Kisah Srihadi Soedarsono sebagai jurnalis pelukis pada masa penjajahan
- keren989
- 0
Ini adalah ringkasan yang dibuat oleh AI, yang mungkin memiliki kesalahan. Untuk konteksnya, selalu rujuk artikel selengkapnya.
Menjadi jurnalis foto pada masa kolonial bukanlah perkara mudah. Mengancam nyawa
JAKARTA, Indonesia — Sulit rasanya bila sebuah berita tidak disertai dengan foto, apalagi jika berita yang disampaikan merupakan berita penting bagi semua orang. Terkadang kata-kata saja tidak cukup untuk menyampaikan pesan kepada audiens. Oleh karena itu, gambar selalu dibutuhkan dalam setiap berita.
Namun, apa yang dilakukan jurnalis ketika kamera masih menjadi barang mahal dan distribusinya juga sulit? Meski gambar tetap dibutuhkan di setiap surat kabar.
Pada masa penjajahan Belanda, keadaan di atas merupakan suatu hal yang nyata. Kamera itu sulit dan juga sangat mahal. Hanya kantor berita pusat di Jakarta yang memilikinya. Selebihnya, sebagian besar tidak menggunakan kamera, melainkan jurnalis-pelukis.
Salah satu jurnalis-pelukis pada masa itu adalah Srihadi Soedarsono yang masih menjadi pelukis hingga saat ini. Bagi Rappler, pria kelahiran 4 Desember 1931 ini menceritakan kisahnya sebagai jurnalis seni lukis yang sekaligus menjadi langkah awal karirnya sebagai seorang pelukis.
Saat itu, Srihadi mendapat tanda pengenal jurnalis pelukis karena tergabung dalam divisi penerangan tentara republik. Saat itu republik adalah sebutan untuk Yogyakarta dan Solo. Penyebab utamanya karena kota-kota besar lain di Indonesia seperti Jakarta dan Semarang dikuasai Belanda.
Srihadi ditempatkan di Divisi Empat Jawa Tengah yang kemudian berkembang menjadi Divisi Diponegoro, namun ketika Srihadi bekerja di sana masih disebut Divisi Empat, divisi informasi. Ia terpilih menjadi jurnalis foto karena kemampuannya melukis saat itu.
“Mereka sedang mencari yang bisa membuat sketsa besar dan juga merekam peristiwa dengan foto,” kata Srihadi saat ditemui di kediamannya di kawasan Kemang, Jakarta Selatan.
Setelah terpilih dan memiliki KTP jurnalis lukis, ia bisa mengadakan beberapa perjanjian penting. Seperti Perjanjian Linggarjati yang dilakukan karena Indonesia menginginkan pengakuan kedaulatan dari Belanda pada 11–15 November 1946 di kawasan Linggarjati, Jawa Barat.
Selain itu juga ada Perjanjian Renville. Perjanjian yang diadakan untuk menyelesaikan berbagai perselisihan antara Indonesia dan Belanda ini diadakan pada tanggal 17 Januari 1948 di atas kapal di kawasan Tanjung Priok, Jakarta. Ada pula beberapa perjanjian lain yang melibatkan Indonesia dan pihak luar negeri, khususnya Belanda.
Kariernya sebagai jurnalis gambar tidak berjalan mulus, apalagi usianya baru 15 tahun. Karyanya yang membuat Srihadi kesana kemari terkadang dijadikan kurir. Srihadi mengaku membawa granat di saku kanan dan kirinya untuk berjaga-jaga. Terkadang ia juga harus menyembunyikan lesung di tumpukan telur asin.
Srihadi juga punya beberapa masalah dengan Belanda. Ia bahkan mendapat hukuman dari Belanda saat itu.
“Saat ditangkap lalu dipenjara, hampir dipukuli hingga tewas, itu momen nyata, semua temannya di sepanjang jalan mengira Pak Srihadi sudah mati karena ditembak Belanda,” kata Siti Farida, istri Srihadi.
Namun karena usianya yang masih muda, Srihadi akhirnya ditawari sekolah oleh pejabat Belanda. Srihadi yang saat itu mendekam di penjara Semarang bersedia menyelamatkan nyawanya.
“Jadi saya berangkat sekolah pagi, lalu pulang dari penjara, seperti itu setiap hari,” kata Srihadi.—Rappler.com