6 cara sederhana mengajarkan toleransi beragama dalam keluarga
keren989
- 0
JAKARTA, Indonesia — Hidup dalam perbedaan baik itu perbedaan agama, suku, budaya, dan ras merupakan hal yang lumrah karena sejak dahulu masyarakat Indonesia hidup dalam perbedaan.
Para pemuka agama di Tanah Air meyakini seluruh ajaran agama di dunia mengajarkan perdamaian terhadap sesama umat manusia. Untuk menciptakan perdamaian harus dimulai dari diri sendiri. Hanya dengan cara itulah kedamaian satu sama lain bisa tercipta.
Dalam budaya yang beragam seperti Indonesia, sangat penting bagi kita untuk menjaga toleransi. Toleransi tidak hanya bisa dipelajari, tapi harus dialami dan dirasakan.
Dalam perjalanan lima tahunnya untuk memajukan toleransi di nusantara, organisasi SabangMerauke mengadakan makan malam keberagaman dengan tema diskusi “Merawat Toleransi, Melewati Perbedaan Agama”, akhir November lalu. Acara ini dihadiri oleh 6 tokoh lintas agama yaitu :
- I Wayan Kantun Mandara (Ketua Parisada Hindu Dharma Indonesia, Jakarta Pusat)
- Putaran. Jose Carol (Bather Sinode Kongregasi Kristen Indonesia)
- Maha Pandita Utama Suhadi Sendjaja (Ketua Umum Parisadha Buddha Dharma Niciren Syosyu Indonesia)
- Muchlis M. Hanafi (Wakil Direktur Pusat Kajian Al-Quran)
- Peter Lesmana (Sekretaris Jenderal Majelis Tinggi Khonghucu Indonesia)
- Romo Antonius Benny Susetyo Pr (Pendeta, Penasihat Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila)
Diskusi ini dipimpin oleh Ayu Kartika Dewi, selaku salah satu pendiri SabangMerauke. Menurut Ayu, toleransi harus dialami dan dirasakan oleh semua orang. Oleh karena itu, ia tergerak untuk menciptakan pertukaran antar pelajar di Indonesia agar seluruh generasi muda dapat berinteraksi dan mengenal budaya lain.
“Saya ingat ketika saya masih menjadi guru, di desa itu umat Islam hanya bermain-main dengan umat Islam. Orang Kristen hanya bermain-main dengan orang Kristen. Jadi kami tidak saling kenal, kata Ayu.
Dalam diskusi tersebut, Ayu bertanya kepada seluruh tokoh agama, bagaimana cara mengajarkan toleransi beragama kepada adik, adik, atau keluarga di rumah tanpa menilai agama lain salah? Inilah jawaban mereka:
Jadilah teladan
Ada tiga cara yang bisa dilakukan untuk membimbing anak tentang toleransi, yaitu keteladanan, mengendalikan keinginan sendiri dan memperbaiki kesalahan. Tapi yang terpenting adalah memberi contoh.
“Bicara kasus keteladanan itu yang paling penting, memang nomor satu. Artinya bagaimana kita bisa mendidik anak kita tentang toleransi kalau kita sendiri tidak memberi contoh, tidak memberi contoh toleransi itu seperti apa, kata Peter Lesmana.
Baik di Keluarga
Sebagai orang tua yang mendidik anak untuk tidak menolak atau antipati terhadap agama lain, maka orang tua harus bersikap baik terlebih dahulu dalam keluarga. Sebab orang tua merupakan role model atau ikon dalam keseharian keluarga yang dilihatnya.
Wayan mengatakan, ketika seorang anak baik di rumah, maka ketika dia keluar rumah, maka dia akan baik ketika berinteraksi dengan orang lain.
“Pertama-tama, orang tua harus baik dalam keluarga. Menjadi seorang ayah yang menjadi panutan, ikon, simbol. Simbol kebaikan secara keseluruhan dalam kehidupan sehari-hari. “Merasa nilai-nilai baik orang tua sendiri itu baik, maka yang melihat teladan atau ikon yang baik otomatis mau tidak mau pasti berbuat baik,” ujarnya.
Saling melindungi
Di alam semesta ini, toleransi saja tidak cukup bagi manusia karena kita semua saling membutuhkan satu sama lain layaknya simbiosis mutualisme. Menurut Maha Pandita, agama Buddha mengajarkan: “Di hadapanku ada kamu, di dalam aku ada kamu, tanpamu tidak ada aku”.
Oleh karena itu, baik orang tua maupun anak hendaknya benar-benar menghayati agama yang dianutnya dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari.
“Dalam keluarga, kakak laki-laki melindungi adik laki-lakinya. Begitu pula di masyarakat yang lebih besar. “Komunitas yang lebih mayoritas melindungi minoritas,” katanya.
Tidak tahu, maka tidak cinta
Orang tua bisa mendidik anaknya untuk menerima perbedaan melalui teori di Indonesia yang sudah kita kenal yaitu “kalau tidak tahu, tidak akan mencintai”. Tidak mungkin kita bisa mencintai jika kita tidak mengetahuinya. Karena semakin sedikit kita mengenal satu sama lain, semakin kuat pula tembok pemisah atau sekat yang dibangun, sehingga kebencian akan sulit dihancurkan.
“Bahayanya adalah asumsi ketika kita tidak tahu. Ketika kita tidak tahu, kita berasumsi sebaliknya. Ketika kita saling mengenal, meski kita berasumsi atau ingin bergosip atau difitnah, benih kebencian akan sulit masuk. Oleh karena itu, kuncinya adalah mengetahui. “Semakin banyak kita mengenal, semakin kita saling mencintai,” kata Pdt. Jose Carol.
Empat perbedaan
Untuk mengajarkan perbedaan kepada anak-anak, Muchlis M. Hanafi menceritakan pengalaman hidupnya yang menyarankan anak-anak pesantren untuk mengunjungi masjid-masjid lain agar bisa saling mengenal madzhab Islam masing-masing sehingga saling menghormati.
Muchlis percaya bahwa semua orang yang tinggal di langit yang sama dengan kita adalah saudara kita.
“Kita harus hidup dengan toleransi, kasih sayang, kita harus bisa hidup rukun. “Bahwa perbedaan sebenarnya bukan sesuatu yang harus diperjuangkan, perbedaan adalah sesuatu yang harus kita rayakan bersama,” kata Muchlis.
Tidak ada yang salah dengan perbedaan
Menurut Pastor Antonius Benny Susetyo Pr, mengatakan perbedaan itu wajar, dan tidak ada yang salah dengan perbedaan. Karena sejak awal kita hidup dalam perbedaan. Hanya saja perbedaan ini tidak diungkapkan.
Oleh karena itu, anak-anak harus diajari bahwa perbedaan adalah hal yang wajar dan tidak ada yang salah. Wong, dari kecil saya main ke mesjid tanpa masalah. “Makanya pendidikan kita harus mengajarkan toleransi,” kata Romo Benny. —Rappler.com