Dari kanvas berbicara hingga aplikasi obrolan, festival arsip memamerkan karya seniman
- keren989
- 0
YOGYAKARTA, Indonesia – Puluhan seniman mengikuti festival Arsip Seni Rupa Indonesia (IVAA) 2017 yang berlangsung di Gedung Pusat Kebudayaan Kusnadi Hardjasuemantri (PKKH). di Universitas Gadjah Mada (UGM).
Festival bertajuk Kuasa Ingatan ini dibuka pada 19 September dan akan ditutup pada 1 Oktober 2017.
Banyak sekali stand yang bercerita tentang sejarah seni rupa di Indonesia, politik yang melibatkan negara, seniman dan pasar, dan juga tentang perbincangan atau perbincangan. mengobrol di media sosial dalam bingkai arsip.
Pameran ini mengajak pengunjung untuk tertarik pada arsip-arsip yang disajikan dalam bentuk interaktif, seperti kanvas dan cat kelng dengan bantuan sensor gerak, film analog, cat, bahkan desain ruangan dengan bantuan berbagai dekorasi yang disediakan.
“Pameran ini merupakan pameran pertama yang bertujuan untuk memamerkan arsip-arsip dalam bentuk yang mudah dikonsumsi oleh masyarakat,” kata Arga Aditya, Asisten Direktur Artistik Pameran Arsip pada Sabtu, 23 September 2017. dikatakan.
Pameran ini terbagi dalam tiga tema, yaitu estetika dan retorika, kekeluargaan dan pasar, serta seni antara negara dan masyarakat.
Tema estetika dan retorika banyak menampilkan wacana dan retorika masa lalu yang dianggap membentuk dan mempengaruhi wacana seni saat ini. Misalnya saja karya Uma Guma pada kanvas, kaleng cat, dan pembungkus yang memanfaatkan sensor bergerak. Ada sekitar 20 kaleng cat berwarna yang berisi rekaman pidato para mantan seniman atau kritikus seni Indonesia saat disikat. Hal yang sama terjadi ketika kanvas digores dengan kuas.
Sedangkan di kios Yusuf Ismail terdapat kursi dan meja kosong serta proyektor yang kemudian menampilkan foto Yusuf mengobrol sepanjang hari menggunakan berbagai aplikasi mengobrol di media sosial.
Karya Hafiz Rancajale lainnya berupa enam layar televisi yang menampilkan rekaman suara grafis tokoh-tokoh seperti DAPeransi, Toeti Herati, Oesman Efendi, Jim Supangkat, Sudjojono, dan Sanento Yuliman.
“Yusuf Ismail sepertinya mempertanyakan di mana letak perbincangan seorang seniman dalam proses membangun estetika dalam karirnya. Sementara Rancajale mengatakan dampak perdebatan seni rupa di masa lalu masih terasa hingga saat ini, meski pidatonya tidak didengarkan oleh masyarakat saat ini, retorikanya hingga saat ini belum sepenuhnya diperdebatkan, lanjut Arga Aditya.
Mengangkat tema kekerabatan dan pasar, sejumlah seniman angkat bicara mengenai hak milik yang menjadi bahan perdebatan antara seniman dan perajin. Banyak perajin yang menghasilkan lukisan yang kemudian dengan sengaja diklaim sebagai milik seniman lain yang sudah mempunyai pasar atau pemilik proyek.
Melalui kios hasil kolaborasi Bambang “Toko” Witjaksono dan Uji Handoko, pengunjung diajak untuk terlibat dalam kegiatan membuat sketsa atau melukis sebagai respons terhadap karya Bambang dan Handoko di kios tersebut. Seluruh lukisan tersebut akan dilelang pada 30 September menyusul diskusi publik mengenai kontroversi hak kepemilikan lukisan oleh pengunjung yang ditandatangani oleh Bambang dan muridnya, Handoko.
“Warung ini bercerita tentang pengaruh kekerabatan guru dan siswa dalam karya seninya. Bahwa ada pengaruh diantaranya berupa kemasan ide dan pola. Selanjutnya kita akan bertanya mengenai praktik hukum harta benda yang sering dilakukan antara seniman dan perajin. Pembicaraan ini akan melibatkan masyarakat karena pembahasan mengenai hak milik masih menjadi rahasia umum di kalangan seniman selama ini, jelasnya.
Ada juga tema ini proyek kekerabatan membentuk basis data seniman-seniman di Indonesia seperti karya-karyanya, gerakan-gerakannya dan rekan kolaborasinya selama berkarya.
Sementara itu, lapak Andri William berupaya mengusut perdagangan lukisan klasik di lapak online, melalui narasi yang disusun para penjual.
“Perdebatan nyata atau tidaknya sebuah lukisan tidak pernah terselesaikan antara seniman dan karya seni. Andri memaparkan bagaimana pedagang online menjual karya seni bernama menguasai. “Mereka tidak berjualan seperti artis dan kritikus, tapi menggunakan cara mistis, warisan atau pengalaman pribadi,” kata Arga.
Tema seni antar negara dan masyarakat diisi dengan sejumlah stand menarik. Seperti lapak komunitas Lab Laba-Laba Jakarta yang meneliti Asosiasi Pengusaha Layar Tancap Jabodetabek. Di dalamnya berisi gulungan pita film analog, poster film lama, dan proyektor analog. Terdapat pula artefak mengenai sensor pemerintah dan sensor komunitas yang dapat dilihat dari area pemutaran film.
“Pengusaha juga menyensor sesuai selera khalayak. Misalnya filmnya sama, tapi durasinya mungkin berbeda. “Di Depok misalnya, lebih banyak adegan lari, sedangkan di Bekasi lebih banyak adegan ciuman,” jelasnya.
Ada pula kerjasama antara komunitas kajian musik Laras dengan komunitas seni rupa, Club Etsa. Hasilnya adalah stand kamar remaja berupa miniatur kamar remaja berusia 17 tahun dengan berbagai desain yang berkaitan dengan karya musik tahun 1940 hingga 2016.
Ada poster-poster seperti musisi jaman dulu Serangga ke raja dangdut Roma Irama, kaset Chrisye hingga CD Payung Teduh, atau pemutar lagu sejenisnya putar meja hingga iPod dan pemutar Mp3 serta berbagai majalah dan kliping tentang musik dari berbagai era.
“Di sini pengunjung bisa mendesain sendiri ruangan ini berdasarkan ingatan mereka terhadap musik saat berusia 17 tahun. “Setiap pengunjung bisa mendesain selama 30 menit,” kata Arga.
Ada pula lukisan berbahan plastik bernama Plastikologi milik Made Bayak dari Bali. Karyanya mendokumentasikan dampak pariwisata Bali terhadap sampah plastik yang mempengaruhi kehidupan sehari-hari warganya. Juga instalasi kritis terkait reklamasi Teluk Benoa. Artis Lasitha Situmorang mempersembahkan proyek distrik merah tentang kampung Sosrowidjayan atau Jalan Pasar Kembang yang menggambarkan dikotomi antara kampung yang banyak dianggap sebagai kawasan prostitusi dan upaya mengikis kesenjangan diskriminasi antara pekerja seks dan warga non-PS.
“Lasitha berkomunikasi dengan bantuan media boneka marionette Dan film. “Bahwa warga di Sarkem tidak semua PS dan PS dan non PS itu sama, hanya bakti sosial saja yang membedakan,” ujarnya.
Untuk memahami informasi ini, pengunjung akan menemukan ringkasan katalog seniman yang terlibat, rencana dan agenda selama pameran. Pengunjung juga bisa mendapatkan informasi langsung dari para relawan yang ada di booth masing-masing seniman. – Rappler.com