Mencari cara untuk menghidupkan kembali harapan olahraga Indonesia
- keren989
- 0
Jakarta, Indonesia – “Mengingat kegagalan memenuhi target yang memicu perdebatan, diskusi dan tekanan dari masyarakat, kami meminta maaf dan tentunya akan mengambil tindakan besar.”. Demikian pernyataan Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrawi akhir Agustus lalu saat menggelar jumpa pers soal penyebab performa atlet timnas di SEA Games mengalami penurunan drastis.
Selama dua pekan yang digelar di Kuala Lumpur, tim Merah Putih hanya membawa 38 medali emas. Jauh sekali dari target yang dipatok Satlak Prima yakni 55 medali emas.
Imam menyalahkan masalah anggaran klasik. Selain jumlah anggaran yang terbatas, dia mengatakan prosedur birokrasi penggunaan anggaran menyebabkan mereka akhirnya menggunakan sistem kompensasi. Artinya, para atlet menggunakan dana pribadi untuk membayar akomodasi dan uang saku, dan kemudian diganti oleh Kementerian Pemuda dan Olahraga.
Politisi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) itu berdalih kementeriannya harus melalui proses birokrasi tersebut karena tak ingin ada pejabat pemerintah yang berakhir di ruang tahanan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sementara itu, Ketua Satuan Pelaksana Program Emas Indonesia (Satlak Prima) Ahmad Sutjipto menjelaskan, tudingan kecurangan yang dilakukan tuan rumah Malaysia juga turut andil dalam menurunnya performa tim Merah Putih.
Tapi apa yang bisa saya katakan, itu semua terjadi. Masyarakat tidak percaya dengan penjelasan Imam. Bahkan, mereka mendesak Imam segera mundur dari jabatan Menpora.
Presiden Joko “Jokowi” Widodo pun mengungkapkan kekecewaannya saat Imam memberitakan hal tersebut. Mantan Gubernur DKI ini sebenarnya punya harapan besar agar tim Merah Putih bisa menjadi juara umum. Sayangnya, tuan rumah justru merebut gelar juara umum SEA Games 2017 dengan meraih 145 medali emas.
Akar masalahnya
Lantas, apakah publik terkejut dengan penampilan tersebut? Bagi sebagian orang, tak heran jika performa timnas di internasional semakin menurun. Faktanya, proses regenerasi atlet terkesan lambat.
Salah satu yang mengaku tak kaget adalah jurnalis senior Suryopratomo. Pria yang sudah 20 tahun menulis tentang olahraga ini mengatakan, sejak awal target juara umum yang dicanangkan Jokowi tidak realistis.
Mengapa? Sebab sejak awal pemerintah tidak pernah memperhatikan sektor olahraga. Perhatian ini semakin berkurang setelah tahun 1997 hingga sekarang.
Pria yang akrab disapa Tommy ini menilai pemerintah tidak melihat sektor olahraga sebagai investasi jangka panjang, melainkan sebuah proyek secara umum yang bisa memberikan manfaat besar.
“Kita lupa bahwa pembinaan olahraga adalah proses yang panjang. “Tidak ada yang cepat dalam pembinaan olahraga,” kata Tommy yang ditemui beberapa waktu lalu di sebuah restoran di kawasan Jakarta Pusat.
Secara sederhana, Tommy menggambarkan pemerintah tidak memilikinya cetak biru Kemana arah olahraga nasional ini? Ia kemudian memberikan lima resep untuk menghidupkan kembali olahraga di Indonesia.
Pertamaanggaran yang memadai, Kedua komitmen dan kemauan total, ketiga Pendidikan karakter, keempat sarana dan prasarana, kelima pelatih yang berkualitas, dan terakhir uji coba untuk mengasah atlet kemampuan.
Tommy menjelaskan, permasalahan anggaran tidak bisa dianggap sepele. Sebab itu menjadi salah satu pemicu peningkatan prestasi timnas.
Di mata sebagian besar negara, termasuk Amerika Serikat, yang memandang olahraga sebagai investasi jangka panjang akan menyiapkan anggaran besar. Namun anggaran tersebut tidak selalu harus berasal dari uang rakyat atau APBN.
Tommy mengusulkan solusinya, pemerintah bisa menggandeng swasta untuk ikut terlibat dalam pengembangan olahraga nasional. Hal ini telah diterapkan oleh beberapa perusahaan di Jepang yang berpartisipasi dalam pendanaan berbagai klub sepak bola.
“Karena keterlibatan korporasi itulah yang membuat sistem pembinaannya berjalan. Mengapa mereka mau? “Karena dianggap pajak yang dipotong karena kita melakukan program CSR,” ujarnya.
Hal berbeda justru terjadi di Indonesia. APBN, kata Tommy, hanya dijadikan satu-satunya sumber dana pengembangan olahraga dan tidak pernah memperbolehkan perusahaan ikut terlibat.
Sehingga menjadi ironi ketika para atlet sudah siap bertanding namun masih harus memikirkan anggaran yang belum keluar. Padahal, selama berlaga di Kuala Lumpur, tidak ada satupun atlet yang hidup dalam kemewahan.
“Mereka datang saja, bertanding lalu istirahat. Oleh karena itu sangat disayangkan ada sistem anggaran yang tidak berpihak pada pencapaian capaian tersebut, ujarnya.
Lalu bagaimana dengan faktor tuan rumah yang sering disebut-sebut sebagai faktor pendukung Indonesia gagal meraih medali emas? Menurut Tommy, dampaknya tidak terlalu besar.
Para atlet sudah memahami bahwa Malaysia mempunyai keistimewaan tersendiri dengan menjadi tuan rumah. Apalagi, Negeri Jiran menjadikan SEA Games tak hanya sebagai ajang olahraga di kawasan Asia Tenggara. Kesempatan ini pun mereka manfaatkan untuk mempersatukan warganya yang terpecah karena persoalan perbedaan ras.
“Malaysia dari awal sudah merancangnya agar pertandingan di hari pertama menjadi cabang olahraga yang memungkinkan Malaysia menjadi juara. Mengapa? Sebab, jika atlet Malaysia menjadi juara sejak awal, maka akan menjadi pemicu bagi atlet-atletnya yang lain untuk tampil lebih baik lagi, ujarnya.
Bahkan, saat Korea Selatan menjadi tuan rumah Asian Games 1986, mereka berhasil menyapu bersih 12 medali emas di cabang tinju. Ini sejarah karena belum pernah terjadi sebelumnya.
Namun, tidak ada satu pun atlet baik dari Tiongkok maupun Jepang yang memprotes hal tersebut.
“Mereka menganggap itu hal biasa. Yang harus dikejar justru kemampuan atletnya. Sebab, kalau kemampuannya sudah di atas, maka kecurangan apapun yang diinginkan wasit tidak akan ada pengaruhnya, ujarnya.
Ia juga meminta pemerintah berhenti mencari kambing hitam dari luar dan introspeksi ke dalam untuk melakukan perombakan total.
Citra Indonesia di Asian Games 2018
Penampilan Indonesia di SEA Games jelas meresahkan masyarakat, hal ini juga berkaca pada saat menjadi tuan rumah Asian Games 2018. Mau tidak mau, pemerintah perlu berbenah karena saat Asian Games digelar, akan ada 44 negara lain yang ikut serta. Sebagian besar negara-negara tersebut merupakan negara raksasa dengan kualitas pembangunan olahraga yang lebih maju.
Tommy menyarankan agar pemerintah segera melakukan kajian menyeluruh terhadap sektor olahraga.
“Berhentilah menggunakan pendekatan pembinaan olahraga hanya dari segi ekonomi. Misalnya, seluruh fasilitas di Senayan harus menghasilkan pendapatan bukan pajak. “Kalau terus dipakai maka olahraga di Indonesia tidak akan pernah maju,” antusias Tommy.
Indonesia bisa menilik kembali cara-cara yang dilakukan Bung Karno saat Indonesia menjadi tuan rumah Asian Games tahun 1962. Saat itu, Indonesia tidak hanya menjadi tuan rumah, namun menjadi etalase dunia pasca kemerdekaan sejak tahun 1945.
Apalagi saat itu Indonesia berhasil menjadi penerus dalam meraih medali. Artinya, Indonesia pernah menjadi Macan Asia yang disegani negara lain.
“Jadi apa yang diinginkan pemerintah sekarang? Bagaimana Anda ingin melihat Asian Games? Apakah ini hanya proyek biasa atau malah dijadikan pamer kesuksesan Indonesia? Tapi dalam hal apa? Apakah itu tentang pembangunan ekonomi, manajemen atau apa?” dia berkata.
Tommy berharap jika pemerintah bisa melihat Asian Games lebih dari sekedar ajang olahraga, maka uang tidak lagi menjadi faktor yang perlu dikhawatirkan. Sebab, jika anggaran kembali terbatas, apa yang ingin ditunjukkan Indonesia kepada dunia internasional? – Rappler.com