• November 26, 2024

Berhadapan dengan kenangan kesuraman 19 tahun lalu

Rappler Indonesia mengadakan acara pembacaan puisi ‘Bangkit Dari Tragedi Mei 1998’ pada 12 Mei 2017

JAKARTA, Indonesia – “Jika yang menjadi korban adalah anak Anda, istri Anda, atau saudara perempuan Anda, apakah Anda menerimanya?”

Kutipan tersebut berasal dari puisi berjudul Dimana hati nuranimu? oleh Wilson Tjandinegara. Puisi tersebut dibacakan oleh Sarasdewi, penulis sekaligus dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia (FIB UI).

Ia bersama enam orang lainnya membacakan puisi pada Jumat, 12 Mei 2017. Hari itu, Rappler Indonesia mengadakan acara pembacaan puisi Bangkit dari tragedi Mei 1998.

Tanggal tersebut dipilih karena hari itu 19 tahun lalu menandai dimulainya gerakan reformasi. Para siswa mulai bergerak pada saat itu. Korban termasuk pelajar pun berjatuhan. Puncak Orde Baru runtuh pada 21 Mei 1998.

Acara ini diadakan karena adanya keprihatinan yang masih ada di masyarakat, khususnya generasi muda, yang belum memahami atau mengetahui masa-masa kelam Indonesia.

“Kami percaya puisi adalah alat untuk menjaga kenangan tersebut,” kata Abdul Qowi Bastian, editor dan Keterlibatan komunitas Memimpin Rapler Indonesia.

Ekspresikan kekhawatiran melalui puisi

Selain Sarasdewi, hadir pula Hasan Aspahani. Dia adalah penulis kumpulan puisi Penanya terangkat, kertasnya kering yang mendapat Anugerah Buku Puisi Terbaik pada Anugerah Hari Puisi Indonesia 2016. Puisi yang dibacanya diberi judul Sungai Yang Mengalir Negara Kita. Puisi tersebut ia tulis pada tahun 2007, sekitar 8 tahun setelah Reformasi.

“Luka kita belum juga sembuh, luka baru semakin berbuah, semakin tua semakin parah” demikian salah satu kutipan puisinya.

Sebelum membacakan puisi tersebut, Hasan menceritakan bagaimana dirinya menjadi saksi mata korupsi yang dilakukan pada masa Orde Baru.

Kedua anaknya kelahiran 1999 dan 2003 tak begitu mengetahui peristiwa Mei 1998. Hari itu Hasan datang bersama kedua anaknya.

“Mereka tidak tahu apa-apa tentang Reformasi, saya hanya berharap sengaja mereka bisa mendapat gambaran tentang peristiwa yang terjadi pada tahun 1998,” ujarnya.

Turut hadir Clarasia Kiky yang masih duduk di bangku kelas 4 SD dan tinggal di Malang saat tragedi Mei 1998 terjadi. Ia mengaku mencoba memahami tragedi Mei 1998 dengan membaca puisinya sendiri yang berjudul Sampai jumpa di bulan Mei.

Puisi tersebut ditulisnya sebagai tanggapan terhadap puisi berjudul Mungkin ditulis oleh penyair Joko Pinurbo.

“Banyak cara yang bisa kita lakukan untuk mendapatkan informasi dan salah satunya melalui karya sastra,” kata Kiky.

SAMPAI MEI.  Artis Clarasia Kiky menulis puisi balasan untuk Joko Pinurbo yang diberi judul 'Kepada Mei'.  Foto oleh Rika Kurniawati/Rappler

Fajar Zakhri dari komunitas 100 persen manusia juga membaca puisi. Beliau merupakan warga negara Indonesia yang beretnis Tionghoa. Saat tragedi itu terjadi pada Mei 1998, usianya masih sekitar 6 tahun.

“Sepanjang tahun 1998, karena saya tinggal di Jakarta, saya merasa terkucil, tidak bisa keluar rumah. “Saya mencoba memahami mengapa saya diperlakukan seperti ini,” kata Fajar.

“Saya tidak paham konteks kenapa Soeharto dicopot, kenapa mahasiswa protes. Namun 19 tahun kemudian, saya semakin memahami bahwa apa yang terjadi adalah runtuhnya sistem yang sudah ada sejak lama dan itu harus terjadi.”

Ia membacakan puisi karya Wilson Tjandinegara yang berjudul Kita tidak bisa tinggal diam.

PETA.  Bentara Bumi, pendiri Malam Puisi, membacakan 3 puisi karya Aan Mansyur.  Salah satu puisinya berjudul 'Melihat Peta'.  Foto oleh Rika Kurniawati/Rappler

Bentara Bumi, pendiri Malam Puisi, membacakan tiga puisi karya Aan Mansyur. Salah satu puisinya berjudul Lihat peta.

“Dalam puisi ini saya juga melihat Aan Mansyur berusaha memulihkan kepedihan dan kesedihan peristiwa tahun 1998 dengan menulis puisi,” kata Bumi.

Ia berusia 13 tahun dan tinggal di Bandung ketika tragedi Mei 1998 terjadi.

Putri Minangsari, salah satu pendiri komunitas tersebut Buka kedok mikrofon terbuka, membaca puisinya sendiri yang berjudul 19 tahun kemudian.

TAK TERGANTI.  Pendiri Unmasked Open Mic, Putri Minangsari, membacakan puisi yang diadaptasi oleh penyair Perancis, Charles Baudelaire.  Foto oleh Rika Kurniawati/Rappler

Bagaimana kita bisa menghentikan orang ini, penyesalan yang panjang ini?,” kutipan dari desain puisinya diberi judul Yang tidak dapat diperbaiki karya Charles Baudelaire.

“Adaptasinya bebas dari bahasa Prancis dan saya mengubahnya sedikit agar lebih sesuai dengan apa yang terjadi di sini saat ini,” ujarnya.

Irine Roba, Anggota Komisi X DPR RI yang membidangi bidang pendidikan, olah raga, dan sejarah turut hadir. Dia berusia 14 tahun ketika tragedi Mei 1998 terjadi.

UMUM.  Anggota DPR RI Irine Roba membacakan karya Wiji Thukul, 'Jenderal Sedang Marah'.  Foto oleh Rika Kurniawati/Rappler

“Tragedi (Mei 1998) sebenarnya harus kita selesaikan,” ujarnya sambil membacakan puisi karya Widji Thukul. Para jenderal marah.

Terakhir, kata Qowi, selain sebagai alat untuk melestarikan kenangan, puisi juga berperan penting dalam pendidikan, khususnya bagi bayi dalam kandungan.

Seperti yang pernah ditulis Wiji Thukul, “Kekejamanmu adalah buku teks yang belum pernah ditulis.” Puisi juga menjadi salah satu alternatif pembelajaran sejarah bagi generasi muda yang belum mengetahui tentang kerusuhan 19 tahun lalu. —Rappler.com

BACA JUGA: