• July 26, 2025
Apa dampak keputusan pengadilan arbitrase internasional terhadap Indonesia?

Apa dampak keputusan pengadilan arbitrase internasional terhadap Indonesia?

Tiongkok tidak akan mengabaikan hasil Pengadilan Arbitrase Internasional (PCA). Oleh karena itu, seluruh negara di Asia Tenggara harus menyatukan sikap.

JAKARTA, Indonesia – Mahkamah Arbitrase Internasional (PCA) di Den Haag pada Selasa sore, 12 Juli, memenangkan gugatan Filipina terhadap Tiongkok dalam sengketa wilayah Laut Cina Selatan.

“Pengadilan memutuskan di Filipina dan Tiongkok bahwa tidak ada dasar hukum bagi Tiongkok untuk mengklaim hak bersejarah atas sumber daya alam, termasuk hak di laut dalam.sembilan garis putus-putus‘,” demikian bunyi pernyataan PCA yang diperoleh Rappler pada Selasa, 12 Juli.

Dengan demikian, klaim Tiongkok di wilayah Laut Cina Selatan berdasarkan sejarah dari peta Kuomingtang adalah tidak sah. Namun apa dampak keputusan ini bagi Indonesia?

Sengketa Laut Natuna

Pemerintah Indonesia berulang kali menyatakan tidak termasuk pengklaim tanah di Laut Cina Selatan. Namun, sembilan garis putus-putus versi China bersinggungan dengan garis Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) di Kepulauan Natuna, Indonesia.

China juga telah mengakui bahwa Pulau Natuna memang merupakan bagian dari wilayah Indonesia. Bahkan, beberapa kapal nelayan berbendera China tertangkap sedang menangkap ikan di perairan Natuna. Bahkan, di salah satu kapal yang disita pihak berwenang Indonesia, terdapat kartu yang menunjukkan bahwa nelayan Tiongkok diperbolehkan menangkap ikan di sana.

Peristiwa penangkapan kapal ikan Tiongkok yang pertama terjadi pada 19 Maret lalu saat Kapal Pemantau Hiu 11 milik Kementerian Kelautan dan Perikanan (MAF) berusaha menangkap kapal Kway Fey berbendera Tiongkok.

Kapal tersebut tidak memiliki izin untuk mengeksploitasi sumber daya laut di Natuna sehingga dianggap sebagai pencurian ikan. Namun, saat hendak ditangkap, muncul kapal pengintai (penjaga pantai) Tiongkok melakukan intervensi. Mereka menabrak kapal Kway Fey hingga akhirnya lolos dari Shark 11.

Sontak, pemerintah Indonesia melayangkan nota protes ke negeri Tirai Bambu tersebut. Mereka dianggap melanggar kedaulatan dan yurisdiksi Indonesia, serta mengganggu upaya penegakan hukum otoritas di ZEE.

Pasca kejadian itu, Indonesia langsung melakukan razia ketat terhadap kapal asing yang beroperasi di sana. Tindakan ini diprotes oleh Tiongkok yang menganggap mereka mempunyai hak lintas sembilan garis putus-putus mencakup lebih dari 2 juta kilometer persegi Laut Cina Selatan, termasuk sebagian perairan Natuna.

Bentrokan kembali terjadi pada tanggal 27 Mei, yaitu kejar-kejaran antara KRI Oswald Siahaan-354 dengan kapal Gui Bei Yu. Kapal ini juga diduga sering melakukan pencurian ikan di Natuna. Sama seperti kasus Kway Fey, kapalnya penjaga pantai Tiongkok juga hadir untuk mengawasi proses tersebut.

Karena Gui Bei Yu memilih melawan dan melarikan diri, KRI Oswald akhirnya melepaskan tembakan ke anjungan kapal. Tiongkok pun kembali melakukan protes dengan menegaskan kedua negara mempunyai pandangan berbeda mengenai dasar kedaulatan maritim.

Tiongkok mengabaikan keputusan PCA

Pertanyaan yang kini muncul adalah setelah hasil uji coba PCA keluar, apa langkah selanjutnya? Pengamat Pertahanan Internasional Universitas Bina Nusantara (Binus) Tangguh Chairil mengatakan tidak akan banyak perubahan setelah PCA memenangkan Manila. Sebab, sejak awal gugatan, China tidak pernah mengacu pada UNCLOS maupun ZEE.

“Jadi kalau argumen ini mengacu pada UNCLOS, tidak akan diperhitungkan,” ujarnya saat dihubungi Rappler, Selasa, 12 Juli 2016.

Namun posisi Indonesia memang semakin kuat. Karena, tegaskan tempat penangkapan ikan tradisional Dan sembilan garis garis apa yang pernah diklaim Tiongkok telah dibatalkan. Laut Natuna yang merupakan wilayah sengketa termasuk dalam ZEE Indonesia.

Tangguh memperkirakan Tiongkok tidak akan bergeming atas keputusan PCA tersebut. Oleh karena itu, Indonesia dan negara-negara lain yang berkepentingan di Laut Cina Selatan harus menyatukan suara dan kekuatannya.

“Seperti memperkuat militer dan bekerja sama agar Tiongkok tidak melakukan kesalahan. Karena ini kekuatan politik,” ujarnya. China kerap menggunakan aparat militernya bahkan membangun pangkalan pertahanan untuk memperkuat posisinya di Laut China Selatan.

Mengingat perbedaan kekuatan militer antara negara-negara di ASEAN dan Tiongkok, akan lebih baik jika kita memiliki suara yang bersatu. Sejauh ini masing-masing negara yang berkepentingan memilih jalan berbeda untuk menyelesaikan perselisihan dengan Negeri Panda.

Vietnam memilih jalur perdamaian bilateral; Filipina melalui jalur PCA; Namun negara lain seperti Laos, Myanmar, dan Kamboja cenderung mengabaikan hal ini.

“Kita harus memperingatkan mereka dan harus mematuhi hukum internasional, meski sudah beberapa kali dilanggar,” ujarnya.

Sementara itu, Kementerian Luar Negeri mengimbau semua pihak untuk menahan diri dari segala hal yang dapat menimbulkan ketegangan pasca keputusan PCA.

“Semua pihak di Laut Cina Selatan harus terus bertindak sesuai dengan prinsip yang disepakati bersama,” tulis mereka Situs resmi Kementerian Luar Negeri pada hari Selasa, 12 Juli.

Indonesia, kata Kementerian Luar Negeri, akan terus mendorong terciptanya zona damai, bebas, dan netral di kawasan Asia Tenggara untuk memperkuat komunitas politik dan keamanan ASEAN. Semua negara penuntut mendesak untuk melanjutkan perundingan damai mengenai perselisihan klaim kedaulatan yang tumpang tindih di Laut Cina Selatan sesuai dengan hukum internasional. -Rappler.com

BACA JUGA:

pengeluaran hk hari ini