18.000 orang diborgol di Indonesia
- keren989
- 0
JAKARTA, Indonesia—Mengenakan kemeja hitam dan celana jeans, Dan Senin sore, 21 Maret, di panggung konferensi pers Human Rights Watch di Galeri Museum Cemara 66, Menteng, Jakarta Pusat.
Saat namanya dipanggil, dia tersenyum Tidak ada ekspresi mencurigakan di wajahnya. Para peserta konferensi pers tak menyangka dirinya menjadi korban borgol.
“Saya dimasukkan ke kandang kambing. “Saya teriakkan nama orang tua saya,” kata Agus membuka kesaksiannya sebagai salah satu korban borgol. Ia mengaku makan, tidur, buang air kecil, dan buang air besar di kandang yang sangat sempit. Kandangnya sangat sempit, dia tidak bisa berdiri.
Baru setelah empat tahun orang tuanya membawanya keluar dari gubuk. “Tangan saya membuka kunci, tapi kuncinya hilang, sehingga kuncinya digergaji. “Syukurlah saya bisa bergerak,” kenangnya.
Dia mengatakan kepada orangtuanya bahwa dia tidak ingin diborgol lagi. Orang tuanya membawanya ke RSUD Cianjur untuk berobat.
Alhamdulillah saya tidak kambuh lagi, kata Agus yang kini sudah bekerja sebagai pembangun dan menopang dirinya sendiri.
HRW: Orang yang diborgol rentan terhadap kekerasan
Agus adalah satu dari 18.800 orang yang diketahui berada dalam kurungan, baik di kandang, institusi, atau rumah sakit jiwa di Indonesia, menurut Human Rights Watch. Ini data tahun 2013. Pemerintah tidak bisa memperkirakan berapa jumlah warga Indonesia yang diborgol.
Pemerintah Indonesia telah melarang praktik borgol sejak tahun 1977 atau 39 tahun lalu. Kementerian Kesehatan menyatakan borgol adalah perlakuan yang tidak manusiawi dan diskriminatif.
Untuk mengetahui lebih jauh mengenai orang-orang yang dipasung, Human Rights Watch melakukan penelitian selama dua tahun, dimulai pada bulan November 2014.
HRW mendokumentasikan 175 kasus penyandang disabilitas psikososial yang ditahan atau saat ini bebas dari praktik borgol. Lembaga ini juga mengumpulkan informasi sekitar 200 kasus lainnya.
Pulau Jawa dan Pulau Sumatera dipilih sebagai lokasi penelitian karena Pulau Jawa dinilai paling padat penduduknya, sedangkan Pulau Sumatera sebagai pembanding. Penelitian dimulai di Cianjur.
Berdasarkan hasil penelitian di Pulau Jawa dan Sumatera, HRW menemukan setidaknya ada empat pelanggaran.
Pertama, adanya indikasi kelalaian. Peneliti disabilitas HRW Kriti Sharma mengungkapkan, keluarga biasanya mengirim penderitanya ke rumah sakit namun tidak dikunjungi. Ada seorang pasien rumah sakit jiwa yang sudah 30 tahun tidak dikunjungi keluarganya.
Kedua, pengobatan paksa. Penderita gangguan jiwa tidak bisa mengambil keputusan sehingga rentan diperlakukan buruk dan tidak sesuai keinginannya. Misalnya disetrum dengan listrik, tanpa anestesi (atau obat penenang), ujarnya.
Ternyata praktik menyetrum ini masih dilakukan di Rumah Sakit Jiwa Dr Soeharto Heerdjan. Menurut Salamiyah, salah satu perawat di Rappler, praktik menyetrum listrik jarang dilakukan, namun jika tidak ada cara lain, praktik tersebut bisa dilakukan.
“Tapi harus ada izin dari keluarga,” ujarnya.
Ketiga, isolasi atau pengasingan. Kasus pengasingan terlama yang didokumentasikan HRW adalah seorang perempuan yang dikurung di sebuah kamar selama hampir 17 tahun.
Keempat, kekerasan fisik dan seksual. Direktur Disabilitas HRW Shanta Rau Barriga mengatakan HRW menemukan adanya tindakan pemukulan dan kekerasan seksual terhadap perempuan dan laki-laki yang tinggal di rumah sakit jiwa.
Misalnya saja kekerasan seksual yang menimpa Saoti, pasien perempuan di salah satu pusat pengobatan di Brebes. “Seorang petugas laki-laki menyentuh vagina saya pagi ini. Mereka melakukannya untuk bersenang-senang,” katanya.
Hukum di Indonesia masih jauh dari sempurna
Apa yang menyebabkan begitu banyak pelanggaran yang terus terjadi dan berdampak pada penyandang disabilitas psikososial? Berdasarkan analisis HRW, Indonesia sebenarnya telah meratifikasi Konvensi Hak Penyandang Disabilitas (CPRD) pada tahun 2011, yang menjamin persamaan hak bagi semua penyandang disabilitas, termasuk penikmatan hak atas kebebasan dan keamanan, serta kebebasan dari pelecehan.
Tiga tahun kemudian, DPR mengesahkan UU Kesehatan Jiwa untuk mengatasi situasi kesehatan mental yang buruk dan kekerasan terhadap penyandang disabilitas psikososial, termasuk praktik pemaksaan.
Namun masih ada poin-poin yang belum sempurna dalam undang-undang tersebut. Salah satunya adalah masih memungkinkannya penyandang disabilitas dirampas haknya, yaitu mengambil keputusan sendiri, termasuk pilihan pengobatan medis.
Stigma memperburuk keadaan
Sementara kondisi lain yang lebih buruk adalah stigma di masyarakat. Menurut Lidya Triana, sosiolog Universitas Indonesia, orang yang mengidap penyakit jiwa dicap gila.
Lalu orang-orang menghindarinya. “Masyarakat mulai menjauhkan diri dari penderita, yang semakin menambah stigma bahwa mereka gila,” katanya kepada Rappler.
Respons negatif masyarakat terhadap penyakit jiwa atau stigma masyarakat, dengan kata lain, meningkatkan dan membentuk beban bagi penderitanya sendiri diri sendiri stigma buruk.
“Kapan publik stigma diterima sebagai pembenaran, maka akan terbentuk diri sendiri menderita stigma. “Itulah yang menurut saya mengurangi kepercayaan diri mereka,” ujarnya.
Lalu bagaimana orang dengan penyakit mental bisa sembuh? “Masalahnya rumit, tidak bisa hanya melibatkan keluarga, tapi masyarakat juga harus teredukasi,” ujarnya.
“Jangan dibiarkan, justru akan memperburuk kondisi.”
Andrea Staar, fotografer masyarakat pasung yang telah bekerja di HRW selama 5 tahun, memiliki pemikiran yang sama dengan Lidya. Ia mengatakan, penderita penyakit jiwa harus dirangkul oleh masyarakat.
“Saya pikir mereka punya peluang, mereka bisa berbuat lebih baik,” katanya.
Andrea mengaku bisa memahami jika keluarga kesulitan merawat penderitanya. Dan hampir tidak ada pilihan lain. Alih-alih mengambil solusi yang lebih baik, mereka justru meniru praktik tradisional nenek moyang mereka, yaitu mengurung orang yang mereka sayangi.
“Saya sendiri yang memotret mereka dan sampai pada kesimpulan bahwa mereka adalah orang-orang seperti kita, sama saja, kita bisa menjadikan mereka teman, bahkan teman ngobrol,” ujarnya.
“Mereka hanya masyarakat biasa, sama seperti kita, ketidaktahuan kitalah yang membuat kita menolak mereka,” ujarnya lagi.
Rekomendasi untuk pemerintah
Lalu apa yang harus dilakukan pemerintah selanjutnya? HRW menyimpulkan temuannya dengan rekomendasi. Lembaga ini antara lain ngotot melakukan peninjauan kembali terhadap UU Kesehatan Jiwa.
HRW juga meminta pemerintah memastikan pengawasan dan melarang keras praktik borgol seperti yang dinubuatkan pada tahun 1977.
Yeni Rosa Damayanti, aktivis yang fokus pada isu disabilitas, menambahkan, pemerintah harus membentuk badan pengawas yang memantau setiap rumah sakit jiwa dan rumah sakit.
HRW juga meminta pemerintah untuk melatih para profesional kesehatan dan kesehatan mental, serta menciptakan mekanisme pengaduan rahasia bagi individu dengan disabilitas psikososial untuk setiap kasus kekerasan.
Selain itu, HRW juga menyoroti minimnya ketersediaan dokter anestesi dan psikiater. Di Indonesia, hanya terdapat 48 dokter anestesi dan 1 psikiater untuk setiap 400.000 penduduk di seluruh Indonesia.
Peneliti Kriti menyimpulkan temuannya dengan satu pertanyaan? “Kalau dokter anestesinya puluhan ribu, tapi ahlinya hanya 48 orang, bagaimana pasien bisa dirawat? —Rappler.com
BACA JUGA