Ke mana Simposium Nasional ’65 akan mengarah?
- keren989
- 0
JAKARTA, Indonesia—Untuk pertama kalinya sejak tragedi 1965, simposium nasional membahas luka yang dibiarkan tertutup selama 50 tahun akan digelar pada 18-19 April di Jakarta.
Juga untuk pertama kalinya, pelaku dan korban akan dipertemukan, dengan mediator: Pemerintah.
Tapi siapa pelakunya dan siapa korbannya?
Agus Widjojo, Ketua Panitia Pengarah Simposium, mengatakan panitia berusaha mendatangkan tokoh-tokoh dari pihak-pihak yang terlibat, seperti TNI dan mantan anggota PKI yang menjadi tahanan politik.
Sayangnya, nama-nama pihak yang diundang belum bisa dipublikasikan.
Dari pembekalan yang diterima Rappler, acara tersebut melibatkan Dewan Pertimbangan Presiden, Komnas HAM, Dewan Pers Indonesia, UIN Sunan Kalijaga, Fakultas Ilmu Sosial Universitas Gadjah Mada dan Universitas Udayana, Pusat Kajian Demokrasi dan HAM. Universitas Sanata Dharma, Pusat Studi HAM Universitas. Islam Indonesia, Lembaga Perdamaian dan Demokrasi, dan Forum Majelis Anak Bangsa.
Arsitek acara ini adalah ketua Watimpres Sidarto Danusubroto. Eks perwira polisi dan politikus PDI Perjuangan ini berhasil mengajak psikolog Universitas Katolik Atma Jaya Nani Nurachman, yang juga putri almarhum Mayjen Anumerta Sutojo yang tewas dalam tragedi 1965, menjadi salah satu yang menjadi pengurus. komite.
Lalu apa tujuan dari acara ini? Dalam menulis ada tiga tujuan:
- Menempatkan tragedi 1965 secara adil dan proporsional dalam sejarah bangsa Indonesia dengan menelusuri signifikansinya dan menimbang implikasinya dalam berbagai aspek kehidupan bangsa.
- Mendiskusikan makna dan tatanan negara baru secara reflektif, berdasarkan pembelajaran dari peristiwa kekerasan dan pelanggaran HAM sebelumnya, khususnya tragedi 1965.
- Menghasilkan rekomendasi kepada pemerintah untuk menyelesaikan secara komprehensif kasus-kasus pelanggaran HAM berat dalam tragedi kemanusiaan 1965 (konsep restitusi korban, rehabilitasi korban dan lain-lain).
Agus menambahkan, tujuan simposium bukan untuk mencari siapa yang salah atau siapa yang benar, tetapi untuk mengetahui akar penyebab mengapa sesama orang Indonesia saling bunuh saat itu.
“Ini untuk memastikan bahwa peristiwa di masa depan tidak terulang kembali. memaafkan tetapi tidak melupakan. Kami menerima apa yang terjadi,” ujarnya saat memberikan keterangan pers, Rabu, 13 April 2018, di Gedung Dewan Pers.
Apakah ini berarti bahwa kebenaran tidak diberitahukan? Agus tidak memberikan jawaban tegas, namun menurutnya simposium ini akan mengoreksi niat rekonsiliasi yang digaungkan pemerintah sebelumnya.
“Banyak pihak yang curiga dengan rekonsiliasi ini, simposium ini merupakan pencerahan bagi masyarakat tentang gagasan rekonsiliasi, bukan untuk membenarkan siapa yang benar dan siapa yang salah, tetapi untuk kepentingan bangsa, untuk mengetahui apa yang menjadi kepentingan bangsa. kesalahan,” katanya.
Bagaimana kalau mengatakan yang sebenarnya?
Nur Kholis dari Komnas HAM, yang juga anggota panitia percontohan, mengatakan simposium itu merupakan upaya terpisah dari penyelidikan yang dilakukan Komnas HAM bersama Kejaksaan Agung dalam rangka mengungkap kebenaran melalui jalur hukum. Namun hasil simposium ini bisa dijadikan acuan untuk menentukan nasib temuan Komnas HAM.
“Kami sendiri tidak mengatakan hasil investigasi Komnas HAM secara linier melacak sendiri, bagian tersendiri, tapi (hasil investigasi) bergantung pada (hasil) simposium,” ujarnya.
Meski tidak semua saksi bisa dihadirkan dalam temuan Komnas HAM, karena hanya 200 orang yang diundang, kesaksian Komnas HAM juga akan dibahas dalam simposium.
“Kami sangat mendukung itu, mudah-mudahan simposium ini bisa mengkomunikasikan itu,” ujarnya. Apalagi dua kelompok yang sangat bertolak belakang bisa hadir dalam satu arena.
“Ini proses yang harus dilalui bangsa ini,” kata Nur Kholis.
Namun, tidak semua orang senang dengan simposium tersebut. Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Haris Azhar mengaku sudah membacanya Jangka waktu referensi (TOR) acara tersebut.
Dia menyimpulkan bahwa tidak ada konfirmasi kebenaran atau tujuan strategis dalam simposium tersebut. “Saya sudah melihat sampai akhir, tidak ada solusi,” katanya.
Ia justru mempertanyakan bedanya penyelenggaraan simposium dan seminar tentang pembantaian 1965. “Sudah banyak seminar akademik,” katanya.
Pernyataan Haris diamini oleh Direktur Eksekutif Human Rights Watch Indonesia, Kenneth Roth, yang mengatakan mengungkapkan kebenaran itu penting, bukan sekadar simposium.
Ia bahkan bertemu saat makan malam dengan Sidarto van Watimpres agar klausul pengungkapan kebenaran ini bisa menjadi tujuan akhir.
Namun hingga acara makan malam berakhir, Roth mengaku tidak mengetahui apa rencana di balik simposium ini, atau apa hasil akhir yang diinginkan pemerintah. Masih gelap.
Sedangkan jika dideteksi dari TOR event yang diperoleh Rappler, maka hal-hal berikut akan dibahas dalam simposium tersebut:
- Apa sifat dan latar belakang tragedi 1965?
- Dinamika sosial, psikologis, dan antropologis apa yang terjadi sehingga masyarakat di berbagai daerah dapat melakukan pembunuhan besar-besaran dalam waktu singkat?
- Unsur politik apa dalam kehidupan bangsa yang menyebabkan tragedi 1965?
- Apa yang terjadi di tingkat politik dan negara sehingga terjadi penyalahgunaan wewenang yang berujung pada tragedi 1965?
- Apa dan bagaimana pengaruhnya terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara?
- Bagaimana para korban atau penyintas dan keluarganya, didukung para pendamping dan aktivis HAM serta berbagai organisasi masyarakat sipil, merawat kenangan, memperjuangkan hak dan menyembuhkan luka yang diderita?
- Bagaimana cara berdamai dengan masa lalu oleh generasi yang mengalami peristiwa tersebut?
- Bagaimana generasi yang tidak mengalami peristiwa ini mencoba memahami dan merekonstruksi memori kolektifnya tentang sejarah bangsa berdasarkan sumber-sumber pengetahuan yang tersedia, yang sejak lama sangat terbatas, baik dari segi kuantitas maupun konten?
Terkait pernyataan Haris, Sidarto mengatakan: “Memang sepertinya kami disini bertekad untuk memberikan kontribusi, semoga ada keluaranSaya pribadi berharap ada payung hukum,” dia berkata.
“Kita berharap ada output sehingga tidak ada lagi yang selama ini kita sebut dosa asal. Kapan masalah ini akan diselesaikan? Jangan sampai anak cucu kita menderita karena ini,” katanya.
“Hutang sejarah ini harus diselesaikan!” katanya lagi.
Adapun pengungkapan kebenaran, menurut Sidarto, harus melalui komisi kebenaran dan rekonsiliasi, namun sayangnya undang-undang tersebut telah dicabut.
UU KKR dinyatakan batal demi hukum berdasarkan keputusan Mahkamah Konstitusi. Undang-undang tersebut dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat karena bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sehingga harus diganti dengan undang-undang yang baru.
‘Pendamaian Pribadi’
Sementara itu, psikolog Nani mengatakan bahwa simposium ini lebih merupakan upaya untuk mempertemukan secara psikologis dan psikologis pihak-pihak yang ‘bertikai’ selama ini.
“Kami tidak menilai orang sebagai salah atau benar. Tapi kami memahami anatomi kekerasan yang terjadi,” katanya.
Simposium tersebut akan membahas tentang kegelisahan masyarakat selama ini terhadap tragedi 1965.
Untuk itu, selain sebagai ajang penyatuan kembali para korban dan dialog dengan para pelaku, simposium ini juga dapat menjadi ajang rekonsiliasi pribadi bagi setiap peserta.
Apakah ini berarti tragedi 1965 akan berakhir dengan ‘damai’? Agus dari panitia percontohan pun menjawab. “Kami melepaskan apa yang terjadi, jadi kami tidak tersandung batu yang sama, seperti keledai, itulah yang kami cari,” katanya.
“Agar generasi kita yang terlibat langsung dalam tragedi 1965 bisa menyelesaikan masalah ini dan berdamai dengan masa lalu, untuk kemudian diwariskan kepada generasi berikutnya. Agar generasi penerus tidak terbelenggu,” pungkas Agus mengakhiri keterangannya saat jumpa pers. —Rappler.com
BACA JUGA