
5 pelanggaran HAM dalam penggusuran Desa Dadap
keren989
- 0
JAKARTA, Indonesia – Rencana pemukiman kembali warga Kampung Baru Dadap mendapat penolakan besar. Mereka akan kehilangan tempat tinggal dan ditata ulang sebagai upaya pemberantasan lokalisasi.
Warga awalnya menyambut baik rencana pemerintah daerah tersebut karena ingin memberantas masalah prostitusi di Indonesia. Tak ketinggalan, Pemkab juga menjanjikan pembangunan Islamic Center dan Wisata Kuliner.
Namun saat itu warga belum mengetahui akan dipindahkan. Tiba-tiba, pada tanggal 14 Maret, pemerintah kabupaten mengatakan bahwa pengaturan ini juga akan menyebabkan lebih banyak penggusuran warga. Parahnya, mereka harus keluar rumah pada 23 Mei 2016.
Perselisihan keduanya berlangsung sengit bahkan memaksa Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dan Ombudsman RI bertindak sebagai mediator.
Berikut 5 pelanggaran HAM beserta bantahan pemerintah yang patut Anda ketahui:
1. Tidak bersosialisasi
Waisul Kurnia, 33 tahun, warga berkumpul Menikah Rumah 9 Bersaudara untuk memberikan sosialisasi mengenai pengendalian lokalisasi pada 14 Maret. Sekitar 117 warga menghadiri pertemuan tersebut.
Acara dibuka oleh Sekretaris Daerah Iskandar Mirzad. “Awalnya soal lokalisasi, lalu semuanya berubah menjadi penggusuran ke pemukiman warga. “Sekda menyampaikan akan dibangun apartemen dan Islamic center untuk warga,” ujarnya.
Menurut dia, penjelasan lokalisasi juga aneh karena tempat kotor tersebut sudah ditutup dua bulan sebelumnya. Warga merasa itu hanya tipuan.
Salah satu nelayan Dadap, Muhammad Alwi menduga pergeseran ini terkait dengan pembangunan jembatan yang menghubungkan salah satu pulau reklamasi. Namun Iskandar dengan cepat membantah dua tudingan tersebut.
“Kami sudah diberitahu sejak pertemuan Maret,” katanya. Selain itu, dia memastikan tidak akan dibangun jembatan karena lahan tersebut milik negara. Pengembang tidak berhak membangun di sana.
Selain itu, isu penataan ini bukan kali pertama menarik perhatian Dadap. Informasi ini pertama kali beredar pada tahun 1996, namun baru ditindaklanjuti 20 tahun kemudian.
2. Intimidasi pihak berwenang
Dalam pertemuan di Gedung 9 Broer tersebut, masyarakat mengetahui kehadiran Kapolsek, Camat, dan Kepala Satpol PP. Diperkirakan anggota yang hadir mencapai 700 orang.
Saefullah, warga lainnya, menjelaskan detail ancaman tersebut. “Pada tanggal 25 April di Masjid Nurul Ummah, Kapolsek menyatakan akan mengerahkan 500 personel. Danrem juga menyinggung pengerahan 700 tentara. Dan Satpol PP juga akan mengerahkan 3.000 tentara, ujarnya.
Saat itu, warga mengaku mendapat ancaman karena berusaha menghentikan penerbitan Surat Peringatan (SP) 1. Namun sayang, warga mendapat peringatan dini pada 26 April yang meminta mereka mengosongkan tempat tersebut.
3. Penggunaan peluru tajam
Peristiwa penolakan mencapai puncaknya pada 10 Mei 2016 saat SP 2 diterbitkan. Saat itu, warga melancarkan aksi agar surat tersebut dicabut.
Pada akhirnya, aparat melepaskan tembakan dan melemparkan tabung gas air mata hingga membuat warga lari.
Asmawi merupakan salah satu warga yang berlari. Ia mengaku sesak napas dan tidak bisa melihat karena asap gas air mata yang membuat matanya perih. Dia kemudian menyelam. Sayangnya, tabung gas air mata jatuh tepat di sebelah telinga kirinya.
Kemudian tabung gas tersebut meledak dan menyebabkan telinganya berdarah. “Saya tidak mengenal siapa pun yang terluka, saya hanya berpikir untuk menyelamatkan diri,” ujarnya.
4. Pelanggaran administratif
Sebelum Komnas HAM, Ombudsman RI berupaya mempertemukan kedua pihak yang berselisih ini. Pada akhir Mei lalu, setelah kedua belah pihak dipanggil, ditemukan indikasi pelanggaran administratif.
Selain itu, sikap pemerintah kabupaten yang cenderung tergesa-gesa meski penataannya baru sampai pada tahap pra-draft moving. Ombudsman sendiri baru menyampaikan catatannya kepada Pemkab pada awal Juni lalu.
Meski demikian, Iskandar menyebut pihaknya sudah mempunyai rencana. Jika warga sudah meninggalkan pemukimannya sejak Mei lalu dan lokasinya kosong, lelang konstruksi akan dilakukan pada September ini.
Setelah itu akan dibangun apartemen, perkampungan nelayan, dan Islamic Center serta wisata kuliner yang diharapkan selesai pada tahun 2017. Menurut dia, warga telah diberikan akomodasi sementara di rumah kontrakan yang jaraknya hanya 1,8 kilometer.
“Untuk nelayan bahkan hanya berjarak 200 meter dari bibir pantai,” ujarnya. Mereka juga gratis selama 1,5 tahun tinggal; termasuk listrik dan air. Saat itu pemerintah kabupaten sedang mencari rumah kontrakan.
Ketika pembangunan selesai, seluruh penghuni lokasi penggusuran dapat menempati apartemen dan kota dayung khusus dengan bekerja sebagai nelayan. Iskandar mencatat, nelayan yang tersisa di Dadap berjumlah 94 orang.
5. Kontroversi sertifikat kepemilikan tanah
Iskandar mengatakan, lahan yang akan direlokasi dan ditata kembali merupakan lahan milik PT Angkasa Pura Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, serta lahan di sepanjang jalan dan sungai. Dia mengatakan, tidak mungkin ada warga yang memiliki sertifikat kepemilikan tanah.
Secara hukum tidak mungkin lagi, kalau kepemilikannya sudah ada selama 20 tahun, sudah dicabut dan tidak berlaku lagi,” ujarnya.
Namun pengacara LBH Tigor Hutapea pernah mengatakan, ada 3 warga yang memiliki Sertifikat Hak Milik (SHM) atas tanahnya. Ketiga warga itu memprosesnya ke Badan Pertanahan Negara (BPN).
Tigor tidak menyebutkan siapa pemiliknya dan berapa luas lahan yang dimiliki warga Dadap tersebut. Namun Tigor menjamin keasliannya. Selain itu, masih ada sekitar 100 warga yang memiliki surat tanah untuk menggarap tanah tersebut yang ditandatangani oleh kepala desa setempat.
Surat tersebut dikeluarkan pada tahun 1980an hingga 1990an. Warga yang tersisa tidak memiliki bukti terkait tanah di Dadap.
Berdasarkan BPN, tanah di Dadap tidak didaftarkan, kecuali tiga pemilik SHM, kata Tigor.
Namun, Iskandar mengatakan ketiga orang tersebut tidak berada di lokasi seluas 4,8 hektare itu. atau 3 RW yang akan direlokasi pada penataan tahap I. “Pada tahap pertama ini, belum ada yang punya SHM,” ujarnya.
Selain itu, Pemkab juga akan memeriksa keabsahan 3 SHM tersebut. “Jika ternyata tidak asli tentu kami akan menempuh jalur hukum,” ujarnya.
Sejarah warga Kampung Baru Dadap sendiri dimulai pada tahun 1975. Bagi yang tidak mampu membeli rumah di Muara Karang, Ancol pindah ke Muara Dadap.
Kemudian mereka diterima di Muara Dadap oleh Kepala Desa Ilham. “Kami menemukan tanah di pinggir sungai, kami membelinya dan kami membayar pajak bumi dan bangunan,” kata Misbah, seorang tokoh masyarakat.
Selain melaut, mereka juga mencoba menggarap sawah dan menata sungai-sungai setempat. “Kami malah minum air dari sungai (sungai), ini sejarah menyedihkan kami,” kata Misbah disambut teriakan warga lain yang membenarkan pernyataannya.
Lima tahun setelahnya, tepatnya pada 1980, warga ditawari pindah tempat Bandara Internasional Cengkareng (CIA). Penduduk dan CIA menyetujui kompensasi, namun gagal karena perusahaan tidak dapat menemukan tempat tinggal baru bagi mereka.-Rappler.com
BACA JUGA: