Aktivis yang membela 65 orang yang selamat terus melakukan perlawanan di tengah tekanan
- keren989
- 0
SOLO, Indonesia – Pengepungan dan penyerangan terhadap Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) pada pekan lalu berdampak langsung di wilayah tersebut. Selain menimbulkan rasa takut dan trauma bagi para penyintas tragedi 1965, kasus di Jakarta juga menginspirasi penindasan terhadap kebebasan di wilayah tersebut.
Di wilayah Klaten misalnya, pertemuan penyintas yang biasa digelar Sekretariat Bersama (Sekber) 65 terpaksa dibatalkan karena intimidasi dari sekelompok ormas dan aparat keamanan. Padahal, sebelumnya kegiatan rutin bulanan ini dilakukan tanpa ada tekanan atau ancaman pembubaran.
Pertemuan para penyintas lebih banyak membahas tentang hak-hak sosial, khususnya akses terhadap layanan kesehatan bagi para penyintas yang sebagian besar sudah berusia lanjut dan hidup dalam perekonomian pas-pasan, bahkan miskin – mantan tapol beserta anak cucunya tidak bebas untuk tidak memilih. pekerjaan mereka sejak Orde Baru. Tidak ada pembahasan mengenai komunisme dan partai politik.
Namun karena gaung isu kebangkitan komunisme dimunculkan dalam penyerangan terhadap yayasan yang didirikan oleh Adnan Buyung Nasution, akibatnya setiap kegiatan yang bernuansa 65 selalu ditengarai sebagai kelahiran kembali Partai Komunis Indonesia. adalah (PKI).
“Kasus di Jakarta ini rupanya menginspirasi ormas dan pejabat daerah untuk ikut melakukan tindakan represif. “Daripada kekerasan terhadap penyintas lanjut usia, lebih baik kita batalkan saja,” kata Koordinator Sekber 65 Winarso, Jumat, 22 September 2017.
“Sebelumnya tidak pernah ada larangan atau ancaman dalam pertemuan di Klaten. “Tetapi kemarin sebelum kegiatan sudah ada pasukan ormas, tentara, dan polisi yang menunggu di tempat.”
Sekber 65 merupakan organisasi sosial yang telah bekerja di delapan kota/kabupaten di Jawa Tengah sejak tahun 2005 untuk membantu rekonsiliasi para penyintas di tingkat akar rumput. Ketimbang berupaya mengungkap kebenaran dan proses peradilan, Sekber lebih memilih menjembatani eks warga Pulau Buru, Nusakambangan, dan Plantungan agar kembali berbaur dan diterima masyarakat tanpa pengecualian dan diskriminasi.
Tak sedikit dari mereka yang justru menjadi tokoh, ustadz dan penceramah, guru mengaji, ketua RT, ketua kelompok tani, dan lain sebagainya. Bagi Sekber, proses rekonsiliasi akar rumput ini dinilai paling penting karena, suka atau tidak, para penyintas akan menghabiskan sisa hidupnya di masyarakat.
Asimilasi ini secara tidak langsung membantu merehabilitasi nama-nama mereka yang mendapat stigma sebagai mantan tahanan politik, komunis, dan pengkhianat negara. Bagi mereka yang merasa tidak bersalah karena tidak mengetahui dan tidak terlibat dalam peristiwa 30 September 1965 di ibu kota, rehabilitasi merupakan hal terpenting untuk mengembalikan nama baik mereka.
“Banyak dari mereka yang ditangkap secara tidak benar dan dengan sengaja difitnah untuk merampas jabatan, istri, dan harta benda mereka. Semua yang dituduh langsung ditangkap, karena tidak pernah ada sidang pembuktian. “Mereka ingin dipulihkan,” kata Winarso.
Selain itu, Sekber juga bekerja sama dengan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (WPA) untuk membantu para penyintas mendapatkan layanan kesehatan gratis di rumah sakit melalui green paper. Sedikitnya seribu penyintas menerima Buku Hijau LPSK.
Dalam advokasinya, tidak jarang Sekber mendapat tekanan dari organisasi keagamaan dan militer. Seperti dua tahun lalu, acara bertema pelayanan kesehatan bagi 65 penyintas di Taman Budaya Jawa Tengah ini dibubarkan oleh gabungan ormas keagamaan.
Winarso juga kerap mendapat ancaman sebagai koordinator Sekber, kerap dituduh sebagai bagian dari kelompok pro-komunis.
“Ada beberapa ancaman, ada yang ingin potong tenggorokan, ada yang melalui pesan telepon seluler, ada pula yang langsung. Saya selalu mengajak mereka datang ke Sekber untuk berdiskusi, daripada selalu ribut dan mengancam. “Tetapi mereka tidak pernah datang,” kata Winarso.
Winarso juga mengatakan, belum lama ini dirinya didatangi empat perwira menengah Mabes Polri di kantornya. Ia ditanyai beberapa hal secara detail mengenai seluruh kegiatan Sekretariat Gabungan, terutama tentang bagaimana fungsi organisasi dan siapa saja yang terlibat.
“Kami jelaskan kepada semua pihak bahwa organisasi ini bekerja untuk kepentingan sosial, bukan politik, dan kami bekerja sama dengan Komnas HAM dan LPSK,” lanjut Winarso.
Intimidasi dan pengawasan negara yang berlebihan juga dialami Lembaga Pelayanan Hukum Indonesia (LPH Yaphi) Yekti Angudi Piyadeging di Solo. Organisasi ini, seperti YLBHI, berupaya memberikan bantuan hukum kepada mereka yang membutuhkan – meskipun sebagian besar dari mereka adalah kelompok masyarakat kecil dan minoritas yang tidak mempunyai suara.
Misalnya saja kegiatan Yaphi mengumpulkan para penyintas di Boyolali yang didatangi aparat kepolisian dan Kesbangpol Jawa Tengah untuk mengusut kegiatan tersebut yang sebenarnya tak lebih dari berkumpulnya para lansia yang berdiskusi tentang nasibnya untuk menegaskan hak-haknya di masyarakat. sejak mereka menjadi tawanan pada masa Orde Baru. .
“Saat ada aktivitas di lapangan, kami sering diawasi dan dimata-matai. Teruskan. “Kami memperjuangkan kemanusiaan dan keadilan, mana yang salah,” kata sutradara Yaphi Haryati Panca Putri.
Yaphi berupaya membantu korban tragedi 65 melalui Kelompok Kerja Pengungkapan Kebenaran (KKPK). Lembaga ini juga melakukan advokasi dan pendampingan terhadap para penyintas yang telah diverifikasi Komnas HAM dan dihadirkan sebagai saksi di Pengadilan Rakyat Internasional (IPT) di Den Haag, Belanda.
Putri ikut mengkritik aksi pengepungan YLBHI, namun ia meyakinkan bahwa kejadian ini tidak akan menghentikan organisasi yang dipimpinnya untuk terus konsisten mendampingi dan membela 65 korban karena komitmen mereka adalah memberikan bantuan kepada kelompok lemah yang tertindas oleh kekuasaan dan ketidakadilan.
Di Solo, kota yang memiliki banyak organisasi massa garis keras, komunisme – dan juga Syiah – merupakan isu besar, yang dipandang sebagai ancaman serius terhadap agama dan negara. Bahkan ada kelompok yang menyatakan siap berjihad melawan kaum merah yang mereka yakini akan bangkit kembali.
Di berbagai sudut jalan mereka memasang spanduk peringatan kebangkitan PKI dan bahaya komunisme, terutama pada bulan September dan Oktober. Sejak pengepungan YLBHI, peringatan untuk mewaspadai bahaya komunis tidak hanya disampaikan di jalan-jalan, tetapi juga melalui khutbah Jumat. – Rappler.com
BACA JUGA: