Ledia Hanifa, pejuang warga ‘pinggiran’
- keren989
- 0
Jakarta, Indonesia – Siapakah Ledia Hanifa Amaliah?
Begitulah reaksi spontan sebagian masyarakat saat mendengar kabar politisi perempuan asal Jakarta itu dilantik menjadi Wakil Ketua Dewan Rakyat (DPR RI) pada 6 April lalu.
Reaksi seperti ini bisa dimaklumi. Kiprah politik cucu mantan anggota DPR Pasundan dan tokoh koperasi Jawa Barat Rd. H. Hasan Natapermana tidak banyak dikenal masyarakat di luar kader dan pimpinan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan konstituennya di Kota Bandung dan Cimahi, Jawa Barat. Bahkan, ia terpilih menjadi anggota legislatif nasional sebanyak dua kali berturut-turut.
Fakta bahwa dia berasal dari PKS pun menimbulkan kecurigaan. Bagaimana mungkin partai yang selama ini didominasi laki-laki mau mencalonkan perempuan sebagai Wakil Ketua DPR?
Kebetulan yang ingin diganti adalah salah satu pendiri partai sekaligus pria, Fahri Hamzah. Mungkin penunjukannya sebagai pengganti politisi Nusa Tenggara Barat itu hanya sekedar proyek pencitraan untuk memperbaiki keadaan gambar partai menyusul beberapa kasus korupsi yang melibatkan pimpinan dan kader partai.
Tapi apapun itu, itu semua hanyalah persepsi. Faktanya, Ledia merupakan salah satu dari sedikit anggota dewan dari Fraksi PKS yang menonjol. Hampir tujuh tahun menjadi anggota DPR, politikus kelahiran Jakarta 1969 ini pernah dua kali menjadi Wakil Ketua Komisi VIII yang menangani isu sosial, agama, dan pemberdayaan perempuan.
Menjadi wakil ketua komisi, dan jabatan-jabatan lain di DPR, memang merupakan jabatan yang “dianugerahkan”, dalam artian diberikan oleh pimpinan partai, atau lebih tepatnya ditugaskan. Kriteria dan dasar pertimbangannya tidak eksplisit; Faktor-faktor yang menguntungkan dan tidak menguntungkan juga dapat mempengaruhi. Ini urusan internal partai.
Bagi masyarakat, yang terpenting adalah bagaimana orang yang diberi amanah tersebut menjalankan tugasnya demi kebaikan masyarakat luas dan dalam hal ini ibu empat anak ini menunjukkan sifat kepemimpinannya.
Misalnya, pada periode 2009-2014, Ledia dua kali menjadi ketua panitia kerja atau panitia kerja yang masing-masing membahas RUU Jaminan Produk Halal dan revisi UU Perlindungan Anak. Dan sejak dilantik pada Oktober 2014, Ledia pernah menjabat sebagai ketua panitia kerja, yakni saat pembahasan RUU Penyandang Disabilitas.
Sebagai ketua umum, Ledia tidak hanya memimpin pembahasan RUU tersebut, tetapi juga membawa ide-ide segar dan substantif, bahkan turut mengubah “jalannya” RUU tersebut.
Saat pembahasan RUU Penyandang Disabilitas misalnya, Ledia berhasil mengubah paradigma RUU tersebut yayasan amal (kemurahan hati) untuk dasar nyata (pemenuhan hak). Karena hak, semua tuntutan dalam hukum harus dipenuhi. Dari segi pendidikan misalnya, Ledia memastikan penyandang disabilitas mendapatkan pendidikan dan berhak mendapatkan beasiswa.
“Kami juga berhasil memperberat hukuman bagi pelaku tindak pidana yang korbannya adalah perempuan penyandang disabilitas atau anak penyandang disabilitas karena masyarakat (pelaku) sudah mengira jika korban tidak melawan berarti niatnya jahat,” kata Ledia. pembuat rap.
Sebelumnya, Ledia juga terlibat dalam pembahasan undang-undang pengelolaan keuangan haji dan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).
“Saat kami membahas RUU BPJS, kami meminta biaya kelahiran ditanggung oleh BPJS juga. “Kami senang usulan tersebut sudah diajukan ke BPJS Kesehatan,” kata Ledia.
“Yang paling menguras emosi adalah pembahasan RUU Penyandang Disabilitas. Kadang kita tidak bisa ngobrol karena sepertinya penyandang disabilitas adalah pihak yang paling tidak diperhatikan (di Indonesia). “Ini jelas menjadi masalah semua orang,” kata Ledia.
Prestasi Ledia di tingkat partai pun tak kalah “cemerlang”. Sebagai Ketua Dewan Perempuan PKS Jawa Barat, Ledia meluncurkan Pos Keadilan Perempuan pada tahun 2002, sebuah program pemberdayaan perempuan, khususnya perempuan kader partai, di Bandung. Program tersebut dinilai berhasil dan diadopsi oleh PKS sebagai program nasional.
“Pos Perempuan Keadilan berkembang menjadi dua program: Rumah Keluarga Indonesia untuk memberdayakan keluarga dan Pos Ekonomi Keluarga untuk pengembangan ekonomi masyarakat. “Sampai tahun 2011, jumlah cabang mencapai 4.500 di seluruh Indonesia,” kata Ledia.
Jauh sebelum “mendirikan” Partai Keadilan pada tahun 1998, Ledia sudah aktif di lembaga swadaya masyarakat dan yayasan Islam serta menjalankan berbagai program pemberdayaan perempuan. Pada tahun 1995 dan 1996 misalnya, Ledia dan kawan-kawan mengadakan pelatihan menjahit untuk ibu-ibu rumah tangga di Depok, Jawa Barat.
“Kami tinggal di lingkungan yang dikelilingi pabrik. Asumsi kami, mereka harus hidup susah dengan upah minimum regional yang rendah. Kami memberi mereka keterampilan menjahit, sehingga mereka bisa menambahkan lebih banyak penghasilan keluarga. Tapi suami beberapa ibu marah (kepada kami), ‘Tidak usah, kerja saja di rumah’.”
“Tetapi ada juga ibu yang belajar bersembunyi dari suaminya. Itu benar. Pada tahun 1997, banyak dari mereka (laki-laki) yang diberhentikan dari pekerjaannya. “Di sinilah ibu-ibu yang mengikuti pelatihan menjahit menjadi penopang keluarga mereka,” kata Ledia.
“Lima orang diantaranya melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi dan bekerja di perusahaan confectionery dan butik. Beberapa dari mereka bahkan membuka usaha sendiri. “Kalau mereka buka usaha sendiri, ayo kita pergi,” ujarnya.
Setelah sekian lama berkiprah sebagai aktivis LSM, Ledia mulai menyadari bahwa advokasi saja tidak cukup untuk membawa perubahan di masyarakat. Alhasil, saat teman sekolahnya mengajaknya bergabung ke Partai Keadilan pada tahun 1998, Ledia menerimanya dengan menjadi wakil ketua Dewan Perempuan PK DKI Jakarta.
“Ada beberapa hal yang menurut saya tidak bisa diselesaikan oleh lembaga swadaya masyarakat dan bisa dilakukan oleh partai politik, yaitu kebijakan,” kata Ledia saat ditanya motivasinya bergabung dengan partai politik.
Kini Ledia diangkat menjadi Wakil Ketua DPR. Dia dengan rendah hati menerima penunjukan itu. Pidatonya tetap sederhana, lembut dan terkesan sangat terukur. Ia pun mengaku belum mengetahui alasan ditunjuknya dirinya menggantikan Farid Hamzah.
“Mungkin mereka (pemimpin UKM) melihat saya punya kemampuanmanajemen konflikkhususnya dalam pembahasan undang-undang jaminan produk halal dan pembiayaan haji. Perbedaan pendapat antara pemerintah dan DPR cukup besar pada pembahasan kedua undang-undang ini, kata Ledia.
“Kapan kamu akan dilantik? Saya juga belum tahu karena beberapa pimpinan DPR menyatakan akan menunggu gugatan Farid Hamzah diproses di pengadilan dan belum tahu berapa lama. “Yang penting bagi saya adalah saya bisa mempersiapkan diri,” kata Ledia.
Ledia pun membuat daftar persoalan yang ingin diperjuangkannya saat menduduki posisi Wakil Ketua Dewan. Beberapa diantaranya adalah ego sektoral yang menghambat penyelesaian permasalahan perempuan, keluarga dan anak serta pendidikan perempuan. Ia juga berharap DPR menjadi mitra penting bagi pemerintah.
“Kami ingin DPR ini lebih transparan dan akuntabel, serta lebih kaya dengan ide-ide substantif yang bisa diimplementasikan. “Hukum tersebut harus dilaksanakan dan dirasakan oleh masyarakat luas,” kata Ledia. – Rappler.com