• September 30, 2024
Pengamat Pilkada Serentak 2015: Indonesia Siap Demokrasi

Pengamat Pilkada Serentak 2015: Indonesia Siap Demokrasi

Ini adalah ringkasan yang dibuat oleh AI, yang mungkin memiliki kesalahan. Untuk konteksnya, selalu rujuk artikel selengkapnya.

Pada Pilkada Serentak 2015, popularitas saja tidak cukup untuk menang

JAKARTA, Indonesia – Proses penyelenggaraan pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak tahun 2015 menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia siap berdemokrasi. Demikian menurut CEO lembaga survei politik Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), Djayadi Hanan.

“Ini (Pilkada 2015) jadi pembelajaran ya. “Tunjukkan bahwa masyarakat kita sudah dewasa, siap berdemokrasi,” kata Djayadi kepada Rappler, Kamis, 10 Desember.

Selain tumbuhnya demokrasi di masyarakat Indonesia, Djayadi punya sejumlah catatan lain terkait pelaksanaan pesta demokrasi yang baru berlangsung Rabu lalu.

Popularitas tidak cukup menjadi modal untuk meraih kemenangan

Sejumlah tokoh populer nasional turut serta dalam Pilkada 2015.

Sejauh ini, berdasarkan hasil quick score, ada beberapa di antaranya yang gagal meraih kemenangan. Misalnya politikus Partai Demokrat Saan Mustopa dan politikus PDI Perjuangan Dedi “Miing” Gumelar. Keduanya mengalami kemajuan di Kabupaten Karawang.

Menurut Djayadi, hal ini menunjukkan bahwa populer saja tidak cukup untuk memenangkan pilkada.

“Sejumlah tokoh nasional maju dan tidak menang. Menjadi populer saja tidak cukup jika Anda tidak memiliki hubungan langsung dengan masyarakat pemilih. “Sekali lagi, kemenangan sangat bergantung pada dinamika politik lokal,” kata Djayadi.

Bukti kekuasaan petahana

Menurut Djayadi, keunggulan sejumlah calon petahana, setidaknya berdasarkan hasil hitung cepat, membuktikan anggapan bahwa calon pekerja umumnya memiliki keunggulan dibandingkan rivalnya saat mencalonkan diri untuk periode kedua.

“Ini adalah buktinya petahana Memang memiliki keunggulan elektoral,” katanya.

Metode kampanye perlu dievaluasi?

Namun, Djayadi menyoroti bagaimana Pilkada 2015 gagal menjadi event nasional. Menurut dia, hal tersebut disebabkan oleh aturan mengenai metode kampanye yang diterapkan oleh Komisi Pemilihan Umum (GEC).

“Kampanye dengan alat peraga diambil alih oleh KPUD. “Pada akhirnya kandidat hanya bisa berkampanye secara diam-diam,” kata Djayadi.

Ia juga berpendapat bahwa masa kampanye yang relatif panjang turut berperan dalam membuat kemeriahan Pilkada 2015 kurang bergema di tingkat nasional dan lebih banyak terdengar di tingkat daerah. — Rappler.com

BACA JUGA:

Keluaran Sidney