dan penghinaan, dan bahkan pembatasan hak untuk berkumpul. asosiasi.

Dari data yang dihimpun JALA PRT 2012-2015, terdapat 1.474 kasus kekerasan yang dialami PRT. Pada awal tahun 2016, terdapat 121 kasus PRT yang umumnya multi-kekerasan, antara lain upah tidak dibayarkan, melahirkan anak, dan penganiayaan.

Pekerja migran perempuan rentan terhadap kekerasan

Pekerja migran perempuan Indonesia, Erwiana Sulistyaningsih, menjadi korban kekerasan di Hong Kong.  Foto oleh AFP

Pekerja migran perempuan yang bekerja sebagai pekerja rumah tangga tidak dianggap sebagai pekerja sehingga hak normatifnya sebagai pekerja seringkali dilanggar.

Kasus ini hadir dalam berbagai bentuk, seperti gaji yang tidak dibayarkan, tidak adanya hari libur, serta jam kerja dan beban kerja yang tidak manusiawi.

Berbagai kekerasan dan pelanggaran hak yang dialami oleh pekerja migran perempuan menunjukkan bahwa negara tidak hadir dalam memperhatikan, melindungi dan menghormati hak-hak pekerja migran perempuan.

Berdasarkan catatan di atas, KAP menuntut pemerintah menerapkan kebijakan yang berstandar hak asasi manusia bagi pekerja perempuan dan meratifikasi konvensi Organisasi Buruh Internasional (ILO) No.183 tahun 2000.

Ratifikasi konvensi ini mencakup standar komprehensif untuk perlindungan hak-hak maternitas dan memastikan keputusan bersama mengenai perlindungan maternitas.

KAP juga mendesak DPR dan pemerintah segera meratifikasi Konvensi ILO 189 tentang Pekerjaan Layak bagi Pekerja Rumah Tangga (PRT) serta membahas dan mengesahkan RUU PPRT.—Rappler.com

Data Hongkong