• November 25, 2024
Terdapat kekerasan simbolik dalam pemberitaan media tentang kelompok LGBTI

Terdapat kekerasan simbolik dalam pemberitaan media tentang kelompok LGBTI

Ini adalah ringkasan yang dibuat oleh AI, yang mungkin memiliki kesalahan. Untuk konteksnya, selalu rujuk artikel selengkapnya.

Media menggunakan kata-kata yang berkonotasi negatif tentang LGBTI dalam pemberitaannya

JAKARTA, Indonesia – Aliansi Jurnalis Independen (AJI) memetakan pemberitaan di puluhan media online dan cetak untuk melihat pemberitaan isu lesbian, gay, biseksual, transgender, dan interseks (LGBTI) di Indonesia.

Dari pemetaan yang dilakukan AJI pada bulan Juli hingga Agustus 2015, diketahui terdapat kekerasan simbolik yang dilakukan oleh media di Indonesia melalui penggunaan bahasa secara langsung dalam pemberitaan.

Ketua Divisi Perempuan dan Anak AJI Indonesia Hesthi Murti mengatakan, pemetaan pemberitaan dilakukan dengan metode kuantitatif dengan melibatkan 20 media massa, meliputi 10 media cetak dan 10 media. on line berpusat di Jakarta dan Surabaya.

Media-media tersebut dijadikan sampel karena mempunyai dampak yang besar secara nasional dan lokal. “Media cetak meliputi surat kabar dan majalah politik atau gaya hidup dan perempuan,” kata Hesthi bengkel untuk jurnalis dengan tema “Better Journalism for LGBTI” di Jakarta, pada Minggu, 24 Januari.

Dari memindai Dalam waktu sekitar satu bulan, ditemukan 113 berita mengenai kelompok LGBTI, 107 di antaranya berasal dari 10 media. on line dan sisanya 16 dari 10 media cetak surat kabar. Sementara itu, tidak ada berita mengenai LGBTI yang muncul di media majalah selama 35 hari tersebut.

Sebanyak 81 berita berbentuk berita langsung. “Media on line “Masyarakat arus utama banyak memuat berita tentang LGBTI,” kata Heshti.

Dalam pemetaan pemberitaan, isu kekerasan non-seksual LGBTI mendapat share terbesar yakni sebesar 20 persen di media lokal. Disusul berita perjumpaan LGBTI dengan undang-undang mencapai 13 persen.

“Media lokal banyak meliput kejahatan, sedangkan pemberitaan tentang identitas gender dan perekonomian cukup tinggi, 28 persen. Namun sumbernya berasal dari media di luar Indonesia, seperti Australia, katanya.

Metode kuantitatif yang digunakan untuk mengidentifikasi apa yang ada dalam berita juga menyebabkan banyak kekerasan simbolik yang dilakukan oleh media secara langsung melalui penggunaan bahasa dalam berita tersebut.

“Ada kalimat-kalimat yang mengandung stigma negatif pada judul dan berita tentang kelompok LGBTI, terutama pada artikel berita. Sementara itu di berita langsung cenderung hanya mengutip informasi dari pihak berwenang tanpa menyertakan sumber dari kelompok LGBTI. “Jadi banyak sekali pemberitaan yang negatif dan tidak berimbang, terutama berita kriminalitas,” jelas Hesthi.

Menurutnya, kondisi tersebut terjadi akibat rendahnya pemahaman terhadap LGBTI di kalangan jurnalis dan media di Indonesia. Kurangnya pemahaman terhadap etika jurnalistik juga memperparah kondisi ini, selain fenomena mengejar jumlah pembaca yang tinggi di media on line.

“Dari sisi media, kita tidak boleh menjadi bagian dari apa yang bersifat destruktif dan menyesatkan. Bagaimana membuat pemberitaan netral dan memberi ruang bicara, tambah Suwarjono, Ketua AJI Indonesia.

Pindai Laporan singkat ini menjadi bekal penelitian lanjutan AJI Indonesia untuk memetakan pemberitaan dan perhatian media tidak hanya terhadap isu LGBTI namun juga isu marginal lainnya dengan tenggat waktu pertengahan tahun ini.

Ardhanary Institute, lembaga yang fokus pada advokasi isu lesbian, perempuan, dan transgender, mencatat sekitar 80 persen pemberitaan di media tidak benar-benar memuat berita tentang LGBTI. Misalnya, dalam kasus kejahatan murni, pemberitaan tidak fokus pada kasusnya melainkan orientasi seksual.

“Misalnya kasus pidana, tapi fokusnya pelakunya lesbian. Hal ini tanpa memverifikasi identitas gender tersangka sebagai lesbian. “Karena identitas gender berasal dari pengenalan diri sendiri,” kata RR. Agustine, aktivis di Ardhanary Institute.

Dampaknya, menurut Agustine, media turut berkontribusi terhadap munculnya opini negatif masyarakat terhadap komunitas LGBTI di Indonesia.

“Banyak kata-kata berkonotasi negatif yang digunakan media untuk menyebut LGBTI, misalnya penyimpangan seksual, kekacauan, bahkan sampah sosial,” ujarnya. —Rappler.com

BACA JUGA:

Sdy pools