• October 12, 2024

Merayakan Tahun Baru Imlek di Solo: Mengubur Luka Mei 1998

SOLO, Indonesia – Sumartono Hadinoto (60 tahun) masih teringat segar akan tragedi 18 tahun lalu yang nyaris kehilangan nyawanya. Meski selamat, ia mengalami depresi mental yang membutuhkan waktu lama untuk pulih dari trauma tersebut.

Pabrik aluminium dan rumahnya dirusak dan dijarah massa. Dia bergegas menyelamatkan diri dan merangkak melalui lubang di dinding rumahnya. Dia selamat, namun usahanya sia-sia dalam sekejap.

Sumartono atau Khoe Liong Hauw adalah seorang keturunan Tionghoa yang menjadi korban kerusuhan Mei 1998, tragedi yang meluluhlantahkan Solo, melumpuhkan perekonomian, dan mengobarkan sentimen antaretnis. Kelompok minoritas Tionghoa di Solo menjadi sasaran amukan dan kekerasan massa yang memakan korban jiwa.

Inflasi gila-gilaan yang menyebabkan jatuhnya Soeharto dimanfaatkan oleh para provokator untuk mengejek etnis Tionghoa – yang menguasai perdagangan – sebagai penyebab kenaikan harga dan kelangkaan barang. Massa terhasut, kemarahan mereka tersulut. Solo kacau.

Kota Solo dikepung asap hitam selama tiga hari. Supermarket, pusat perbelanjaan, pedagang, hingga toko-toko dijarah dan dibakar oleh massa yang melakukan kekerasan. Mobil-mobil di jalan terbalik dan terbakar. Perempuan muda etnis Tionghoa menjadi sasaran pemerkosaan massal dan kekerasan seksual.

Tidak ada pencegahan. Perangkat hanya melihat dan tidak mempunyai kekuatan untuk bertindak. Solo, kota kecil yang dikelilingi markas tentara dan pasukan elite, seakan dibiarkan “terbakar”.

Kerusuhan tersebut menimbulkan kerugian mulai dari hancurnya toko kelontong di pedesaan hingga bioskop terbesar di Indonesia saat itu. Sekitar 16.000 orang kehilangan pekerjaan. Ratusan orang dilaporkan hilang dan meninggal dunia sebagai korban kebakaran dan pemerkosaan – sebuah pelanggaran HAM berat yang kasusnya belum terselesaikan.

Setiap rumah dan toko milik etnis Tionghoa di Solo dicat dengan tulisan besar “Pribumi” untuk mencegah vandalisme. Namun masih banyak di antaranya yang dijarah. Etnis Tionghoa semakin tidak mempercayai orang Jawa dan selalu memandang mereka dengan curiga. Memperkuat stigma dan prasangka antaretnis sehingga menimbulkan penghinaan terkait SARA.

Lebih dari satu dekade kemudian, trauma Sumartono pun hilang. Ia tidak menyimpan dendam karena ia yakin kerusuhan yang terjadi bukan disebabkan oleh kebencian antaretnis, melainkan gejolak politik.

“Biarkan cerita itu menjadi sejarah. Semua korban melakukannya pindah karena ratapan tidak akan mengembalikan semua yang hilang. Yang terpenting tragedi ini tidak terulang lagi, kata Sumartono.

Sumartono memilih mengabdikan hidupnya untuk urusan sosial, kemanusiaan, dan budaya di Kota Solo dan sekitarnya dibandingkan hanya fokus pada aktivitas bisnisnya. Sebagai pimpinan tertinggi Palang Merah Indonesia (PMI) Solo – salah satu PMI dengan pelayanan terbaik di Indonesia – ponselnya selalu siap dihubungi 24 jam bagi siapa saja yang membutuhkan pertolongan darurat.

Ia juga menyelenggarakan Festival Tahun Baru Imlek Solo yang bernuansa lokal untuk menghidupkan kembali akulturasi budaya yang telah lama terlupakan, mengingatkan pada toleransi Tionghoa-Jawa-Arab sejak beberapa abad lalu.

Masyarakat Tionghoa sudah ada sejak kota Solo berdiri 271 tahun lalu. Mereka mula-mula tinggal di Sudiraprajan dan menjalin hubungan harmonis dengan masyarakat adat serta keturunan Arab di Pasar Kliwon – tak jauh dari Pecinan.

Mereka secara alami bercampur dengan masyarakat Jawa, seperti di Kampung Balong dan Kepanjen, komunitas perkawinan campur (asimilasi) Jawa-Tionghoa. Rekannya sering disebutkan ampyangbermata sipit tapi berkulit gelap.

Sejak era Walikota Joko “Jokowi” Widodo, Kota Solo mulai mengalami perubahan. Kebudayaan Tiongkok, yang dilarang selama 32 tahun oleh Orde Baru, dihidupkan kembali. Kesenian Barongsai mempunyai tempat yang sama dengan acara kesenian daerah dan parade Hadrah Dan menjemput untuk habib.

Solo perlahan bangkit kembali sebagai kota yang majemuk, meski diwarnai kebencian dari sekelompok ormas yang ingin memaksakan kehendak melalui kekerasan. Bahkan, saat ini kota yang mayoritas penduduknya beragama Islam itu memilih seorang Katolik, FX Hadi Rudyatmo, sebagai wali kota pada Pilkada 2015.

Sama seperti Jokowi yang membuka diri dan menerima keberagaman, Rudy memulai Festival Imlek di Solo untuk mengenang dan mengedepankan semangat toleransi dan penghargaan terhadap keberagaman. Perayaan Imlek yang bertepatan dengan hari jadi Kota Solo, 17 Februari, semakin istimewa karena dinilai mempererat kekompakan masyarakat tanpa sekat-sekat yang mendasar.

Menurut Rudy, perayaan Imlek juga menjadi pertanda percampuran alami etnis Jawa dan Tionghoa yang sudah berlangsung sejak lama. Akulturasi budaya melalui makanan, pakaian, dan seni telah terjadi sejak lama, memberikan gambaran bahwa toleransi mempunyai akar dan sejarah yang panjang di negeri ini.

“Imlek mempersatukan kita semua dari berbagai suku, agama, dan status sosial. “Kita satu, bangsa Indonesia,” kata Rudy.

Wali Kota yang pernah menjadi wakil Jokowi ini mengaku selalu berusaha memperlakukan dan melayani masyarakat Solo tanpa membeda-bedakan suku, agama, ras, dan antargolongan. Ia yakin sebuah kota hanya bisa maju jika masyarakatnya bisa menerima keberagaman dan mengatasi perbedaan melalui dialog, bukan kekerasan.

Luka lama tragedi Mei 1998 kini mulai terlupakan. Hubungan etnis Tionghoa dan Jawa kembali hangat. Keturunan Tionghoa juga tidak lagi terkonsentrasi di Pecinan di sekitar kawasan Pasar Gede, namun semakin banyak bercampur dan menyebar ke seluruh kota – serta tempat usaha mereka.

Dari tahun ke tahun, Festival Tahun Baru Imlek semakin menarik pengunjung. Tak hanya etnis Tionghoa, masyarakat umum juga mengapresiasi dan berpartisipasi dalam agenda tahunan yang selalu menghadirkan lampion warna-warni di Kota Solo. Padahal, sejak tiga tahun lalu, festival Tahun Baru Imlek selalu dinantikan setiap bulan Februari.

Kebanyakan seniman barongsai, liong, dan wushu yang tampil di panggung bukanlah etnis Tionghoa. Sementara panitianya berasal dari berbagai organisasi sosial, lintas usia, agama, dan suku, tidak hanya lima organisasi Tionghoa seperti sebelumnya.

“Siapapun yang berminat bisa bergabung, karena Imlek adalah milik kita semua, bukan hanya milik masyarakat Tionghoa,” kata Sumartono, penggagas festival Imlek yang digelar sejak 2014.

Festival yang berlangsung selama seminggu ini memiliki rangkaian acara yang panjang, mulai dari Grebeg Sudiraprajan dan pembagian kue keranjang, pasar malam dan panggung pertunjukan di Benteng Vastenberg, pertunjukan kembang api, hingga rekor Museum Rekor Indonesia (MURI) dengan tulisan Cina. kaligrafi naskah (Syufa) di atas kertas sepanjang 500 meter oleh 500 orang – anak sekolah dan masyarakat umum.

“Saya tidak lagi melihat perpecahan etnis di festival Tahun Baru Imlek, semua orang bergabung, itu sudah teratasi. “Ini sebuah kemajuan mengingat kota ini punya sejarah kelam kekerasan antaretnis,” kata Rina, warga Solo yang turut serta dalam pelepasan lampion pada penutupan festival.

Sejak 1 Februari lalu lintas di koridor Solo Sudirman lumpuh setiap malam. Sepanjang perjalanan telah dipasang 12 buah boneka lampion raksasa berkarakter Shio yang menjadi tempat favorit masyarakat untuk berfoto. selfie Selain kawasan Chinatown. Puncaknya, di penghujung acara pada 6 Februari, jalan protokol di titik nol kilometer terpaksa ditutup total bagi kendaraan seiring ribuan orang turun ke jalan untuk menyaksikan festival Imlek.

Perayaan Imlek di Solo juga mulai menjadi destinasi wisata lokal, selain Festival Jenang dan Solo Batik Carnival. Semuanya gratis, cukup modal saja tongkat selfie.

“Itu sangat menarik. “Kebetulan kami sedang berada di Jawa Tengah, kami menyempatkan diri ke Solo untuk melihat festival Imlek yang belum pernah kami datangi,” ujar John Kayame, warga Nabire yang datang bersama 11 temannya.

Perayaan tahun Monyet Api diakhiri dengan pelepasan 1.000 lampion kertas warna-warni ke udara sebagai simbol keberagaman dan perdamaian. Api dinyalakan, harapan dan doa dipanjatkan. Bukan hanya keberuntungan di tahun baru, tapi juga harapan untuk Indonesia yang lebih toleran terhadap keberagaman.

Seiring dengan nada lagunya warisan Indonesia, Lampion-lampion itu perlahan melayang tinggi di angkasa, menjadi lampu, memecah kegelapan di angkasa luas yang menjadi rumah bagi 250 juta jiwa masyarakat Indonesia. Selamat tahun baru. —Rappler.com

BACA JUGA:

Sidney prize