Saat generasi ketiga Tionghoa merayakan Tahun Baru Imlek tanpa pakaian dalam baru
- keren989
- 0
JAKARTA, Indonesia – Saat menikah dengan Aditya Suharmoko, Esther Samboh tak menyangka dirinya akan hidup di tengah keluarga Tionghoa yang masih memegang teguh budayanya. Hal itu baru ia sadari saat keluarga besar Adit yang pernah tinggal di kawasan Kota Tua, Jakarta Utara, merayakan Tahun Baru Imlek tahun lalu.
“Saya terkejut ketika ibu mertua saya membeli pakaian dalam baru. “Jadi pas bangun tidur semuanya baru, piyama baru, baju rumah baru, celana dalam baru, bra baru,” cerita Esther saat menginap di rumah keluarga besar Adit pada malam perayaan Imlek tahun lalu.
Ternyata saat dia dan suaminya sedang tertidur lelap, mertuanya diam-diam memasangkan celana dalam baru di tempat tidurnya untuk dia dan suaminya.
Sejak saat itu, perempuan Manado tersebut mengetahui bahwa generasi kedua keluarga Tionghoa masih menganut nilai-nilai tradisional yang diyakini membawa keberuntungan di Tahun Baru Imlek.
Adit membenarkan bahwa ibunya masih memegang teguh nilai-nilai adat Imlek yang diturunkan oleh para tetua keluarganya.
Namun Adit sendiri termasuk orang yang kurang terlalu memperhatikan detail dalam perayaan Imlek. “Biasanya mama beli,” kata Adit, generasi ketiga keturunan Tionghoa di Indonesia.
Omong kosong
Filosofi pakaian dalam baru diajarkan secara turun temurun oleh nenek moyang keluarga Adit. Membeli celana baru dipandang sebagai mengusir kejahatan, yaitu mengusir kesialan.
Dalam bahasa Kanton, kata “celana” memiliki bunyi yang sama dengan kata “pahit”.
Namun, ada juga yang menganggap kata celana memiliki bunyi yang sama dengan “kaya”. Namun kemiripan suara bukanlah hal yang terpenting, yang jelas memakai celana dalam baru ibarat syarat “sakral” bagi masyarakat China yang percaya akan manfaatnya.
Ada juga keluarga Tinghoa yang menganggap pakaian dalam berwarna merah sebagai pengusir nyamuk yang sempurna. Tak heran, celana dalam berwarna merah laris manis menjelang Tahun Baru Imlek. Seperti yang terjadi di Singapura.
Menurut Adit, ibunya tidak menjelaskan lebih jauh soal celana dalam tersebut. “Itu yang paling penting, kata ibu. “Kalau tidak punya uang, yang penting beli celana dalam,” ujarnya.
Adit kemudian mengemukakan alasan orang tuanya membelikannya pakaian dalam. “Mungkin karena langsung menempel (di badan),” kata Adit sambil tertawa.
Pergeseran nilai
Selain mengenakan pakaian dalam baru yang sudah tidak lagi menjadi tren, keluarga Tionghoa generasi ketiga di Indonesia juga tidak menganggap Tahun Baru Imlek sebagai Tahun Baru, melainkan sebagai ajang berkumpul.
Stephanie Tjong Tenggara misalnya, mengaku selalu bersemangat saat Imlek tiba karena merupakan satu-satunya hari dimana seluruh anggota keluarga besar bisa berkumpul.
Keluarga Stephanie cukup besar. “Dari ayah saya sendiri ada 70 orang dari delapan saudara laki-laki dan perempuan, belum lagi ibu saya memiliki 7 saudara laki-laki dan perempuan,” kata Stephanie, ibu satu anak yang mengaku keturunan Tionghoa generasi ketiga ini berasal dari Bangka Belitung .
Semasa kecilnya, sebelum menerima angpao, ia harus melalui berbagai tradisi yang disiapkan oleh ibunya.
Selain pakaian dalam baru, ia juga mengganti sprei, sofa, dan taplak meja. “Malam harinya saya mandi dengan bunga berwarna putih dan merah,” ujarnya.
Ia pun melihat ibunya menyapu pada malam hari, lalu berdoa.
Namun kini, selain tidak memakai celana dalam baru lagi, ia juga tidak salat. “Karena saya bukan penganut Buddha, saya tidak berdoa,” akunya.
Tahun Baru Imlek tahun ini berarti Stephanie menyiapkan paket merah, karena dia sudah menikah, dan bertemu dengan saudara-saudaranya.
Bahkan merayakan Tahun Baru Imlek bersama keluarga besar pun banyak berubah. Saat ia masih kecil, keluarganya sering mengaduk makanan bersama di meja makan sebagai tanda persatuan.
Kemudian menu utamanya terdiri dari ikan-ikan tertentu yang dikelilingi sayuran yang memiliki makna dan filosofi tersendiri bagi keluarga Thinghoa.
Kini, kata Stephanie, keluarga besarnya menyediakan salad dan salmon.
Relai tradisi
Meski generasi ketiga sudah tidak lagi mengikuti nilai-nilai tradisional nenek moyang, pasangan Adit dan Esther mengaku bertanggung jawab terhadap generasi penerus.
Misalnya saja Adit yang sudah punya rencana agar sang putra paham kenapa ia harus memakai celana dalam baru, meski ia sendiri tidak terlalu memperhatikan detail itu. “Kalau bisa lebih dari itu,” ucapnya.
Apa alasannya? Menurut Adit, kemeriahan perayaan Imlek dari tahun ke tahun bukan tanpa alasan.
“Sebelum reformasi, kami merayakannya dengan tenang di rumah,” kenangnya.
Kini bagi Adit, Imlek sudah menjadi milik bersama. Meski beberapa nilai, seperti memakai pakaian dalam baru, sudah mulai hilang.
Esther yang bukan keturunan Tionghoa bahkan lebih semangat dibandingkan suaminya. Tahun ini ia menyiapkan pakaian dalam baru, baju baru, tas baru, dan sepatu baru untuk keluarga.
Sementara itu, Stephanie memilih tak lagi membawa tradisi “celana dalam baru” dalam perayaan Imlek mereka. “Saya dan suami sudah tidak menggunakannya lagi,” ujarnya.
Namun terlepas dari itu, perayaan Imlek tahun ini bagi mereka bertiga sama seperti tahun-tahun sebelumnya, menjalin silaturahmi dan menghabiskan waktu bersama keluarga, tanpa atau dengan pakaian dalam baru.—Rappler.com
BACA JUGA: