• July 7, 2025

Pada malam kedua Idul Fitri, warga Pidie Aceh melakukan perang meriam

Ini adalah ringkasan yang dibuat oleh AI, yang mungkin memiliki kesalahan. Untuk konteksnya, selalu rujuk artikel selengkapnya.

Suara ledakan meriam karbida terdengar hingga 10 km

PIDIE, Indonesia — Suara ledakan terdengar silih berganti di sepanjang bantaran Sungai Krueng Baro di Kabupaten Pidie, Kabupaten Indra Jaya dan Kabupaten Delima, Kabupaten Pidie, Aceh, Minggu malam, 25 Juni 2017.

Tapi tidak ada yang panik. Sebaliknya, mereka justru menikmati suara ledakan yang seolah berasal dari meriam bambu dan meriam karbida. Di Pidie, penyalaan meriam bambu dan karbit sudah menjadi tradisi yang digelar setiap dua malam Idul Fitri. Tradisi menyalakan meriam ini disebut Teut Bude.

Tradisi Teut Bude sangat dinantikan oleh warga. Hal ini terlihat dari membludaknya pengunjung yang datang ke bantaran sungai. Bahkan ada pula yang berasal dari Banda Aceh, Birueun, dan Lhokseumawe.

Tampilan meriam Teut Bude memang menawan, apalagi suara ledakannya yang menggema. Bahkan, suara ledakannya sangat keras sehingga sejumlah warga harus mengevakuasi lansia dan bayi yang berada di kampung tempat peluru meriam itu ditembakkan.

Uniknya, tradisi ini tidak hanya dilakukan oleh laki-laki, tetapi perempuan juga ikut memeriahkannya dengan membuat kue untuk pembakar meriam karbit. Bahkan, ada juga perempuan yang mengalami luka bakar.

Faisal (35), warga Desa Blang Garot, Kecamatan Indra Jaya, Pidie, menceritakan kepada Rappler, tradisi tersebut sudah dilakukan sejak lama. Tapi dia tidak ingat tahun pertama.

“Sejak kecil tradisi Teut Bude sudah ada. Tapi sebelumnya tidak ada meriam karbida, hanya meriam bambu,” kata Faisal, Minggu 25 Juni 2017 malam.

Tradisi ini memudar ketika konflik bersenjata antara GAM dan pemerintah terjadi di Aceh. Usai perjanjian damai, warga yang ingin membakar meriam karbida semakin antusias. Tak jarang, warga di tiga kecamatan yang berada di perantauan menyumbangkan dana untuk melaksanakan tradisi tersebut.

Faisal mengatakan, dibutuhkan uang Rp 10 juta dalam satu malam dalam satu kota. “Dana tersebut merupakan hasil patungan warga di sini yang berada di luar negeri,” ujarnya.

Dulu, kata Faisal, tradisi ini dilakukan pada malam pertama hari raya. Namun karena kini diadakan putaran takbir pada malam pertama, maka Teut Bude diundur ke malam kedua.

Ia juga mengatakan bahwa tradisi ini tidak akan dilakukan pada malam jumat. “Kalaupun malam kedua libur itu jatuh pada Jumat malam, kami pindahkan ke Sabtu malam,” ujarnya.

Tradisi ini dilakukan setelah maghrib hingga menjelang subuh. Jadi sepanjang malam. “Saat mendengar azan subuh, kami langsung berhenti,” jelas Faisal.

Penduduk setempat membuat meriam karbida dari drum minyak bekas. Beberapa drum dirakit untuk menghasilkan senjata sepanjang 2-5 meter. Meriam tersebut kemudian diisi dengan karbida dan diledakkan dengan cara pembakaran. Akibatnya, suara ledakan akan terdengar hingga jarak 10 km.

Suara ledakan meriam karbida ini jauh lebih menggelegar dibandingkan dengan suara meriam bambu. Oleh karena itu, meriam bambu hanya digunakan oleh anak kecil.

Meriam karbida atau bambu saling berhadapan di sepanjang Sungai Krueng Baro sehingga menimbulkan kesan sedang terjadi perang meriam.

Kemudian, ketika api dinyalakan di ujung gagang kayu, ‘perang’ pun dimulai. Ledakan demi ledakan yang terdengar dari tepian Sungai Krueng Baro menjadi hiburan bagi warga sekitar. —Rappler.com

Pengeluaran HK