Tiga pertanyaan yang belum terjawab tentang Supersemar
- keren989
- 0
JAKARTA, Indonesia – Jumat 11 Maret 2016 merupakan peringatan 51 tahun penyerahan Surat Perintah 11 Maret (Supersemar) dari Presiden Soekarno kepada Letjen Soeharto. Peristiwa yang terjadi setengah abad lalu itu masih menjadi tanda tanya karena Soeharto diduga tidak menggunakan surat itu sebagaimana mestinya.
Perintah 11 Maret juga meredupkan kekuasaan Sukarno sebagai orang nomor satu di Indonesia.
Berikut tiga pertanyaan yang masih menggantung tentang Supersemar dan belum terjawab:
1. Supersemar hilang?
Dokumen Perintah 11 Maret yang beredar dan dipelajari dalam buku sejarah diduga bukan dokumen asli. Sejarawan Baskara Tulus Wardaya dari Universitas Gadjah Mada juga meragukan keaslian dokumen tersebut.
Menurutnya, isi Supersemar bukanlah peralihan kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto seperti yang ada dalam kurikulum sejarah. Namun hanya kewenangan memulihkan ketertiban dan keamanan masyarakat. Perintah lain dalam surat itu adalah untuk melindungi presiden, seluruh anggota keluarga, pekerjaan dan ajarannya.
Akibat hal tersebut, Soekarno harus berpidato di depan publik untuk menjelaskan bahwa isi surat tersebut tidak boleh diteruskan, kata Baskara saat dihubungi melalui telepon, Jumat, 11 Maret.
Lalu di manakah letak Supersemar yang sebenarnya? Baskara mengatakan, dokumen tersebut tidak hilang melainkan sengaja dihilangkan. Ia mengatakan, jika dokumen itu hilang secara tidak sengaja, masih ada kemungkinan bisa ditemukan.
Namun hingga kini dokumen tersebut belum diketahui keberadaannya. Oleh karena itu, ia menduga ada niat untuk membuat dokumen tersebut sulit ditemukan.
“Supersemar merupakan dokumen negara dan bukan surat pribadi. Bagaimana bisa hilang? Apalagi ada beberapa jenderal yang menyaksikan penyerahan surat dari Soekarno kepada Soeharto. Jadi tidak bisa hilang,” kata Baskara.
Pertanyaan selanjutnya, lanjut Baskara, jika dokumen penting tersebut hilang, lalu mengapa muncul beberapa dokumen lain yang juga diklaim sebagai Supersemar.
2. Yang mana yang asli?
Munculnya beberapa dokumen yang mengaku Supersemar membuat bingung masyarakat. Dimana dokumen Supersemar yang sebenarnya?
Baskara mengatakan di berbagai buku ada beberapa salinan Supersemar yang ditandatangani Bung Karno. Masyarakat dapat melihatnya di Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), buku berjudul “30 Tahun Indonesia Merdeka” dan surat kabar harian Kompas terbitan tahun 1966.
Menariknya, ada dua versi dalam salinan Supersemar yang beredar. Supersemar pertama tebalnya satu halaman dan sisanya dua halaman. Keduanya ditandatangani Bung Karno dan isinya serupa, kata Baskara.
Jadi yang asli yang mana? Baskara menjelaskan, sulit membedakannya. Kompas Harian Edisi 26 Juni 2015 menulis bahwa mereka sengaja menerbitkan Supersemar pada 14 Maret 1966.
Di sana, Kompas juga mengakui isi Supersemar tidak memuat surat serah terima kekuasaan. Namun hanya surat perintah kepada Menteri/Panglima Letjen. Jenderal. Soeharto untuk memulihkan keamanan, ketenangan dan stabilitas dalam penyelenggaraan pemerintahan, serta menjamin keselamatan pribadi dan kewibawaan Presiden Soekarno.
Saat itu beredar kabar bahwa Sukarno menandatangani surat tersebut dengan senjata milik seorang jenderal Angkatan Darat. Namun rumor tersebut dibantah Pangdam Siliwangi Ibrahim Adjie.
“Jika salinan SP 11 Maret 1966 yang dimuat di Harian Kompas itu tidak asli, Presiden Soekarno pasti akan mempertanyakannya. Seperti yang dilakukan Presiden Soekarno saat mengutus Wakil Perdana Menteri II J. Leimena yang menilai Soeharto bertindak di luar batas kewenangannya sebagai pemegang SP pada 11 Maret 1966, tulis harian Kompas tahun lalu.
3. Bagaimana cara mengoreksi fakta sejarah?
Menurut Baskara, masyarakat harus mengetahui fakta sebenarnya di balik peristiwa Supersemar. Dia menyarankan hal ini dapat dilakukan dengan tiga cara. Pertama, mengadakan forum yang melibatkan masyarakat khususnya generasi muda untuk membicarakan peristiwa sejarah seperti Supersemar, namun dari sudut pandang yang berbeda.
Kedua, menulis buku yang berbeda dengan karya yang dihasilkan pada masa Orde Baru. Buku-buku tersebut sebaiknya juga dimasukkan ke dalam kurikulum agar siswa juga mengetahui fakta sejarah yang sebenarnya.
Cara menelusuri fakta sejarah, kata dosen sejarah Universitas Sanata Darma itu, bisa dilakukan dengan melihat kembali arsip-arsip Indonesia yang tersebar di luar negeri. Ia bahkan terbang ke Amerika Serikat untuk melihat-lihat arsip.
Salah satu dokumen yang dapat dijadikan bukti sejarah adalah laporan kabel diplomatik Kedutaan Besar AS di Jakarta ke Washington pada tahun 1966. Dokumen ini dulunya dirahasiakan, namun kini bisa diakses oleh masyarakat, kata Baskara.
Cara lain adalah dengan melihat surat kabar terbitan tahun 1966. Masyarakat bisa melihat bagaimana mereka menulis tentang acara tersebut.
Ketiga, dengan menempatkan sejarah Indonesia pasca tahun 1945 dalam konteks internasional. Artinya, peristiwa sejarah yang terjadi di Indonesia seperti Supersemar tidak lepas dari konteks perang dingin yang masih berlangsung saat itu.
“Saat itu terjadi konflik antara kubu sosialis dan kapitalis. Pihak asing tidak menyukai kehadiran Sukarno karena ia begitu dominan dalam kepemimpinan Indonesia. Jadi, mereka berpikir sebaiknya menggantinya dengan sosok lain yang bisa dikendalikan, kata Baskara. -Rappler.com
BACA JUGA: