Petualangan 3 tahun Jaka Parker dan keluarga di Korea Utara
- keren989
- 0
JAKARTA, Indonesia—Korea Utara merupakan salah satu negara paling tertutup di dunia. Itulah mengapa cerita tentang bagaimana masyarakat tinggal di sana sangat menarik.
Rappler berkesempatan berbincang dengan Jaka Parker, warga negara Indonesia yang tinggal di Pyongyang, ibu kota Korea Utara, bersama keluarganya selama lebih dari 3 tahun dan baru kembali ke Indonesia pada awal Maret 2016.
Bagaimana kesan Jaka terhadap masyarakat Korea Utara? Apa yang unik dari negara di bawah kepemimpinan Kim Jong Un? Bagaimana hubungan Jaka dengan keluarganya di Indonesia?
Berikut hasil perbincangan Rappler dengan Jaka Parker pada Minggu, 3 April:
Awal petualangan di Korea Utara
Pada tahun 2012, istri saya diminta oleh kantornya untuk bekerja di Korea Utara. Saat itu saya khawatir karena istri saya sedang hamil 4 bulan. Akhirnya aku menemaninya.
Pemrosesan visa tidaklah mudah. Karena proses pengajuan visa masih manual, proses yang seharusnya selesai dalam waktu dua minggu, baru selesai satu bulan kemudian.
Ada juga masalah ketika kami memproses visa untuk pengasuh anak karena dia adalah anggota keluarga tambahan. Meski melalui proses yang panjang, kami akhirnya sampai di Korea Utara pada akhir tahun 2012 dan memulai petualangan kami.
Satu bulan sebelum kelahiran anak kami, tepatnya pada bulan Maret 2013, terjadi ketegangan antara Korea Utara dan Korea Selatan akibat latihan militer Korea Selatan dengan Amerika Serikat. Saat itu, banyak anggota keluarga diplomat yang meninggalkan Korea Utara untuk sementara hingga kondisi di Semenanjung Korea lebih kondusif.
Namun, karena istri saya sedang hamil besar saat itu, kami memutuskan untuk tetap tinggal di Pyongyang. Untungnya, perang tidak terjadi saat itu dan anak kami lahir dengan sehat pada bulan April 2013.
Kegiatan sehari-hari
Karena saya pergi ke Korea Utara untuk menemani istri saya, pada awalnya saya tidak mempunyai pekerjaan tetap. Terkadang saya diminta menjadi petugas dokumentasi acara di kantor Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Pyongyang.
Dari situlah saya mengenal beberapa orang dan akhirnya saya sering diminta berfoto di berbagai acara di Korea Utara. Saya kemudian menjual foto-foto itu dan mendapat penghasilan yang lumayan. Selain itu, saya rutin dihubungi oleh beberapa kantor berita internasional seperti Reuters, NK News, dan lain-lainmemasok gambar korea utara.
Kehidupan sehari-hari di Korea Utara berjalan seperti biasa. Saya dan keluarga, terutama istri, tidak pernah mengalami perlakuan diskriminatif dari masyarakat setempat. Hanya saja, saat musim panas tiba, istri saya kerap mendapat tatapan tajam dari warga karena berhijab. Mereka pasti bingung kenapa ada orang yang menutup kepala saat cuaca panas. Tapi sebaliknya istri saya selalu mendapat perawatan normal.
Setiap hari Jumat saya juga bisa dengan nyaman menunaikan salat Jumat di masjid kompleks kedutaan Iran. Begitu pula ketika Idul Fitri tiba. Umat Muslim di Pyongyang bisa beribadah dengan tenang.
Jumlah masyarakat Indonesia saat ini sekitar 35 orang, termasuk anak-anak kecil. Ada WNI yang tinggal di sana karena menikah dengan WN Korea Utara, ada juga yang bekerja dan belajar di sana.
Anak pertama saya masuk taman kanak-kanak pada bulan April 2015. Meskipun orang asing diperbolehkan menyekolahkan anaknya ke sekolah negeri, saya dan istri memutuskan untuk menyekolahkannya ke sekolah internasional bersama orang asing lainnya.
Di sekolah ini, meskipun bahasa Inggris digunakan sebagai bahasa pengantar, namun seluruh staf pengajarnya adalah warga sekitar. Dua minggu pertama saya tiba-tiba mendengar anak kami menyanyikan lagu memuji pemimpin besar Korea Utara. Kami juga menyadari bahwa doktrin yang diberikan pemerintah daerah diterapkan kepada warganya, bahkan sejak kecil.
Orang asing juga mendapatkan fasilitas internet gratis di tempat tertentu. Kita bahkan bisa mengakses Facebook, Twitter dan Instagram dengan mudah. Saya juga lancar berkomunikasi melalui Skype dengan keluarga saya di Indonesia.
Namun, penduduk setempat hanya memiliki jaringan intranet-mereka hanya dapat membuka situs berita yang ditentukan oleh pemerintahnya. Bahkan mahasiswa di universitas hanya diperbolehkan mengakses Internet dalam waktu singkat dan dibatasi pada situs web yang ditentukan oleh staf pengajar.
Saat bepergian ke luar kota, setiap warga negara asing wajib mendapat izin terlebih dahulu dari Kementerian Luar Negeri Korea Utara. Setiap kelompok juga harus membawa setidaknya satu warga negara Korea Utara untuk perjalanan tersebut, baik itu siapa pun memandu, sopir atau pengasuh bayi. Orang asing tidak diperbolehkan meninggalkan Pyongyang tanpa mendaftar terlebih dahulu, meski hanya sekedar berjalan-jalan.
Terbatasnya interaksi dengan masyarakat lokal
Lokasi tempat kami tinggal merupakan kompleks khusus bagi orang asing. Meski letaknya dekat dengan pemukiman warga sekitar, namun dipisahkan oleh tembok setinggi 1,5 meter yang dilengkapi kabel listrik dan CCTV 24 jam. Oleh karena itu, interaksi dengan masyarakat lokal menjadi terbatas.
Untuk belanja kebutuhan sehari-hari, orang asing hanya boleh berbelanja di satu pasar yang letaknya sekitar 5 kilometer dari tempat tinggal kami, padahal di Pyongyang banyak sekali pasarnya. Jika ingin membeli barang yang lebih praktis, orang asing juga bisa membeli di supermarket, namun ada bagian khusus untuk orang asing dengan harga lebih mahal. Kebutuhan sehari-hari masyarakat setempat disubsidi oleh negara.
Meskipun masyarakat lokal menerima pelajaran bahasa Inggris, namun sebagian besar dari mereka takut untuk berkomunikasi langsung dengan orang asing. Ada seorang anak kecil yang pernah mendatangi kami dan berkata:Halo”, tapi setelah itu dia langsung kabur.
Kesan Korea Utara
Jika dilihat, masyarakat Korea Utara cenderung konservatif. Terlihat pada foto-foto yang beredar, pakaian yang dikenakan pun terlihat kuno. Di musim panas, wanita mengenakan rok yang selalu berada di bawah lutut.
Walaupun ada barang-barang mewah seperti mobil Audi, Mercedes Benz, bahkan jam tangan Rolex, namun barang-barang tersebut hanya bisa dibeli oleh orang-orang kaya yang berdasarkan pengamatan saya adalah anggota partai atau keluarganya.
Namun masyarakat setempat, menurut saya, masih sangat menghormati mereka. Jika ada mobil berpelat berawalan angka 7, maka petugas keamanan di jalan akan langsung menghormatinya. Ini adalah tanda kendaraan milik anggota partai.
Tapi saya tidak tahu apakah mereka benar-benar mencintai negara dan para pemimpinnya, atau hanya takut dengan konsekuensi yang akan mereka hadapi jika tidak tunduk pada rezim. —Rappler.com
BACA JUGA: