• September 24, 2024
Tuduhan tersebut sejalan dengan penyidikan Komnas HAM

Tuduhan tersebut sejalan dengan penyidikan Komnas HAM

Ini adalah ringkasan yang dibuat oleh AI, yang mungkin memiliki kesalahan. Untuk konteksnya, selalu rujuk artikel selengkapnya.

Dianto merupakan satu-satunya anggota Komnas HAM yang datang ke IPT 1965 atas inisiatif pribadi

DEN HAAG, Belanda —Komisioner Komnas HAM Dianto Bachriadi berbicara di Mahkamah Rakyat Internasional tahun 1965, Kamis (12/11). Dianto menyatakan dakwaan yang dilayangkan jaksa sejauh ini sesuai dengan hasil pemeriksaan Komnas HAM.

Dianto merupakan satu-satunya anggota Komnas HAM yang datang ke IPT 1965 atas inisiatif pribadi. Sebab, lembaga negara memutuskan untuk tidak mengirimkan masyarakat ke IPT.

“Hingga saat ini, pengadilan telah membahas 7 dakwaan dari dakwaan. “Semuanya sesuai dengan hasil pemeriksaan Komnas HAM,” kata Dianto di hadapan hakim. Ia kemudian mengungkap kebuntuan penyelesaian kasus 1965 melalui hukum Indonesia.

Sejak 1 Juni 2008 hingga 1 April 2012, Komnas HAM melakukan investigasi pro-yudisial terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM berat. Pro-justice adalah investigasi sebelum perkaranya dibawa ke pengadilan. Hasil penyidikan setebal 800 halaman itu disampaikan kepada pemerintah, khususnya Kejaksaan Agung. Saat itu, dokumen tersebut masih dirahasiakan karena memuat nama korban dan pelaku. Komnas mengacu pada asas praduga tak bersalah sehingga tidak membeberkannya ke publik.

Komnas sudah lama tidak mendapat jawaban dari Kejaksaan Agung.Jika hasil penyidikan sudah diterima maka prosesnya akan dilanjutkan ke penyidikan. Namun akhirnya setahun lalu, setelah Joko Widodo menjadi presiden dan Jaksa Agung baru menjabat, jawabannya pun muncul.

“Kami mendapat kotak lengkap, tidak hanya tentang kasus 1965, tapi semua kasus. Mereka menyerahkan catatan a, b, c, d untuk kami koreksi. “30 hari kemudian kami kirim kembali, tapi sampai saat ini kami belum mendapat kabar apa pun,” ujarnya.

Beberapa bulan kemudian, Jaksa Agung bahkan menyatakan akan menyelesaikan kasus tersebut secara non-yudisial, yakni melalui konsiliasi. “Rekonsiliasi bisa dilakukan. Namun rekonsiliasi harus dimulai dengan menyampaikan kebenaran. Bagaimana bisa berdamai kalau tidak tahu mana yang benar dan mana yang tidak?” ujarnya.

Selain itu, UU No. 26/2000 tentang Keadilan Hak Asasi Manusia bahwa rekonsiliasi diatur dalam payung hukum tersendiri. Namun hingga saat ini, nasib UU Komite Rekonsiliasi Nasional masih belum jelas.

Menurut Diyanto, Komnas HAM masih meminta keputusan Kejaksaan Agung apakah menerima atau menolak. “Secara hukum, kalau menolak harus mengeluarkan surat pemberhentian. Agar kami masyarakat Indonesia bisa mengetahui alasan hukum kenapa kami tidak bisa diadili. Kita tidak akan pernah tahu alasan Kejaksaan Agung tidak mengambil keputusan. Saya tidak melihat Kejaksaan Agung menolak hasil penyelidikan Komnas HAM. “Saya menyebutnya penundaan yang lama,” tegasnya. Dari 10 kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu, hingga saat ini baru 3 kasus yang masuk ke pengadilan.

Dua setting, sikap berbeda
Dianto yang berbicara di hadapan hakim sebenarnya tidak ada dalam jadwal sidang. Sebab, dia datang sebagai pengamat atau pengamat. Apalagi rapat Komnas HAM memutuskan tidak memenuhi undangan IPT tahun 1965.

Dalam pertemuan itu, ada 3 suara yang mendukung, termasuk Dianto dan Sandra Moniaga. Namun 5 suara tidak setuju, 3 abstain, dan 2 abstain. “Saya datang karena saya konsisten dengan sikap suportif saya. Karena saya menganggap penting untuk mengungkap kebenaran. Dan saya datang dengan biaya pribadi,” kata Dianto kepada Rappler.

hantu PKI
Menurutnya, IPT penting karena berguna untuk menekan negara agar mau bertanggung jawab. Jika tidak, katanya, kita akan terus melihat impunitas bagi para pelakunya, dan momok PKI masih terus muncul. Hantu PKI ini dimanfaatkan untuk berbagai keperluan termasuk masalah pertanahan. “Saya sudah lama terlibat dalam kasus ini. Banyak kasus perampasan tanah yang terjadi akibat momok PKI. Ribuan hektar lahan diambil alih dengan ancaman kepada masyarakat bahwa lahan tersebut adalah hasil karya komunis. “Kalau tidak diserahkan, nanti diburu,” ujarnya.

Berbeda dengan Komnas HAM, Komnas Perempuan yang keduanya merupakan lembaga negara memutuskan untuk menghadiri IPT 1965. Perwakilannya, Mariana Aminuddin, datang dengan membawa surat perjalanan dari pemerintah atas biaya negara. “Sekembalinya dari sini, saya dan teman-teman Komnas Perempuan akan melakukan tindakan lanjutan. “Cara dukungan komunitas internasional terhadap forum ini akan memperkuat dan menjadi tambahan dokumen yang kami serahkan kepada negara,” kata Mariana saat berbicara pada sesi tersebut. —Rappler.com

BACA JUGA:

Data Sidney